Rencana
pembangunan jalur pariwisata menuju Serahkencong yang melewati Perkebunan
Sengon dan perkebunan Pijiombo, saat ini mulai dikerjakan. Dengan adanya jalur
ini, untuk menuju agrowisata perkebunan Serahkencong bertambah banyak pilihan.
Jalur melewati
perkebunan Sengon dan Perkebunan Pijiombo, mempunyai pemandangan yang lebih
menarik. Karena perkebunan Sengon merupakan perkebunan Kopi, sehingga sepanjang
perjalanan di perkebunan Sengon lebih menarik. Sedangkan di perkebunan Pijiombo
yang dalam Hak guna usahanya merupakan perkebunan Kopi, saat ini digunakan
sebagai peternakan sapi perah. Sehingga sebelum masuk ke kawasan Serahkencong,
selama perjalanan, melewati perkebunan Sengon dan perkebunan Pijiombo yang
indah.
Namun pembangunan
jalur wisata tersebut, harus mempertimbangkan permasalahan yang ada di
Perkebunan Sengon dan Perkebunan Pijiombo. Permasalahan sengketa pertanahan
kedua perkebunan ini, harus diselesaikan terlebih dahulu. Karena pembangunan
yang berdiri diatas permasalahan, hanya akan menyisakan permasalahan yang
semakin akut, terlebih ini merupakan permasalahan tanah, yang oleh orang Jawa
harus dibela sampai mati (sak dhumuk
bathuk sak nyari bhumi).
Perkebunan Sengon saat ini Hak Guna Usahanya dipegang oleh PT. NV
Perkebunan dan Perdagangan Dewi Sri, bersengketa dengan warga tani Sengon atas lahan seluas 183 Ha yang
merupakan bekas perkampungan dan lahan garapan petani. Sedangkan Perkebunan
Pijiombo Hak Guna Usahanya menjadi hak PT. Tri Windu, bersengketa dengan warga
Pijiombo atas lahan seluas 50 Ha yang merupakan bekas lahan garapan masyarakat.
Permasalahan
di kedua perkebunan ini hampir sama. Tanah yang dikuasai oleh rakyat sejak
zaman Jepang hingga runtuhnya rezim Soekarno, tiba – tiba dirampas oleh Perusahaan
Perkebunan. Perampasan tersebut, memang ada ganti ruginya, namun todongan
senjata dan stigma Pengikut Partai Komunis Indonesia yang ketinggalan tidak
dibunuh digunakan oleh penguasa dan pengusaha saat itu untuk mengintimidasi
rakyat. Tentunya rakyat menyerahkan tanahnya dengan terpaksa.
Reformasi dan Demokrasi menjadikan rakyat
lebih berani menyuarakan aspirasinya, sehingga kasus di kedua perkebunan ini
kembali muncul ke permukaan.
Permasalahan dikedua
perkebunan tersebut, harus diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian
pembangunan jalur pariwisata dilaksanakan. Karena tanpa penyelesaian sengketa
pertanahan dikedua perkebunan, investasi yang dilakukan oleh pemerintah akan
semakin menjadikan rakyat termarjinalkan, dan menyakitkan hati rakyat yang
tanahnya dirampas demi pembangunan perkebunan di tahun 1967.
Melakukan
pembangunan/investasi di wilayah sedang terjadi sengketa juga tidak aman.
Karena bisa terjadi pemboikotan/perlawanan dari rakyat yang wilayahnya terkena
pembangunan. Sehingga jalur wisata agrowisata menuju Serahkencong tidak dapat
digunakan karena persoalan sengketa lahan.
Pemerintah Kab. Blitar saat ini sudah
mempunyai Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang bertugas untuk
memfasilitasi penyelesaian sengketa pertanahan di kab. Blitar. Tim ini harus
bekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa tersebut, tidak melalui jalur
hukum, namun lebih mengedepankan musyawarah antara kedua belah pihak.
Penyelesaian
lewat jalur hukum tidak akan pernah menyelesaikan sengketa pertanahan, karena
masyarakat mempunyai dasar sendiri dalam melakukan penuntutan, seperti bukti
bekas bangunan/perkampungan di wilayah perkebunan, surat nikah yang alamatnya
di wilayah perkebunan, cerita masyarakat/orang tua dan lain - lain.
Semoga dengan
adanya penyelesaian sengketa pertanahan dikedua perkebunan ini (Sengon dan
Pijiombo), pembangunan jalur agrowisata
menuju Serahkencong dapat berjalan sesuai dengan target Pemerintah
Daerah kabupaten Blitar.