Rabu, 03 Oktober 2012

Kemiskinan dan Reforma Agraria






Kemiskinan merupakan musuh bersama bagi tiap – tiap zaman. Tiap program pemerintah selalu diarahkan kepada pemberantasan kemiskinan, dana besar digerojokkan kedalam program pengentasan kemiskinan. Tetapi kemiskinan tetap saja terjadi, tentu ada yang salah dengan program tersebut. Pemetaan kantong – kantong kemiskinan harus dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian bersama – sama dengan masyarakat dikawasan kemiskinan tersebut, pemerintah membuat perencanaan bersama.
Di Kabupaten Blitar berdasarkan catatan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) angka kemiskinannya sebesar 82.354 Kepala Keluarga, yang terdiri dari sangat miskin 11.711 kepala keluarga, miskin 35.633 kepala keluarga dan hampir miskin 35.010 Kepala Keluarga.
Adapun sebaran keluarga miskin di kabupaten Blitar sebagian besar berada di wilayah pedesaan, yang mata pencahariannya sebagai petani (pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan).
Sehingga jika kita menghendaki kemiskinan segera hilang dari bumi kabupaten Blitar yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan di wilayah – wilayah basis kemiskinan tersebut (desa dan pertanian), apa yang menjadi sebab – sebab utama kemiskinan.
Di pedesaan wilayah Kabupaten Blitar, penulis menemukan sebab utama kemiskinan terutama di wilayah yang tergolong sangat miskin, yakni persoalan kepemilikan, penguasaan, pemafaatan dan pengelolaan tanah. Tanah yang luas dikuasasi, diolah, dimiliki dan dimanfaatkan oleh orang yang secara jumlah sangat sedikit. Sedangkan masyarakat yang secara jumlah besar hanya menguasai sedikit tanah. Sehingga kesenjangan sosial terjadi.
Di wilayah pertanian ataupun pertanian ladang, kepemilikan sawah dan ladang sebagian besar dikuasasi oleh orang – orang yang berada dikota dan tidak menggantungkan hidupnya dari pertanian itu sendiri. Ini terlihat dari data petani gurem dan buruh tani yang semakin meningkat setiap tahunnya. Semakin tersentralnya kepemilikan atas tanah ditangan – tangan pemilik modal.
Sementara di wilayah perkebunan, buruh kebun digaji Rp. 15.000/hari dengan 4 anggota keluarga, yang jika tidak musim panen hanya dipekerjakan selama 3 hari dalam satu minggu. Sehingga dalam satu keluarga maksimal menghasilkan Rp. 600.000/bulan (dengan suami dan istri bekerja) atau Rp. 150.000/orang/bulan dibawah angka kemiskinan yang dibuat oleh BPS Rp. 254.000/orang/bulan. Tentunya dengan penghasilan tersebut, tidak akan pernah cukup bagi keluarga buruh perkebunan untuk hidup layak.
Sangat wajar, jika di wilayah perkebunan terjadi konflik antara masyarakat lokal dengan pihak perkebunan karena keadilan sosial bagi suluruh rakyat Indonesia tidak pernah diwujudkan oleh negara. Adapun sengketa pertanahan (agraria) di kabupaten Blitar melibatkan kurang lebih 15.000 Kepala Keluarga yang sebagian besar masuk dalam katagori sangat miskin.
Dari pemetaan awal tersebut kiranya pemerintah kabupaten Blitar harus melakukan, pertama pembatasan kepemilikan atas sumber agraria (tanah, air dan segala hal yang ada dibawahnya, udara dan ruang angkasa) bagi tiap keluarga sesuai dengan Undang – Undang Pokok Agraria. Kedua, segera melakukan redistribusi tanah yang diikuti dengan program pemberdayaan (landreform+ atau reforma agraria) terutama yang berada di kantong – kantong sengketa pertanahan.
Landreform Plus atau reforma agraria sendiri terdiri dari asset reform yaitu redistribusi tanah – tanah kepada petani gurem dan kaum buruh. Acces reform yaitu pemberian pelatihan, permodalan, peralatan dan pemasaran bagi penerima manfaat asset reform atau petani lainnya.
Landreform Plus  merupakan awal dari pengentasan kemiskinan dan jalan menuju keadilan sosial yang dalam bahasa Ir. Soekarno sebagai bagian mutlak dari Revolusi Indonesia, sebagai pondasi pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur. Selamat hari Tani 24 September 2012.