Jumat, 04 November 2011

KEKUATAN RAKYAT: DALAM MENGEKSPLOITASI PASIR BESI DI PANTAI SELATAN KAB. BLITAR






                Keadaan alam yang tandus di Blitar selatan merupakan musibah yang harus dialami oleh masyarakatnya. Sehingga kemiskinan tidak segera menjauh dari wilayah ini, ini menyebabkan banyak penduduk Kab. Blitar selatan yang bekerja ke luar negeri untuk merubah nasibnya. Terlepas dari peristiwa G30S yang telah menjadikan Blitar bagian selatan sebagai anak tiri pembangunan republik. Dimana kreativitas rakyat Blitar selatan selalu dicurigai sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia gaya baru. 
Namun dibalik keadaan alam yang tandus tersebut, tersimpan sumber kekayaan alam yang luar biasa di Blitar bagian selatan terutama di wilayah pantai selatan yang merupakan penghasil pasir besi. Eksploitasi pasir besi ini sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan besar baik nasional maupun dari luar negeri. Dengan alasan investasi dibutuhkan demi terlaksanakannya pembangunan yang dapat membuat lapangan pekerjaan bagi rakyat di Blitar selatan.
Selain itu, pemerintah Kabupaten Blitar menganggap bahwa pembangunan dengan sendirinya akan terjadi di wilayah yang dilewati oleh truk – truk pengangkut pasir besi. Namun benarkah pasir besi yang dihasilkan oleh Kabupaten Blitar mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kab. Blitar maupun taraf kehidupan masyarakat lokal yang terkena imbas langsung dari kerusakan alam yang dirasakan oleh masyarakat lokal tersebut.
Pasir besi yang dieksploitasi oleh Perusahaan – perusahaan tersebut, memang menghasilkan pembangunan berupa perbaikan jalan yang dilakukan oleh pihak perusahaan pengelola. Namun, pembuatan jalan tersebut tentunya menguntungkan pihak perusahaan sebagai jalan keluar – masuk bagi truk – truk tersebut. Artinya pembangunan jalan merupakan kebutuhan yang pasti bagi pihak perusahaan.
Membuka Lapangan Pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar yang dapat meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat di kawasan Blitar selatan. Namun penggunaan alat berat untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam tersebut, mengakibatkan kebutuhan akan tenaga kerja semakin kecil. Artinya, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan juga semakin sedikit. Sehingga kesejahteraan rakyat yang meningkat hanya sedikit yakni hanya yang bekerja di wilayah pertambangan pasir besi tersebut.
Disisi lain upah kaum buruh tentunya hanya agar kaum buruh tersebut tetap sehat dan bisa bekerja kepada si pemodal semata. Tanpa adanya dana untuk membiayai kesehatan maupun biaya pendidikan. Saat buruh sakit, maka hanya akan hutang dari perusahaan, dan buruh tetap tidak akan menyekolahkan anak – anaknya, padahal sekolah merupakan ekskalator sosial yang dapat mengangkat status sosial seseorang di masyarakat. Dengan pendidikan pula seseorang dapat bekerja ditempat lain, atau naik ke level jabatan yang lebih tinggi. Dengan begitu, kaum buruh tetap tergantung kepada pemodal.
Jika, kesejahteraan kaum buruh meningkat maka sesungguhnya secara presentasi peningkatan kesejahteraan kaum buruh lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan kesejahteraan kaum pemodal. Belum lagi kaum buruh teraleniasi (terasing) dari alat produksi, yang bukan miliknya dan juga hasil produksi yang tidak pernah dinikmati oleh kaum buruh (masyarakat sekitar) padahal penderitaan yang diakibatkan oleh kerusakan alam akibat penambangan dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Pendapatan asli daerah juga meningkat melalui pajak dan perijinan pertambangan tersebut. Tentunya ini menguntungkan, namun keuntungan tersebut jauh dibandingkan dengan kerugian yang berupa kerusakan alam yang dialami oleh daerah. Maupun kurang banyak jika yang mengelola pertambangan pasir besi tersebut adalah kelompok kerja atau koperasi yang berasal dari rakyat maupun dikelola sendiri oleh badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Kiranya kecelakaan sejarah yang dialami oleh republik Indonesia, terkait dengan Kontrak Karya pertambangan maupun kontrak – kontrak baru pertambangan, harusnya dapat dihindari saat ini. Pemerintah selama ini hanya mendapatkan pajak tanpa menguasai hasil tambang tersebut. Yang mengakibatkan kemiskinan bagi jutaan rakyat Indonesia.

                Jalan Baru Sosialisme Indonesia Di Pertambangan Pasir Besi Blitar Bagian Selatan
                Mencegah adanya pertambangan pasir besi merupakan hal yang sulit dilakukan oleh berbagai pihak, karena adanya kepentingan oknum yang duduk di pemerintahan, demi kepentingan perut sendiri. Sehingga tetap memberikan ijin pertambangan kepada pihak yang mampu memberikan sesuatu bagi mereka. Sehingga diperlukan adanya konsep pertambangan pasir besi yang lebih ramah kepada lingkungan dan juga demi peningkatan kesejahteraan rakyat lokal di kawasan tersebut.
                Pelibatan masyarakat lokal merupakan hal yang pokok dalam hal pertambangan ini. Bukan hanya sebagai pekerja dalam perusahaan, namun lebih dari sekedar itu. Masyarakat lokal harus didorong untuk menjadi penambang pasir besi di wilayah ini. Masyarakat lokal dapat membentuk koperasi, kelompok kerja maupun dengan menggunakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
                Kolektifitas masyarakat lokal harus dibangun, melalui koperasi atau kelompok kerja atau BUMDes. Karena kapitalisme pada hakekatnya merupakan perkembangan dari sifat individualis, yang harus dilawan dengan kolektivitas. Dengan adanya pembangunan kelompok masyarakat, sehingga mereka dapat mengajukan ijin pertambangan sendiri kepada pemerintah daerah. Dengan begitu, masyarakat dapat melakukan aktivitas pertambangan dengan resmi sebagaimana diatur oleh Undang – undang.
                Hasil pertambangan rakyat tersebut dikumpulkan dalam koperasi/kelompok kerja/BUMDes, untuk kemudian melalui organisasi tersebut dijual kepada pihak ketiga. Dengan penjualan yang bersifat kolektif, masyarakat dapat meningkatkan daya tawarnya. Sehingga harga jual dari pasir besi menjadi lebih tinggi.
                Dana keuntungan dibagikan sesuai dengan peraturan yang ada, dimana dalam lembaga tersebut dibuat badan pengawas dari masyarakat maupun perangkat desa. Desa mendapatkan bagian 30% dari hasil tambang yang dapat digunakan sebagai pembangunan fasilitas umum. Sedangkan pegawai pertambangan digaji dengan jumlah presentasi tertentu yang tidak memberatkan pihak koperasi/kelompok kerja/BUMDes, sehingga semakin banyak hasilnya semakin tinggi gajinya. Pegawai koperasi/kelompok kerja/BUMDes digaji sesuai dengan tingkat  pekerjaannya.
                Yang membedakan antara perusahaan dengan koperasi/kelompok kerja/BUMDes antara lain: pertama, kepemilikan alat produksi. Dalam koperasi/kelompok kerja alat produksi dimiliki oleh anggotanya. BUMDes, alat produksi dimiliki oleh desa yang merupakan penghasil dari pasir besi tersebut yang dikelola secara profesional oleh BUMDes. Sedangkan dalam perusahaan, alat produksi dimiliki oleh perusahaan (pemegang saham). Sehingga tidak ada keterasingan buruh dengan alat produksi yang dipakai untuk menghasilkan barang produksi. Karena alat produksi tersebut pada hakekatnya dimiliki oleh pekerja. Kedua, soal eksploitasi saat bekerja. Dalam artian, nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja dalam menghasilkan barang tetap dimiliki pekerja yang dibagikan melalui jumlah presentase yang dibagikan oleh Koperasi/kelompok kerja/BUMDes. Sehingga pertambahan nilai suat hasil produksi diikuti juga pertambahan gaji yang diterima oleh pekerja. Nilai lebih juga diterima oleh pekerja karena keuntungan yang diperoleh koperasi/kelompok kerja/BUMDes akan kembali dibagikan kepada anggotanya.
Ketiga, soal keterasingan/ketidakterasingan akan hasil produksi. Hasil produksi yang juga dimiliki oleh anggota koperasi/kelompok kerja, maupun yang dimiliki oleh desa melalui BUMDes. Merupakan milik dari pekerja dalam koperasi/kelompok kerja/BUMDes, sehingga pekerja tidak terasing dari hasil produksinya. Ini berbeda dengan perusahaan pertambangan yang bersifat Perusahaan (perseroan terbatas), dimana saham hanya milik sebagian kecil orang yang tidak pernah melakukan kerja dalam usaha pertambangan tersebut.
Keempat, soal pembagian akumulasi kapital. Akumulasi kapital adalah sejumlah keuntungan yang terkumpul dalam suatu usaha (baik koperasi/perseroan terbatas/kelompok kerja/BUMDes). Dimana akumulasi kapital tersebut dibagikan kepada pemilik dari badan usaha yang mengusahakan  pertambangan pasir besi. Sehingga keuntungan yang diperoleh koperasi/kelompok kerja/BUMDes akan langsung dapat dimiliki oleh masyarakat lokal terutama pekerja yang secara langsung berhubungan dengan pertambangan pasir besi. Ini berbeda dengan perseroan terbatas, yang mana pekerja dan masyarakat lokal tidak mempunyai hak atas keuntungan yang diperolehnya. Dan akumulasi kapital yang ada dibagikan kepada pemilik saham, dimana jumlahnya sangat terbatas. 
Dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat lokal dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam berupa pasir besi yang ada di pantai selatan tersebut tentunya akan menjadikan masyarakat lokal menjadi lebih sejahtera, dan keadilan sosial akan tercipta. Karena bagaimanapun masyarakat lokallah yang menjadi korban pertama atas kerusakan alam yang disebabkan pertambangan pasir besi tersebut.
Maka masyarakat lokal juga yang berhak pertama kali untuk menikmati sumber daya alam berupa pasir besi tersebut. Berhak atas peningkatan kesejahteraan, yang berasal dari sumber daya yang dekat dengan mereka. Bukan hanya menjadi korban atas kerusakan alam saja.
Tidak lantas kita mengatakan bahwa, masyarakat lokal di wilayah yang menolak penambangan pasir besi atau melakukan penambangan rakyat tanpa ijin, melanggar undang – undang, Perda dan lain sebagainya. Dimana setahu mereka, di wilayahnya ada sumber daya yang dapat meningkatkan kesejahteraan, namun tiba – tiba ada perusahaan dengan membawa selembar kertas, berhak atas wilayah tersebut. Tentunya ini merupakan kemunafikan pembangunan yang bersifat kapitalistik dengan mengagungkan pertumbuhan ekonomi.

--------------------------

Pertambangan pasir besi sendiri sebisa mungkin menggunakan peralatan yang dimiliki oleh rakyat, bukan dengan alat berat sebagaimana dilakukan saat ini. Dengan menggunakan peralatan dari rakyat ini akan menyebabkan persamaan antara kekuatan penambang dengan kekuatan memperbaiki diri yang dilakukan oleh alam. Sehingga kerusakan alam akibat penambangan pasir besi tersebut dapat dicegah atau dihambat.
Selain itu, penggunaan alat pertambangan rakyat bukan alat berat akan membuat pekerja dalam pertambangan pasir besi tersebut menjadi lebih banyak. Hal ini akan menyebabkan terbukanya peluang kerja yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan peralatan berat.
Namun bukan berarti penulis menolak adanya kemajuan teknologi. Kalau toch, harus memakai alat berat kiranya pembagian kerja perlu mendapatkan perhatian sehingga penghasilan dari hasil keringat pekerja dapat dibagi rata. Kemungkinan dengan cara pekerja digilir seminggu tiga hari kerja, dan ini dilakukan secara bergantian. Dengan begitu penghasilan (tingkat kesejahteraan) dapat merata.
Penggunaan alat berat yang digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi pasir besi harus batasi penggunaannya, agar alam mempunyai waktu untuk memperbaiki dirinya. Sebagai contoh tiga (3) bulan melakukan eksploitasi dengan alat berat, kemudian istirahat selama satu (1) bulan. Ini demi menjaga kelestarian alam. Meskipun pada tahap akhir eksploitasi pasir besi ini dilakukan reparasi pantai.

----------------------------

                Peningkatan Pendapatan Asli daerah dapat menjadi lebih banyak dibandingkan dengan dikelola oleh perusahaan karena, dengan dikelola oleh koperasi maka sebenarnya pihak daerah telah melakukan pemberdayaan masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi mandiri, tanpa tergantung pada pihak lain. Daerahpun mendapatkan tambahan pajak dari koperasi/kelompok kerja/BUMDes dan pajak penghasilan dari warga negaranya.
                Disisi lain pembangunan untuk wilayah desa yang ada pertambangan pasir besinya tidak begitu membutuhkan dana pembangunan dari pemerintah daerah, sehingga dana pembangunan tersebut (yang seharusnya dialokasikan ke desa itu) bisa diberikan ke desa lain.
                Pendapatan Asli daerah dapat ditingkatkan jika eksploitasi kekayaan alam (dalam hal ini pasir besi) dilakukan oleh Badan Usaha Milik daerah (BUMD) yang pengelolaannya terpisah dari birokrasi daerah dan dikelola secara profesional. Tentunya pengelolaan tersebut tetap melibatkan masyarakat lokal di wilayah penghasil pasir besi.
                Semoga jalan baru menuju sosialisme Indonesia akan segera terbuka untuk kita semua, ditengah kebijakan pemerintah yang semakin kapitalistik dengan Washington Conseption  sebagai acuannya.  

BAHASA INDONESIA: Sebagai Bahasa Persatuan





                Dalam Kongres Pemuda II atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda, disebutkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini berbeda dengan satu Bangsa dan satu tanah air.  Tentunya ini menjadi bahasan sendiri, kenapa bahasa tidak dijadikan satu, yakni bahasa Indonesia.
                Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia mempunyai banyak suku, adat – istiadat dan juga bahasa. Tentunya jika kita memaksakan bahasa Indonesia sebagai satu – satunya bahasa tentunya akan menjadi masalah. Karena harus menghilangkan berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia.
                Bahasa merupakan ciri khas, manifestasi dari kebudayaan suatu suku bangsa. Sehingga menghilangkan bahasa daerah (suku) tentunya akan menjadi permasalahan dan menghilangkan kebhinekaan dalam bhineka tunggal ika. Permasalahan yang muncul, ialah hilangnya bahasa yang merupakan kekayaan kebudayaan Indonesia.
                Pesan yang disampaikan oleh Pendahulu kita (yang ikut dalam sumpah pemuda), untuk tidak menghilangkan bahasa daerah. Sebagaimana kondisi saat ini, dimana orang Jawa sudah tidak dapat berbicara bahasa Jawa, orang Sunda sudah jarang memakai bahasa Sunda dan seterusnya. Ini mengakibatkan manusia Indonesia tercerabut dari akar budaya, dari budaya Ibu atau tanah yang membesarkannya. Sehingga diharapkan oleh bapak/ibu bangsa kita, agar kita tetap mengingat budaya, adat kita.
Sehingga bahasa Indonesia yang merupakan gubahan bahasa Melayu, dimana bahasa Melayu tersebut sudah menjadi bahasa pengantar dalam perdagangan di nusantara. Hanya digunakan sebagai bahasa persatuan atau bahasa resmi, tidak lantas dengan menghilangkan bahasa daerahnya.

                Kebesaran Suku Jawa
                Dalam Kongres Pemuda II tersebut banyak sekali pesertanya yang berasal dari Jawa dan penduduk Indonesia sendiri 70% lebih merupakan suku bangsa Jawa. Namun suku Jawa tidak memaksakan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional bagi bangsa Indonesia. Tentunya jadinya bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa persatuan bukan saja jasa suku bangsa Melayu tetapi juga peranan suku bangsa Jawa yang mau legowo, tidak memaksakan bahasanya sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional.
                Berpegang Pada Budaya
Setelah 84 tahun sumpah pemuda, saatnya kini kita melakukan instropeksi diri terkait dengan kondisi Kebangsaan Indonesia yang sudah semakin jauh dari budaya dan Jiwa Kebangsaan. Dimana pesan yang disampaikan oleh pendiri bangsa dalam pengakuan yang ketiga dalam Sumpah Pemuda, untuk tetap menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan sehari – hari. Untuk tetap berpikir sesuai dengan bahasa ibu yang telah membesarkannya.
Dengan pola pikir yang demikian inilah, akan tercipta pola pembangunan yang menyesuaikan dengan kearifan lokal yang ada. Bukannya program pembangunan yang “saklek” dari pusat tanpa mengindahkan keadaan kearifan lokal. Sehingga efek pembangunan justru akan menyebabkan kepunahan nilai – nilai kelokalan yang merupakan kekayaan bangsa.