Minggu, 25 Desember 2011

JALUR PARIWISATA SERAH KENCONG (Melewati Wilayah Sengketa Pertanahan di Kab. Blitar)





                Rencana pembangunan jalur pariwisata menuju Serahkencong yang melewati Perkebunan Sengon dan perkebunan Pijiombo, saat ini mulai dikerjakan. Dengan adanya jalur ini, untuk menuju agrowisata perkebunan Serahkencong bertambah banyak pilihan.
                Jalur melewati perkebunan Sengon dan Perkebunan Pijiombo, mempunyai pemandangan yang lebih menarik. Karena perkebunan Sengon merupakan perkebunan Kopi, sehingga sepanjang perjalanan di perkebunan Sengon lebih menarik. Sedangkan di perkebunan Pijiombo yang dalam Hak guna usahanya merupakan perkebunan Kopi, saat ini digunakan sebagai peternakan sapi perah. Sehingga sebelum masuk ke kawasan Serahkencong, selama perjalanan, melewati perkebunan Sengon dan perkebunan Pijiombo yang indah.
                Namun pembangunan jalur wisata tersebut, harus mempertimbangkan permasalahan yang ada di Perkebunan Sengon dan Perkebunan Pijiombo. Permasalahan sengketa pertanahan kedua perkebunan ini, harus diselesaikan terlebih dahulu. Karena pembangunan yang berdiri diatas permasalahan, hanya akan menyisakan permasalahan yang semakin akut, terlebih ini merupakan permasalahan tanah, yang oleh orang Jawa harus dibela sampai mati (sak dhumuk bathuk sak nyari bhumi).
Perkebunan Sengon saat ini Hak Guna Usahanya dipegang oleh PT. NV Perkebunan dan Perdagangan Dewi Sri, bersengketa dengan warga tani Sengon atas lahan seluas 183 Ha yang merupakan bekas perkampungan dan lahan garapan petani. Sedangkan Perkebunan Pijiombo Hak Guna Usahanya menjadi hak PT. Tri Windu, bersengketa dengan warga Pijiombo atas lahan seluas 50 Ha yang merupakan bekas lahan garapan masyarakat.
                Permasalahan di kedua perkebunan ini hampir sama. Tanah yang dikuasai oleh rakyat sejak zaman Jepang hingga runtuhnya rezim Soekarno, tiba – tiba dirampas oleh Perusahaan Perkebunan. Perampasan tersebut, memang ada ganti ruginya, namun todongan senjata dan stigma Pengikut Partai Komunis Indonesia yang ketinggalan tidak dibunuh digunakan oleh penguasa dan pengusaha saat itu untuk mengintimidasi rakyat. Tentunya rakyat menyerahkan tanahnya dengan terpaksa.
Reformasi dan Demokrasi menjadikan rakyat lebih berani menyuarakan aspirasinya, sehingga kasus di kedua perkebunan ini kembali muncul ke permukaan.
                Permasalahan dikedua perkebunan tersebut, harus diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian pembangunan jalur pariwisata dilaksanakan. Karena tanpa penyelesaian sengketa pertanahan dikedua perkebunan, investasi yang dilakukan oleh pemerintah akan semakin menjadikan rakyat termarjinalkan, dan menyakitkan hati rakyat yang tanahnya dirampas demi pembangunan perkebunan di tahun 1967. 
                Melakukan pembangunan/investasi di wilayah sedang terjadi sengketa juga tidak aman. Karena bisa terjadi pemboikotan/perlawanan dari rakyat yang wilayahnya terkena pembangunan. Sehingga jalur wisata agrowisata menuju Serahkencong tidak dapat digunakan karena persoalan sengketa lahan.
                 Pemerintah Kab. Blitar saat ini sudah mempunyai Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang bertugas untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa pertanahan di kab. Blitar. Tim ini harus bekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa tersebut, tidak melalui jalur hukum, namun lebih mengedepankan musyawarah antara kedua belah pihak.
                Penyelesaian lewat jalur hukum tidak akan pernah menyelesaikan sengketa pertanahan, karena masyarakat mempunyai dasar sendiri dalam melakukan penuntutan, seperti bukti bekas bangunan/perkampungan di wilayah perkebunan, surat nikah yang alamatnya di wilayah perkebunan, cerita masyarakat/orang tua dan lain - lain.
                Semoga dengan adanya penyelesaian sengketa pertanahan dikedua perkebunan ini (Sengon dan Pijiombo), pembangunan jalur agrowisata  menuju Serahkencong dapat berjalan sesuai dengan target Pemerintah Daerah kabupaten Blitar.

Selasa, 06 Desember 2011

SESAT PIKIR PEMBENTUKAN UNIT PENGADUAN MASYARAKAT




                Tanggal 1 Desember 2011 kemarin di Hotel Puri Perdana digelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pedoman penanganan Pengaduan Masyarakat Kabupaten Blitar yang diadakan oleh Program Pendidikan Keahlian Perancangan Peraturan Pembangunan (P2KP3) Universitas Brawijaya Malang dan Pemerintah Daerah kab. Blitar. Dijelaskan oleh narasumber, ini merupakan pesanan dari DPRD Kabupaten Blitar, agar penanganan pengaduan masyarakat dapat ditangani dengan baik oleh DPRD Kab. Blitar.
                Niat baik dari DPRD kab. Blitar untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat ini layak untuk diapresiasi oleh kita semua. Namun materi yang disampaikan oleh narasumber justru mengarah pada dibentuknya Unit kerja yang bersifat independen untuk menangani hal ini. Unit Kerja tersebut, bekerja dalam lingkungan legislatif (DPRD). Meskipun pembentukan Unit kerja, masih pro – kontra dalam FGD.
                Sebagai salah satu peserta yang menolak dibentuknya Unit Kerja Penangan Pengaduan Masyarakat kab. Blitar, penulis ingin menyampaikan beberapa alasan penolakan tersebut. Pertama, secara logika demokrasi, anggota DPRD merupakan perwakilan rakyat kabupaten Blitar yang wajib menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat kab. Blitar. Dengan adanya Unit Kerja ini Anggota DPRD akan semakin menjauh dari rakyat (padahal sekarang sudah jauh).
                Kedua, merupakan bentuk cuci tangan anggota DPRD untuk menghindar dari pemilihnya yakni rakyat kabupaten Blitar. Anggota dewan yang seharusnya menerima langsung aspirasi masyarakat baik di kantor, rumah maupun dijalanan, saat bertemu masyarakat yang mau menyampaikan aspirasi, dapat menghindar dengan kata – kata : “sekarang sudah dibentuk unit pengaduan masyarakat, silahkan saudara menghubungi unit tersebut, baru kemudian saya akan melakukan proses, setelah ada rekomendasi dari unit tersebut ”.
                Ketiga, Semakin rumitnya alur birokrasi untuk bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan. Semangat untuk membuat komisioner daerah, unit kerja atau yang sejenis adalah untuk menerobos birokrasi yang ruwet dan panjang. Keberadaan unit kerja ini semakin menambah panjang alur birokrasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
                Keempat,  soal anggaran. Semangat untuk membuat lembaga negara diluar birokrasi, telah menghasilkan banyak lembaga yang kerjanya tumpang tindih dan banyak menyerap biaya negara. Keberadaan unit kerja ini, semakin memperbanyak belanja rutin Pemerintah daerah kabupaten Blitar.
                Kelima, tumpang tindih fungsi. Unit kerja ini selain untuk menerima pengaduan masyarakat juga berfungsi sebagai penyampai informasi bagi masyarakat. Padahal berdasarkan undang – undang informasi publik bagian humas atau yang ditunjuk oleh lembaga pemerintahan harus memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penampung aspirasi dapat dilakukan oleh anggota DPRD dimanapun karena anggota DPRD menjabat selama 24 jam. Selain itu, anggota DPRD juga mempunyai masa reses untuk menampung aspirasi rakyat. Disisi lain, sesuai amanat UU tentang susunan anggota DPR - RI, DPD - RI, MPR - RI, dan DPRD I, DPRD II, sudah dijelaskan bahwa di tiap fraksi di DPRD II mempunyai sekretariat dan staf ahli. Dengan adanya sekretariat fraksi dan staf ahli ini maka fungsi DPRD semakin nyata untuk diwujudkan.
                Sebenarnya kita tidak membutuhkan Unit Kerja Penampung Aspirasi Masyarakat, namun yang lebih dibutuhkan dalam aturan yang mau dibuat tersebut adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi anggota DPRD dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dimana dalam aturan tersebut juga memuat sanksi yang diberikan kepada anggota DPRD yang dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat tidak sesuai SOP.