Kemiskinan merupakan musuh bersama bagi tiap – tiap zaman. Tiap program
pemerintah selalu diarahkan kepada pemberantasan kemiskinan, dana besar
digerojokkan kedalam program pengentasan kemiskinan. Tetapi kemiskinan tetap
saja terjadi, tentu ada yang salah dengan program tersebut. Pemetaan kantong –
kantong kemiskinan harus dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian bersama –
sama dengan masyarakat dikawasan kemiskinan tersebut, pemerintah membuat perencanaan
bersama.
Di Kabupaten Blitar berdasarkan catatan Tim Koordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (TKPKD) angka kemiskinannya sebesar 82.354 Kepala Keluarga,
yang terdiri dari sangat miskin 11.711 kepala keluarga, miskin 35.633 kepala
keluarga dan hampir miskin 35.010 Kepala Keluarga.
Adapun sebaran keluarga miskin di kabupaten Blitar sebagian besar berada
di wilayah pedesaan, yang mata pencahariannya sebagai petani (pertanian,
perkebunan, perikanan, peternakan).
Sehingga jika kita menghendaki kemiskinan segera hilang dari bumi
kabupaten Blitar yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan di
wilayah – wilayah basis kemiskinan tersebut (desa dan pertanian), apa yang
menjadi sebab – sebab utama kemiskinan.
Di pedesaan wilayah Kabupaten Blitar, penulis menemukan sebab utama
kemiskinan terutama di wilayah yang tergolong sangat miskin, yakni persoalan
kepemilikan, penguasaan, pemafaatan dan pengelolaan tanah. Tanah yang luas
dikuasasi, diolah, dimiliki dan dimanfaatkan oleh orang yang secara jumlah
sangat sedikit. Sedangkan masyarakat yang secara jumlah besar hanya menguasai
sedikit tanah. Sehingga kesenjangan sosial terjadi.
Di wilayah pertanian ataupun pertanian ladang, kepemilikan sawah dan
ladang sebagian besar dikuasasi oleh orang – orang yang berada dikota dan tidak
menggantungkan hidupnya dari pertanian itu sendiri. Ini terlihat dari data
petani gurem dan buruh tani yang semakin meningkat setiap tahunnya. Semakin
tersentralnya kepemilikan atas tanah ditangan – tangan pemilik modal.
Sementara di wilayah perkebunan, buruh kebun digaji Rp. 15.000/hari
dengan 4 anggota keluarga, yang jika tidak musim panen hanya dipekerjakan
selama 3 hari dalam satu minggu. Sehingga dalam satu keluarga maksimal
menghasilkan Rp. 600.000/bulan (dengan suami dan istri bekerja) atau Rp.
150.000/orang/bulan dibawah angka kemiskinan yang dibuat oleh BPS Rp.
254.000/orang/bulan. Tentunya dengan penghasilan tersebut, tidak akan pernah
cukup bagi keluarga buruh perkebunan untuk hidup layak.
Sangat wajar, jika di wilayah perkebunan terjadi konflik antara
masyarakat lokal dengan pihak perkebunan karena keadilan sosial bagi suluruh
rakyat Indonesia tidak pernah diwujudkan oleh negara. Adapun sengketa
pertanahan (agraria) di kabupaten Blitar melibatkan kurang lebih 15.000 Kepala
Keluarga yang sebagian besar masuk dalam katagori sangat miskin.
Dari pemetaan awal tersebut kiranya pemerintah kabupaten Blitar harus
melakukan, pertama pembatasan
kepemilikan atas sumber agraria (tanah, air dan segala hal yang ada dibawahnya,
udara dan ruang angkasa) bagi tiap keluarga sesuai dengan Undang – Undang Pokok
Agraria. Kedua, segera melakukan
redistribusi tanah yang diikuti dengan program pemberdayaan (landreform+ atau reforma agraria)
terutama yang berada di kantong – kantong sengketa pertanahan.
Landreform Plus atau reforma agraria sendiri terdiri dari asset reform yaitu redistribusi tanah –
tanah kepada petani gurem dan kaum buruh. Acces
reform yaitu pemberian pelatihan, permodalan, peralatan dan pemasaran bagi
penerima manfaat asset reform atau
petani lainnya.
Landreform Plus merupakan awal dari pengentasan kemiskinan dan
jalan menuju keadilan sosial yang dalam bahasa Ir. Soekarno sebagai bagian
mutlak dari Revolusi Indonesia, sebagai pondasi pembangunan Indonesia menuju
masyarakat adil dan makmur. Selamat hari Tani 24 September 2012.