Kamis, 18 November 2010

PERTANIAN: BASIS PEMBANGUNAN DI KAB. BLITAR


Pertarungan memperebutkan kursi Bupati dan wakil Bupati telah usai, meskipun komisi Pemilihan Umum Kab. Blitar belum mengumumkan pemenangnya secara resmi. Namun masyarakat telah mengetahui pemenangnya melalui penghitungan cepat yang dilakukan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Baik itu tim sukses kedua pasangan calon, Komite Independen Pemantau Pemilu, Lembaga survei maupun yang lain. Dalam penghitungan cepat yang dilakukan oleh berbagai pihak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasangan Heri Nugroho - Rianto mampu mengungguli pasangan Arif Fuadi - Heri Romadhan.
            Pemilukada merupakan hasil dari proses Otonomi Daerah yang bertujuan untuk menciptakan suatu pemerintahan daerah yang akuntabel,  kridebel dan transparans. Dimana rakyat mempunyai hak untuk memilih pimpinan mereka sendiri ditingkat daerah. Kedekatan pimpinan daerah dengan masyarakat yang dipimpinnya diharapkan mampu meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, yang pada akhirnya mampu mmenciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur.
            Proses pembangunan yang dalam prosesnya dibuat secara bersama - sama dan/atau diawasi oleh rakyat (mulai dari perencanaan, penyusunan, pembuatan, penetapan, sosialisasi, implementasi hingga pengawasan) akan mampu mencipta pelayanan dan/atau pembangunan menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Ini sangat penting, karena tanpa pelibatan masyarakat dalam proses pemerintahan akan cenderung terjadi pelanggaran dalam melaksanakan fungsi - fungsi pemerintahan.
            Bupati dan Wakil Bupati terpilih harus siap menang dan menjalankan program - programnya sesuai visi dan misi selama kampanye. Ini sebagai konsekuensi logis dari sistem pemerintahan yang saat ini menjadi model di negara kita. Dimana visi dan misi calon bupati dan wakil Bupati akan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah diwilayah.
            Pembangunan Kabupaten Blitar kedepan harus didasarkan kepada pembangunan dalam sektor pertanian. Hal ini sesuai dengan Psiko – history masyarakat kabupaten Blitar yang sejak dulu merupakan masyarakat Petani. Dan dalam sejarah, Blitar dikenal sebagai daerah penyangga logistik ibukota Kerajaan - Kerajaan yang berada di Jawa Timur. Karena keberadaan gunung Kelud sebagai sumber kesuburan tanah di Blitar. Sehingga pembangunan Kab. Blitar yang tidak mengandalkan atau bertumpu pada dunia pertanian merupakan bentuk pengingkaran terhadap sejarah Kab. Blitar sendiri.
            Saat ini, dari 1.259.784 jiwa penduduk kab. Blitar, 66, 69% merupakan petani maupun buruh tani. Sehingga dengan menjadikan dunia pertanian sebagai basis/pondasi pembangunan di Kab. Blitar, maka hasil – hasil pembangunan akan dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas, tentunya dengan tidak mengabaikan sektor – sektor lain. Bukan menjadikan dunia pertanian sebagai bagian pembangunan, sebagaimana saat ini.
            Pada masa pemerintahan Herry Nugroho – Arif Fuadi (kini mereka harus cerai) selama lima tahun terakhir ini, kebanyakkan program pembangunan dialokasikan kepada perbaikan/pembangunan infrastruktur jalan di Kab. Blitar. Ternyata terbukti gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kab. Blitar, alih - alih mengurangai angka kemiskinan. Prinsip pembangunan yang hanya memperbaiki/membangun fisik, terbukti gagal menyejahterakan masyarakat, karena masyarakat tetap tidak menguasai alat produksi yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Kini saatnya membangun manusia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan alat - alat prodduksi kepada rakyat.
            Sampai saat ini, petani didesa - desa masih belum mendapatkan peningkatan kesejahteraan yang berarti, meskipun program pemerintah telah sampai pada mereka. Paradigma yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana pendanaan program - program masih saja bocor ditengah jalan, bahkan menjadi komoditas politik ditengah demokrasi liberal saat ini. Dimana, pejabat politik yang mempunyai keinganan untuk mempertahankan kekuasaannya harus merebut hati rakyat, bahkan membeli suara rakyat, yang salah satunya dengan menggunakan program pemerintah dengan barter suara dalam pemilihan umum.
            Permasalahan didunia pertanian tidak semata - mata permasalahan ketersediaan bahan produksi yang selama ini disediakan oleh Pemerintah. Bukan sekedar permasalahan pupuk yang harus disediakan setiap jelang musim tanam dan perlindungan terkait harga penjualan hasil panen. Namun permasalahan didunia pertanian sangatlah rumit.

            PERMASALAHAN SEKTOR PERTANIAN
            Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh petani kita antara lain; pertama, organisasi, perlu adanya penguatan organisasi petani, untuk menjadi organisasi yang mandiri, kuat dan berdaulat. selama ini , organisasi petani  yang benar - benar mampu berdiri secara mandiri, adalah mereka yang mengalami konflik/sengketa tanah dengan pihak lain, baik dengan perusahaan swasta, negara maupun dengan alat negara. Sementara petani yang sudah mempunyai tanah garapan, mengalami kecenderungan berorganisasi hanya saat ada bantuan tiba, dan tidak bersifat kontinyu dengan tujuan yang telah ditetapkan. Padahal sebuah golongan yang tidak mempunyai berorganisasi atau mempunyai organisasi namun lemah, akan cenderung tersisih/disisihkan dan termajinalkan/dimarjinalkan, karena tidak mempunyai posisi tawar dihadapan golongan lain.
            Kedua, Kebijakan pemerintah terkait dunia pertanian, yang cenderung menganggap sektor pertanian sebagai sektor kelas dua atau alternatif pembangunan. Sehingga pembangunan dalam bidang pertanian selalu dianaktirkan meskipun secara kuantitas masyarakat Blitar banyak petani. Yang menyebabkan tidak adanya perlindungan bagi petani terkait ketersediaan sarana produksi pertanian. Ini dapat terlihat saat pemerintah selalu terlambat dalam penyediaan sarana produksi pertanian. Padahal siklus tanam, sejak dahulu hingga sekarang tetap dan dapat dijadikan sebagai evaluasi, tidak mengulangi keterlambatan persediaan sarana produksi pertanian setiap tahunnya. Dan tentunya jaminan harga hasil produksi dipasaran harus dilakukan oleh pemerintah, tidak diserahkan kepada mekanisme pasar.
            Ketiga, Program yang dijalankan oleh Pemerintah selama hanya bersifat jangka pendek yang tidak berkesinambungan dan tidak berhubungan antara satu dengan lainnya (pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan dll) tidak ada satu koordinasi dan merupakan bentuk politik etis. Program yang masuk sektor pertanian selama ini hanya bersifat temporer tanpa ada kelanjutan dari program tersebut, sehingga tidak dapat dilanjutkan. Karena Tidak ada tujuan jelas dari program - program yang ada.   Sementara, dinas - dinas yang terkait dengan dunia pertanian, dalam menjalankan program cenderung sektoral dan tanpa koordinasi untuk pembangunan sektor pertanian.
            Kondisi politik yang menerapkan suara terbanyak dalam pemilihan anggota legislatif telah merubah paradigma pembangunan. Yang dulu masih mempunyai konsep dan tujuan jelas, kini hanya sekedar untuk memuaskan masyarakat atau untuk menepati janji wakil rakyat yang jadi kepada pemilihnya. Sebagai konsekuensi pemenuhan janji - janji politik selama kampanye, termasuk dalam sektor pertanian. Sehingga bantuan/subsidi sarana produksi menjadi tidak adil.
            Keempat, struktur Penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber - sumber agraria yang tidak adil. Di Kab. Blitar dari total luas 158.879 Km², lahan pertanian hanya tersedia 19%, padahal jumlah petani dan buruh tani di Kab. Blitar mencapai 66,69% dari 1.179.975 jiwa, Sementara, perkebunan baik swasta maupun negara menguasai 31%, Kehutanan menguasai 21%. Sehingga, masyarakat yang jumlahnya banyak hanya menguasai sumber - sumber agraria dalam jumlah sedikit, sedangkan badan usaha yang telah kaya menguasai lahan yang luas. Ini menunjukan struktur agraria yang tidak adil.
            Pembangunan pertanian tanpa perombakan struktur penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaat sumber - sumber agraria tidak akan pernah menyentuh kepada masyarakat luas dan cenderung terjadi bias kapitalis. Karena tanah merupakan alat produksi utama dalam dunia pertanian. Tanpa kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah oleh petani penggarap, maka keuntungan dari hasil pertanian hanya akan menjadi milik mereka yang menguasai lahan yang luas.
           
            SOLUSI
            Dari permsalahan - permasalahan yang muncul tersebut, dapat diambil berbagai solusi. Sehingga petani benar - benar mampu menjadi petani yang mandiri, kuat dan berdaulat. Adapun penulis memberikan solusi sebagai berikut:
            Pertama, Penguatan organisasi tani. Bahwa perjuangan suatu kaum/golongan hanya dapat dilakukan dengan sukses jika dilakukan oleh kaum itu sendiri. Petani harus menyelamatkan dirinya sendiri, tanpa menggantungkan nasibnya kepada golongan lain. Namun bukan berarti, harus selalu bertentangan dengan golongan lain. Karena perjuangan dari golongan lain tentunya juga membawa kepentingan golongan lain juga.
            kekuatan petani terletak pada kekuatan gotong - royongnya dan etos kerja yang luar biasa. Sejak jaman feodal hingga sekarang posisi petani yang tidak pernah mengalami kemerdekaan sebagai subtantif, mampu bertahan. membuktikan bahwa dalam posisi yang lemah (dijajah terus sepanjang hayat), petani mampu bertahan. Kekuatan potensial ini, karena petani mempunyai kemampuan untuk bekerja keras dan gotong - royong. Namun kemampuan tersebut samapi saat ini belum diorganisir dengan baik oleh kalangan petani untuk menjadi kekuatan yang besar guna mendesakan kepantingan mereka menjadi sebuah kebijakan di pemerintah. saat kekuatan tersebut mampu diorganisir maka patani dengan sendirnya akan mengalami kedaulatan, yang akan menjadi modal untuk meningkatkan kesejahteraannya.
            kelas menengah yang mau dan mampu bekerja untuk kelas petani, hanya akan mendampingi petani, namun tidak akan mampu memerdekakan petani dari penjajahan bangsa sendiri seperti saat ini. Peranan kelas menangah hanya sebagai pendorong bagi gerakan kaum petani semata. Selebihnya adalah kaum petani yang melakukan perjuangan untuk merebut kemerdekaan yang hakiki.
            Kedua, anggapan bahwa peertanian hanya sebagai sector kedua harud dihilangkan karena secara jumlah masyarakat Kab. Blitar kebanyakan dari sector pertanian ini. Pemerintah harus mengutamakan sector pertanian sebagai basis untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan di Kab. Blitar. Sehingga pembangunan dan pengentasan kemiskinan akan berdampak luas bagi sebagian besar mesyarakat di Kab. Blitar. Tentu saja dengan tidak melupakan sector lain.Namun konsentrasi kepada salah satu sector telah terbutkti akan mampu mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pembangunan yang diadakan di propinsi gorontalo, yang berkonsentrasi pada dunia pertanian khususnya petani jagung. Ini dapat dicontoh oleh Kab. Blitar untuk juga berkonsentrasi dalam pembangunan demi pengentasan kemiskinan. Tentunya mengutamakan petani karena factor jumlah dan angka kemiskinan yang besar diwilayah pedesaaan yang bermatapencaharian sebagai petani.
            Ketiga, Dalam menjalankan program di sector pertanian, pemerintah harus menerapkan tujuaqn jangka panjang dari program tersebut. Sehingga ada kesinambungan antara program  satu dengan program yang lain. Dan semua program tersebut diarahkan untuk menuju titik tujuan tersebut. Tahapan – tahapan untuk memajukan dunia pertanian harus dibuat, sehingga dapat dievalusi targetan yang dicapai oleh masing – masing tahapan tersebut.
            Guna menyukseskan program anadalan di bidang pertanian ini, Pemerintah harus juga mengerahkan semua potensi untuk mendukung dunia pertanian sebagai basis kepada sector – sector lain yang terkait. Seperti perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain – lain. Dengan adanya kerjasama antar sector yang tidak bersifat sektoral akan menjadikan hasil lebih cepat didapat. Dapat harus melihat sector mana yang sukses dan mendapatkan citra dari masyarakat. Namun lebih dilihaT sebagai kesuksesan bersama antar sector (pemerintah Kab. Blitar).
            Keempat, Perlu adanya perombakan penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agrarian di kab. Blitar. Hal ini mengingat  struktur agrarian di kab. Blitar yang tidak adil. Sehingga pembangunan pertanian yang tidak melakukan perubahan terhadap struktur agrarian akan terjadi bias kapitalistik. Dimana pemilik  modal dan penguasa tanah saja yang mendapatkan keuntungan. Sementara petani gurem akan cenderung melakukan penjualan tanah terhadap petani besar.
Di kab. Blitar terdapat 28 titik sengketa pertanahan antara petani dengan swasta, PTP, Alat Negara, pemerintah daerah, maupun dengan pemerintah desa. Yang merupakan konflik pertanahan yang paling komplek dalam hal mereka yang berkonflik.  Sehingga sudah wajar jika melakukan perombakan agrarian harus ditempatkan sebagai salah satu bidang dalam pembangunan pertanian di Kab. Blitar.
Untuk menyikapi hal tersebut, sudah selayaknya pemerintah Kab. Blitar membentuk suatu Badan otoritas khusus tentang reforma Agraria, yang bertugas guna menyelesaikan permasalahan sengketa lahan di 28 titik tersebut. Dan juga memfasilitasi petani untuk mendapatkan hak atas tanah, di tanah – tanah Negara yang ditelantarkan oleh pemegang Hak Guna Usaha (perkebunan). Dengan demikian maka, struktur agrarian di kab. Blitar akan berubah. Dan tanah terlantar mampu dimanfaatkan oleh Petani.

Jumat, 12 November 2010

MARHAENISME MENURUT TAFSIRAN BUNG KARNO


Bagi Soekarno ideologi marhaenisme adalah ideologi perjuangan bagi golongan masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem kolonoalisme, imperialisme, feodalisme
dan kapitalisme. Untuk dapat memahami marhaenisme menurut Soekarno harus
menguasai dua pengetahuan :
Pertama : Pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan
Kedua : Pengetahuan tentang Marxisme.
Soekarno berkali-kali menegaskan bahwa siapapun tidak dapat memahami marhaenisme jikalau tidak memahami marxisme terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan dengan alasan yang kuat pula bahwa marhaenisme adalah marxisme yang disesuaikan dengan kondisi dalam masyarakat Indonesia sendiri. Ketika Soekarno mencermati marxisme, Bung Karno menemukan bahwa marxisme terdiri dari 2 hal yang harus dibedakan ; filsafat materialisme dan histories materialisme. Bung Karno menilai filsafat materialisme yang atheis tidak sesuai dengan kehidupan Indonesia.
Menurut Soekarno historis-materialisme dapat digunakan sebagai metode berpikir  untuk menganalisa kehidupan sosial di Indonesia. Historis-materialisme bukanlah merupakan ajaran atau ideologi tetapi semata-mata merupakan teori sosial yang dapat dipergunakan untuk menganalisa keadaan sosial. Dengan menggunakan historis-materialisme sebagai pisau analisa, Bung Karno menemukan bahwa rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah petani kecil, hidup menderita karena ditindas oleh sistem yang mengungkungnya, yaitu kolonialisme/ imperialisme bangsa asing yang merupakan anak kapitalisme, serta feodalisme bangsa Indonesia sendiri.
Akibat dari penindasan dan pemerasan dari sistem tersebut rakyat Indonesia tidak mampu mewujudkan tuntutan budi nuraninya. Berangkat dari pemikiran itu untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat yang tertindas maka Bung Karno melahirkan ideologi marhaenisme.
Marhaenisme adalah ideologi ajaran Bung Karno secara keseluruhan, didalam arhaenisme terkandung alur pemikiran yang konsisten, suatu ideologi yang membela rakyat dari penindasan dan pemerasan kapitalisme, kolonialisme/imperialisme serta feodalisme, dalam rangka membangun masyarakat adil-makmur dan beradab, bebas dari segala penindasan dan pemerasan, baik oleh bangsa atas bangsa maupun manusia atas manusia. Marhaenisme adalah pemikiran yang murni dicetuskan oleh Bung Karno dan berangkat ari kebutuhan hidup manusia yang paling substansial dan bersifat universal, yaitu Tuntutan Budi Nurani Manusia (The Social Consience of Man), yang menghendaki terwujudnya kesejahteraan hidup manusia yang hanya dapat terpenuhi apabila telah tercipta harmonisasi antara kemerdekaan individu dan keadilan sosial.
Pada kenyataannya tuntutan tersebut tidak dapat ditemukan pada saat itu, dan keprihatinan atas permasalahan (nasib bangsa Indonesia) inilah yang merupakan titik tolak dari pengkajian Bung Karno dalam melahirkan ideologi marhaenisme. Golongan masyarakat yang miskin dan melarat inilah yang disebut Soekarno marhaen. 
Rumusan marhaenisme ini dijelaskan Bung Karno sebagai berikut :
1.   Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum marhaen.
2.      Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya.
3.      Marhaenisme sekaligus sebagai asas dan cara perjuangan yang revolusioner menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.
Bung Karno juga menyebut marhaenisme merupakan sosio nasionalisme dan sosio demokrasi. Hal ini menurut
Soekarno dikarenakan nasionalisme kaum marhaen adalah nasionalisme yang berkeadilan sosial dan dikarenakan demokrasinya kaum marhaen adalah demokrasi yang berkeadilan social.
Pengertian marhaen yang merupakan asal-usul dicetuskannya ideologi marhaenisme  menurut Soekarno adalah golongan masyarakat miskin yang terdiri dari tiga unsure :
1.      Unsur kaum proletar Indonesia atau disebut kaum buruh.
2.      Unsur kaum tani melarat Indonesia.
3.      Unsur kaum masyarakat melarat Indonesia lainnya.
Soekarno juga menjelaskan golongan mana yang disebut dengan kaum marhaenis, yakni kaum yang mengorganisir berjuta-juta kaum marhaen dan yang bersama-sama dengan tenaga massa marhaen yang hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imperialisme serta kolonialisme, dan kaum yang bersama-sama dengan marhaen membanting tulang untuk membangun negara dan masyarakat yang kuat, bahagia-sentosa, serta adil dan makmur.
Pernyataan ini semakin ditegaskan oleh Soekarno dalam pernyataannya : Pokoknya, Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan marhaenisme seperti yang saya jelaskan. Camkan bebar-benar ! setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum marhaen dan bersama-sama dengan kaum marhaen ! Pandangan Soekarno yang memperlihatkan kebenciannya terhadap sistem kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme yang dianggapnya sebagai sumber mala petaka penyebab kemiskinan masyarakat indonesia dapat dilihat dari petikan pidatonya yang mensyaratkan perlunya kerjasama dengan kaum tertindas dalam merubah sistem yang eksploitatif :
Kita semua harus berjuang di tengah-tengah rakyat marhaen, membulatkan seluruh kekuatan marhaen, dan bersama-sama dengan kaum marhaen itu terus berjuang melawan kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme dimanapun ia masih bercokol dan berada.
Seorang penulis Amerika Louis Fischer pernah mengumpamakan marhaenisme sebagai Smith-isme untuk masyarakat Amerika, karena di Amerika Smith adalah nama yang paling banyak dipakai oleh orang-orang kecil, dan andaikata Bung karno tidak berjalan-jalan ke Bandung Selatan tetapi di desa-desa sekitar Malang, dan ia berjumpa dengan pak Kromo atau pak Bakat maka ia tentu akan menamakan :
kromo-isme atau bakat-isme.
Ketika Bung Karno akan memberi nama terhadap masyarakat Indonesia yang tertindas oleh sistem yang eksploitatif, serta nama ideologi yang telah dipikirkannya Bung Karno bertemu dengan seorang petani kecil di desa Cigalereng, Bandung Selatan bernama Marhaen.
Bagi Bung Karno, Pak Marhaen adalah simbolisasi dari lapisan masyarakat yang merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia pada saat itu. Dia adalah seorang petani kecil yang memiliki alat produksi, bekerja dengan seluruh waktunya, tetapi tetap menderita karena hidup dalam sistem yang menindasnya. Marhaenisme yang ditafsirkan Soekarno sendiri dapat juga dilihat dari keputusan  Konfrensi Partindo pada tahun 1933 tentang marhaen dan marhaenisme yang populer:
1.      Marhaenisme, yaitu sosio nasionalisme dan sosio demokrasi.
2.      Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
3.     Partindo memakai perkataan marhaen, dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar sudah termaktub didalam perkataan marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub didalamnya.
4.      Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan, kaum melarat menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya), maka Partindo memakai perkataan marhaen.
5.      Didalam perjuangan marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.
6.      Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
7.      Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
8.      Jadi marhaenisme adalah ; cara perjuangan dan asas yang menghendaki  hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
9.      Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan marhaenisme.
Marhaenisme ajaran Bung Karno sebagai ideologi perjuangan bagi kaum marhaen memiliki asas perjuangan sesuai dengan watak dan karakter ideologi marhaenisme. Perjuangan kaum marhaenis dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta beradab memerlukan suatu strategi dan cara yang disebut asas perjuangan.Sosio nasionalisme bertujuan memperbaiki keadaan di dalam masyarakat sehingga tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang celaka, dan tidak ada kaum yang papa sengsara. Sosio nasionalisme bertujuan untuk mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio demokrasi lahir daripada sosio nasionalisme bertujuan mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki, dan tidak hanya mengabdi kepada kepentingan sesuatu yang kecil melainkan kepada kepentingan masyarakat.Sosio nasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan, nasionalisme yang lapang dada, nasionalisme yang internasionalisme, nasionalisme yang bergetar hatinya untuk membela apabila melihat masih ada bangsa yang terjajah.Sosio nasionalisme bukanlah nasionalisme yang berpandangan sempit dan menumbuhkan chauvinisme jingoisme, intoleran atau disebut xeno phobia. Sosio nasionalisme juga bukan nasionalisme yang hanya berorientasi pada  internasionalisme minded saja, tanpa memperhatikan harga diri atau identitas nasional atau disebut xeno mania.
Bagi marhaenisme, internasionalisme harus dibarengi oleh nasionalisme atau patriotisme dan disebut sosio nasionalisme. Sosio demokrasi meliputi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik hanya akan melahirkan political  power centris yang menyuburkan lairan yang berpedoman pada adagium  Thesurvival of the fittest, dalil sosial Darwinisme.
Demokrasi politik yang seperti ini berwatak liberalisme dan menjurus kepada free fight competition dan bertentangan dengan marhaenisme yang sosialistis. Dengan demikian demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sejajar dengan marhaenisme. Apabila marhaenisme dikembangkan maka akan melahirkan :
1.      Sosio nasionalisme menjadi nasionalisme, perikemanusiaan.
2.      Sosio demokrasi menjadi demokrasi, kedaulatan politik dan keadilan sosial.
Bung Karno dalam menjelaskan marhaenisme tidak pernah keluar dari benang merah yang telah digariskan sejak tahun 1927 tentang marhaenisme, diantaranya :
1.      Marhaen adalah kaum melarat Indonesia yang terdiri dari buruh, tani, pengusaha kecil, pegawai kecil, tukang, kusir, dan kaum kecil lainnya. Soekarno sering menyebutkan marhaen adalah rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh imperialisme.
2.      Marhaen Indonesia ada yang berdomisili di pantai, di gunung, di dataran  rendah, di kota, di desa dan dimana saja. Marhaen itu ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan ada juga yang menganut animisme. Marhaen Indonesia ada yang kyai, pastor, pendeta, biksu, mpu atau dukun di kalangan PSII, Budi Utomo, TNI, KORPRI dan dimana saja.
3.      Kaum marhaen sesuai dengan kodratnya berupaya melepaskan belenggu  kemiskinan dan mengharapkan terjadinya perbaikan nasib.
4.      Marhaenisme adalah ideologi yang bertujuan menghilangkan penindasan, penghisapan, pemerasan, penganiayaan dan berupaya mencapai serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, melalui kemerdekaan nasional, melalui demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
5.      Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan makmur hanya bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana kemerdekaan itu hanyalahjembatan emas. Di seberang jembatan emas itu terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur, dan jalan satu lagi menuju masyarakat celaka dan binasa.
Marhaenisme adalah sublimasi daripada Manifesto Komunis dan Declaration Of Independence. Dari Manifesto Komunis diambil yang baik dan yang bermanfaat bagi perkembangan umat manusia, begitu pula dengan Declaration Of Independence. Oleh karena itu konsepsi marhaenisme memadukan kebebasan manusia dan solidaritassosial yang berdasarkan pada nilai-nilai manusia dan kemanusiaan. Konsepsi  marhaenisme adalah ideologi yang akan menggantikan ideologi komunisme dan kapitalisme.
Marhaenisme ajaran Soekarno bukanlah jalan ketiga seperti yang dicetuskan oleh Anthony Giddens, yang bertujuan untuk mendamaikan perbedaan antara 2 ideologi di Eropah antara kubu demokrasi sosial yang dinilai terlalu memberi kebebasan kepada negara untuk mengatur jalannya perekonomian masyarakat.dan kubu liberalisme yang dinilai terlalu liberal dengan politik ekonomi pasar bebas.
Ideologi jalan ketiga Giddens sangat berbeda dengan marhaenisme  dikarenakan jalan ketiga bukan lahir daripada antitesa terhadap kapitalisme melainkan upaya untuk mendamaikan sistem ekonomi pasar bebas dengan ekonomi demokrasi sosial. Marhaenisme lahir sebagai sebuah antitesa ataspenghisapan oleh kapitalisme dan imperialisme negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ketiga. Jalan ketiga dinilai banyak pihak berhubungan erat dengan kebijakan-kebijakan neoliberal, dianggap dekat dengan pergerakan-pergerakan sayap kanan dan dianggap sebagai upaya untuk memodernisir wacana sosialisme-demokrasi di era globalisasi. Marhaenisme menekankan pentingnya pendidikan terhadap massa marhaen sementara jalan ketiga Giddens lebih mempersiapkan kelas pekerja untuk menghadapi pasar bebas. Ideologi aIternatif atau jalan ketiga (The Third Way ) merupakan kejenuhan historis terhadap segala bentuk ideologi yang menjenterah diantara keriuhan peradaban dunia seperti sosialisme dan kapitalisme. Jalan keriga juga  lahir karena peleburan cakrawala antara berbagai aliran ideologis untuk melahirkan suatu peradaban baru yang bernaung dibawah ideologi kemanusiaan. Inti dari marhaenisme adalah untuk mengganti kapitalisme dengan segala metamorfosanya dan marhaenisme adalah ideologi kiri yang merupakan antitesa  kapitalisme dan bukan ideologi kanan apalagi jalan ketiga.
Marhaenisme adalah ideologi yang berpijak pada nilai-nilainya sendiri bukan merupakan hasil revisi ataupun hasil damai antara kiri dan kanan. Visi Marhaenisme adalah terwujudnya masyarakat marhaenistis, yaiu masyarakat adil, makmur dan beradab berdasarkan kesederajadan dan kebersamaan yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan, bebas dari segala bentuk penindasan dan keterkungkungan (hegemoni), suatu masyarakat adil dan makmur material dan spiritual.
1.1  Azas
Azas adalah dasar atau pegangan kita yang walau sampai lebur kiamat, terus menentukan  sikap kita, terus menentukan duduknya nyawa kita. Azas adalah prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan untuk dapat mewujudkan visi yang telah dicanangkan. Azas Marhanisme yang merupakan hasil analisa Bung Karno dengan menggunakan historis-materialisme adalah :
Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki kesejahteraan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, nasionalisme yang hidup dalam taman sarinya internasionalisme, bukan nasionalisme yang chauvinistis. Nasionalisme  yang saling menghargai antara bangsa-bangsa dalam kesederajadan dan perdamaian abadi, sehingga tidak menghendaki terjadinya penjajahan suatu bangsa oleh bangsa lain.
Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang mencari selamatnya  perikemanusiaan. ... Sosio nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen, dan menolak tiap tindak kaum borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi,- suatu  nasionalisme yang mencari keberesan politik dan keberesan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berkeadilan sosial, bukan demokrasi yang sekedar mengedepankan perbedaan dan kemerdekaan individu yang mengabaikan kebersamaan serta tegaknya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Esensi dari Sosio-demokrasi adalah tegaknya kesedrajadan dan kebersamaan yang merupakan landasan bagi terwujudnya keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Tujuan demokrasi adalah untuk menciptakan kesejahteraan bersama tanpa ada penindasan manusia oleh manusia.
Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan masyarakat,- demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demkrasi politik dan emokrasi ekonomi. Marhaenisme merupakan sintesa yang lahir dari antitesa terhadap sistem yang menindas dan menyengsarakan rakyat, maka Marhaenisme memiliki sifat anti penindasan, anti terhadap kapitalisme, kolonialisme/imperialisme dan feodalisme maupun setiap bentuk penindasan lainnya. Hasil penganalisaan kultural Bung Karno terhadap bangsa Indonesia membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa serta sanggup hidup berdampingan secara damai dalam pluralisme beragama. Apabila dicermati secara seksma maka kan dapat kita ketahui
bahwa azas Marhaenisme tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
1.2  Azas Perjuangan Marhaenisme
Azas perjuangan adalah menentukan hukum-hukum daripada perjuangan itu,-menetukan strategi daripada perjuangan itu. Azas perjuangan menentukan karakter perjuangan itu, sifat-wataknya perjuangan itu, garis-garis besar daripada perjuangan itu,- bagaimana perjuangan itu. Adapun asas perjuangan daripada ideologi marhaenisme adalah :
A.     Radikal-revolusioner
B.     Non-kooperasi
C.     Machtsvorming dan machtsaanwending
D.     Massa aksi
E.      Self help
F.      Self reliance
Radikal-revolusioner adalah cara perjuangan untuk melakukan perubahan secara mendasar dan cepat. Radikal revolusioner tidak ada hubungannya dengan kekerasan, amuk-amukan, apalagi bunuh-bunuhan, tetapi cara perjuangan yang tidak hanya tambal sulam. Hal mendasar dari radikal-revolusioner adalah non-kooperasi. Non-kooperasi adalah perjuangan dengan tidak melalui jalan kompromi, bukan perjuangan meminta-minta, dan non-kooperasi ditujukan terhadap sistem yang melakukan  pemerasan dan penindasan, terhadap sistem yang menistakan kemerdekaan individu dan keadilan sosial. Terhadap sistem yang mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan itulah non-kooperasi diarahkan. Machtsvorming adalah perhimpunan kekuatan yang dilandasi satu kesatuan semangat dan cita-cita, satu penyusunan kekuatan berdasarkan mental ideologi, dan merupakan sumber dalam menggunakan kekuatan (machtsaanwending) dan bukan hanya himpunan orang dalam jumlah yang banyak, bukan juga himpunan yang sifatnya  lahiriah.
Massa aksi adalah suatu massa aksi yang didasari pada kesadaran bersama atas tujuan perjuangan, massa aksi bukanlan gerakan yang harus dengan jumlah besar, tetapi setiap tindakan yang dapat melahirkan kesadaran rakyat untuk menimbukan gerakan yang radikal-revolusioner. Massa aksi berbeda dengan massale aksi. Self help adalah suatu gerakan yang tidak bergantung kepada kekuatan sesuatu  pihak melainkan harus berdasarkan kekuatan sendiri. Dengan menggantungkan diri pada pihak lain maka dapat membuka peluang terhadap pihak lawan untuk mengkooptasi (membelokan gerakan dengan niat buruk) gerakan. Dengan dasar self help, suatu gerakan akan memiliki self reliance (kepercayaan diri).
Asas perjuangan dari marhaenisme tersebut mengandung 3 misi utama bagi kaum marhaenis Indonesia, yakni :
1.      Membangun kesadaran rakyat atas penderitaan serta sebab-sebab yang mengakibatkan penderitaannya.
2.      Membangun kekuatan kaum marhaen dan marhaenis agar dapat menjadi subjek  sosial-politik yang menentukan tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.      Menggalang kekuatan progressif-revolusioner, yaitu semua kekuatan yang mendukung tercapainya revolusi Indonesia sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Kekuatan progressif-revolusioner adalah kekuatan yang berpikiran maju ke arah  tujuan revolusi Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan beradab, masyarakat tanpa penindasan dan pemerasan oleh manusia atas manusia maupun bangsa atas bangsa. Tujuan revolusi ini hanya kan dapat dicapai melalui tiga tahapan revolusi, yang oleh Bung Karno disebut “ Tiga Kerangka Revolusi, yaitu :
1.      Kemerdekaan penuh/Nasional-demokratis.
2.      Sosialisme Indonesia.
3.      Dunia baru yang adil dan beradab.
Untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki tersebut, maka Indonesia harus menyelenggarakan pembangunan :
1.      State Building (mempertanyakan Negara Kesatuan Republik Indonesia )
2.      Nation and character Building (pembangunan karakter bangsa)
3.      Social and economic developing building (pembangunan social ekonomi)

Kamis, 11 November 2010

RELEVANSI PEMIKIRAN SOEKARNO DI ERA GLOBALISASI

Ideologi 
RELEVANSI PEMIKIRAN SOEKARNO DI ERA GLOBALISAS

Oldefo vs Nefo

Indonesia sekarang menghadapi serangan dari negara-negara industri, terutama Amerika Serikat, Eropa Barat, Jepang, dan Australia. Serangan tersebut berupa serangan ekonomi. Ekonomi Indonesia dipaksa dibuka selebar-lebarnya untuk barang komoditas dari Barat masuk tanpa batas. Indonesia dipaksa mengikuti “ideologi” free trade dalam sebuat situasi ekonomi yang kuat, yaitu kekuatan ekonomi transnational corporations, International Monetary Fund dan Bank Dunia bisa memanfaatkan “kebebasan” tersebut untuk menguras habis kekayaan Indonesia.

Serangan ini sebenarnya sedang berlangsung terhadap semua elemen “Dunia Ketiga”. Namun, serangan ini juga melahirkan arus balik. Dan arus balik perlawanan terhadap IMF, World Bank, dan transnational corporations (konglomerat negara kaya) menunjukkan bahwa konsep “Dunia Ketiga” yang dirumuskan oleh Mao Tse Tung tidak menggambarkan situasi yang sebenarnya. Ternyata yang lebih tepat adalah konsep yang dirumuskan Bung Karno pada tahun 1960-an. Memang betul bahwa analisis-analisis Mao Tse Tung meninggalkan istilah ”Dunia Ketiga” dalam pembendaharan kata politik dunia sampai sekarang. Namun, ternyata adalah konsep Bung Karno yang lebih akurat berhasil menangkap perkembangan politik global era millenium baru. Mao membagi dunia ke dalam tiga kubu. Dunia pertama adalah dunia negara-negara industri kapitalis. Dunia kedua ialah negara-negara sosialis, di blok Uni Soviet. Dunia ketiga adalah negara-negera sedang berkembang, mantan koloni yang juga, menurut Mao, merupakan motor penggerak perubahan dunia. Sukarno tidak menerima analisis Mao. Dengan lebih cermat, ia melihat dinamika revolusioner di lapangan pergerakan sendiri. Bung Karno membagi dunia ke dalam hanya dua kubu. Pertama, kubu OLDEFO atau Old Emerging Forces, terdiri dari pemerintah-pemerintah negara industri kapitalis bersama-sama elite feudal dan kompradore di negara-negara sedang berkembang. Di sisi lain terdapat NEFO, atau New Emerging Forces, yang merupakan pemerintah, bangsa, dan rakyat progresif negara sedang berkembang serta bersama-sama rakyat-rakyat progresif di negara industri kapitalis.

Pada zaman sekarang peta ini lebih jelas. Blok Soviet sudah runtuh. Pemerintah-pemerintah eks blok sosialis yang masih ada sudah menjadi bagian dari pemerintah-pemerintah progresif dunia negara sedang berkembang. Pemerintah Kuba dan Vietnam, misalnya, lebih bergerak sebagai bagian dari perlawanan “dunia ketiga” daripada sebuah blok sosialis. Selain Kuba dan Vietnam juga ada negara-negara ¨dunia ketiga¨ lain yang ambil peranan melawan kontrol OLDEFO. Pemerintah Venezuela adalah contoh yang baik. Bahkan, meskipun hanya dalam hal-hal tertentu saja, cukup banyak pemerintah negara-negara sedang berkembang sudah mulai membangkang. Malaysia, misalnya, dalam hal kontrol mata uangnya.

World Trade Organisation (WTO) juga diwarnai oleh perlawanan dunia sedang berkembang dalam hal-hal seperti kontrol OLDEFO terhadap hak paten dan lain sebagainya. Di dunia negara industri maju sendiri dalam lima tahun terakhir ini juga sangat terasa mulai berkembang new emerging forces di dalam masyarakatnya sendiri.

Sejak demonstrasi-demonstrasi di Seattle di Amerika Serikat gerakan “antiglobalisasi” sudah meluas ke mana-mana di dunia negara-negara industri. Demonstrasi-demonstrasi massal yang menuntut penghapusan utang luar negeri Dunia Ketiga menjamur di berbagai negara-negara di Amerika Utara, Eropa, dan juga di Australia. Demonstrasi-demonstrasi ini juga melawan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) yang memaksakan paket kebijakan neo-liberal ke seluruh negara Dunia Ketiga. Gerakan antiglobalisasi ini pada hakekatnya merupakan gerakan solidaritas dengan rakyat negara-negara sedang berkembang. Sekaligus melawan elite-elite mapan di Barat itu sendiri. Tentu saja gerakan antiglobalisasi ini bukan gerakan yang melawan semakin meluasnya dan semakin intensnya hubangan antarnegara dalam segala bidang. Gerakan anti-globalisasi yang sedang berkembang ini melawan mengglobalnya upaya kaum OLDEFOs untuk memaksakan kebijakan neo-liberal yang menyerahkan segala hal ke kontrol sektor swasta demi laba atau profit. Tuntutan pokok gerakan antiglobalisasi ini adalah pembatalan utang luar negeri dunia ketiga, pembubaran IMF dan WB, dan penghentian terhadap semua proses penjualan aset publik pada swasta. Kekuatan NEFOs abad ke-21 sudah mulai berkumpul untuk mencari strategi dan wadah untuk teruskan perjuangannya. Sudah dua kali gerakan-gerakal sosial, LSM-LSM, aktivis-aktivis politik dari seluruh dunia sudah berkumpul di kota Porto Allegre di Brasil dan menyelenggarakan World Social Forum.

Dalam World Social Forum bulan Januari yang lalu lebih dari 60 ibu aktivis berkumpul dari seluruh dunia untuk membicarakan strategi untuk menghadapi IMF, WB, serta Washington, London, Berlin, Tokyo, dan Canberra. Bulan Januari mendatang akan diselenggarakan juga Asia Social Forum yang pertama, disusul oleh Asia Pacific Anti-Military Social Forum di Manila pada bulan Augustus, 2003.

Dulu Bung Karno berusaha mendirikan KONEFO atau Konperensi New Emerging Forces. Sebenarnya World Social Forum di Porto Allegre juga merupakan usaha ke dalam arah yang sama. Prosesnya memang belum selesai. Masih ada banyak perdebatan-perdebatan yang berlangsung. Masih cukup banyak kekuatan-kekuatan yang belum masuk ke proses ini. Proses meluasnya wadah WSF ini persis merupakan proses penguatan NEFO yang dibayangkan Sukarno. Sebenarnya ini adalah proses membangun kembali sebuah front antiimperialisme.



NEFO di Indonesia

Dalam konsep Bung Karno dulu negara dan rakyat Indonesia merupakan bagian dari NEFO. Namun, dalam 40 tahun terakhir ini situasi sudah berubah. Kekuatan OLDEFO sudah berhasil merebut pengaruh dominan dalam pemerintahan dan negara Indonesia. Ini mulai ketika Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang sekarang bernama Consultative Group on Indonesia (CGI), didirikan pada tahun 1967.

Lembaga ini merupakan kumpulan dari semua negara industri maju imperialis serta IMF dan WB. Pemerintah Orde Baru yang mengikuti strategi pembangunan yang menggantungkan diri pada utang luar negeri dan investasi asing harus melaporkan hasil kerjanya setiap tahun pada IGGI/CGI. Baru kalau lembaga OLDEFO ini puas dengan garis kebijakan pemerintah Soeharto, pinjaman disalurkan ke Indonesia. Sistem ini terus berlangsung sampai sekarang, hanya sejak krismon, IMF sendiri yang ambil alih kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. CGI dan WB mengambil posisi kedua. Selama periode 40 tahun ini juga kesadaran tentang proses eksploitasi dan kontrol asing terhadap ekonomi Indonesia sangat berkurang. Orde Baru dengan beking Barat terus berpropaganda bahwa intergrasi ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia, melalui kerja sama dengan IGGI, IMF, WB dan investasi asing adalah satu-satunya cara membangun Indonesia.

Strategi ini membawa Indonesia ke krismon 1997. Strategi ini juga tidak menyiapkan Indonesia untuk menghadapi era sekarang di mana investasi modal untuk produksi justru semakin terpusat di negara-negara industri dengan makin sedikit investasi yang mengalir ke dunia sedang berkembang. Tetap juga pemerintah Indonesia sekarang berpropaganda bahwa IMF dan investasi asing adalah jalan keluar krisis, meskipun semua angka-angka menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan investasi asing di Indonesia. Kesadaran antiimperialisme, kesadaran menolak kontrol asing di bidang ekonomi, saat ini mulai bangkit lagi. Kesadaran ini juga sedang melahirkan kembali kekuatan NEFO dalam negeri. Sebenarnya proses ini sudah mulai tahun 1989 dengan gerakan melawan proyek Bank Dunia untuk membangun bendungan Kedungombo. Terus berkembang sebuah gerakan perlawanan terhadap Orde Baru. Perlawanan tersebut sebenarnya berfokus pada perlawanan terhadap kediktatoran Soeharto dan militerisme. Namun, bagaimanapun juga itu merupakan perlawanan terhadap mekanisme kontrol Barat, kontrol OLDEFO terhadap Indonesia. Memang Orde Baru adalah alat bukan saja dari keluarga diktator dan konglomerat, tetapi dari kekuatan OLDEFO asing. Betapa banyak keuntungan diraup oleh perusahan-perusahan asing dan bank asing selama Orde Baru, tetapi bagi rakyat Indonesia hanya meninggalkan krismon saja.

Yang sekarang sering disebut sebagai “civil society”, atau kadang-kadang “ornop”, atau gerakan sosial, dan juga gerakan mahasiswa, serikat buruh dan tani, organisasi perempuan yang berkembang sebagai bagian dari perlawanan terhadap Orde Baru merupakan inti daripada NEFO baru di Indonesia. Sebenarnya juga cukup banyak kekuatan-kekuatan NEFO yang sedang berkembang di dalam tubuh organisasi lama juga. Di kalangan grass-roots Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan kalangan pemuda mahasiswa Nahdlatul Ulama jiwa NEFO juga cukup kuat. NEFO Indonesia sendiri sekarang berdiri di persimpangan jalan. Kekuatan ini sudah berkembang cukup luas dan kuat tetapi sering berkembang spontan, mengangkat satu isyu saja, berpandangan lokal, atau belum mau melihat keluar. Situasi ini bisa dimengerti. Semua perlawanan ini berkembang di dalam suatu situasi dan suasana tanpa ideologi dan tanpa kebebasan.

Usul-usul yang baru-baru ini muncul untuk menyelenggarakan sebuah kongres rakyat sangat tepat untuk situasi sekarang di Indonesia. Sudah waktunya semua elemen-elemen perlawanan terhadap Orde Baru dan semua elemen-elemen pembaruan dan kerakyatan berkumpul untuk mencari strategi menghadapi OLDEFO dan mengantar Indonesia keluar krisis ciptaan strategi Orde Baru dan CGI-IMF. Memang sulit membayangkan bentuk dan hasil sebuah kongres seperti ini. Sebuah kongres rakyat harus bisa mengumpulkan semua elemen sosial perlawanan yang seluas-luasnya. Pasti akan ada banyak perdebatan. Mungkin pertama kali sidang belum tentu semua problem akan terpecahkan. Namun, sebuah kongres rakyat seperti itu akan berjasa besar dan memulai proses penguatan kekuatan NEFO Indonesia. Banyak negara dan wilayah sedang mengusahakan menyelenggarakan pertemuan serupa, mengikut contoh World Social Forum di Brasil.

Sebuah kongres rakyat Indonesia akan sekaligus menghidupkan kembali semangat revolusi nasional Indonesia sebagai penerusan ide Konferensi NEFO Indonesia dan membantu rakyat Indonesia bergabung dengan kekuatan NEFO internasional yang sedang bangkit melalu proses World Social Forum. Dalam proses World Social Forum yang diutamakan ialah gerakan-gerakan sosial yang berakar ke massa dan mampu memobilisasikan massa. Sesungguhnya ini pun merupakan penerusan konsep revolusi nasional Indonesia: massa actie dan machtsvorming.

Tim Redaksi Trisakti