Sabtu, 21 Mei 2011

TOLAK PENYEWAAN LAHAN PERTANIAN

Rencana Konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk lahan petani guna memenuhi kebutuhan cadangan beras nasional perlu ditinjau ulang. Harus diakui bahwa kebutuhan pangan nasional adalah wujud kedaulatan suatu negara dimanapun. Bahkan negara maju tetap menjadikan pertanian sebagai bagian mutlak dari pembangunan negara. Mengingat, kedaulatan pangan merupakan hal yang mendasar bagi tiap pembangunan. Sehingga ditiap negara selalu memberikan subsidi yang besar dalam sektor pertanian.
Indonesia, yang dikaruniai tanah subur membentang dari Sabang hingga Merauke, harus mampu menjadikan negara yang berdaulat dalam persoalan pangan. Namun kenyataan berkata lain, nilai impor beras terus mengalami kenaikan yang signifikan.

Untuk mengatasi impor beras dan menjaga stok beras nasional, BUMN membentuk konsorsium guna menyewa lahan-lahan petani yang selama ini mendapat hasil panen yang luar biasa. Penyewaan lahan merupakan bentuk terobosan nyata dari pemerintah, guna menyelamatkan stok beras nasional.
Namun penyewaan lahan petani, akan menjadikan petani turun kelas menjadi buruh tani. Ini bukan sekedar permasalahan pekerjaan, namun menyangkut permasalahan kedaulatan petani atas tanah. Petani tidak lagi mempunyai kedaulatan atas tanah, terusir dari lahannya sendiri. Menunjukkan tidak adanya semangat dari pemerintah untuk meningkatkan kwalitas hidup petani, namun sekedar menyelamatkan stok beras nasional semata.

Peristiwa kriminalisasi petani yang akhir-akhir ini terjadi juga harus menjadi pertimbangan sendiri pelaksanaan program ini. Selama ini, pengambilalihan lahan-lahan petani terjadi karena penipuan terhadap pengelolaan lahan-lahan pertanian. Mengakibatkan trauma bagi kalangan petani.
Pemerintah seharusnya lebih mempertimbangkan pemerataan pembangunan, bukan pertumbuhan ekonomi, tidak hanya persoalan cadangan beras nasional semata. Berbicara pemerataan pembangunan, selama ini terjadi ketimpangan pembagian kue pembangunan antara desa dengan kota, antara metropolitan dengan daerah feri-feri.

Reorientasi pembangunan dengan mengedepankan pemerataan pembangunan dapat dilakukan dengan membangun daerah pedesaan dan sektor pertanian. Karena, desa dan pertanian selama ini menjadi anak tiri pembangunan, sehingga angka kemiskinan selalu tinggi, dengan tingkat pendidikan yang rendah.
Sementara program pengentasan kemiskinan, selalu ditujukan kepada kaum miskin baru, yakni mereka yang terkena PHK dari perusahaan. Tanpa menyentuh, memberdayakan petani dengan menghormati kedaulatannya sebagai produsen masyarakat. Program yang ada saat ini, cenderung mematikan kreativitas petani, karena bersifat top down. Ini terlihat dengan menghilangnya benih-benih padi, jagung lokal dari peredaran yang diganti dengan benih buatan pabrik.

Menghidupkan kembali lumbung-lumbung desa menurut penulis merupakan solusi yang masuk akal. Dengan lumbung desalah masyarakat terutama petani akan mendapatkan kedaulatan pangan. Kedaulatan di tiap-tiap kelompok tani ataupun tingkat desa dengan sendirinya akan menjadikan kedaulatan pangan pada tingkat nasional.

Pemerintah, harus berani melakukan terobosan dengan melakukan pembelian hasil panen petani diatas harga yang ditawarkan oleh tengkulak. Dengan begitu, petani akan menjual hasil panen kepada pemerintah desa. Dimana lumbung desa dapat dijalankan oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sehingga kedaulatan petani atas tanahnya tetap terjaga, kesejahteraannya meningkat. Stok pangan nasional tetap dapat dijaga sampai ditingkat desa-desa sebagaimana dilakukan oleh Propinsi Gorontalo dengan komoditas jagung. BUMDes akan berdaya dan mempunyai pekerjaan yang juga bersifat sosial selain juga harus mempunyai keuntungan guna mengisi kas desa.

Masih banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah selain menggusur petani dari tanahnya, untuk menyediakan stok beras nasional . Sekali lagi Tolak Penggusuran Petani Dari Tanahnya.

Oleh
Jaka Wandira

DASAR NEGARA


Kuliah Bung karno tentang Pancasila
Sila Pertama bagian pertama

Dasar Negara

            Konklusi Kursus Pancasila pada Bab Pendahuluan yang diberikan sejarah kepada kita adalah persatuan, mempersatukan segenap tenaga. Bukan hanya sekedar menumbangkan Imperalisme, tetapi juga untuk mempertahankan negara yang kita dirikan dan yang hendak ditumbangkan kembali oleh Imperalisme.
Maka dengan itulah timbul pertanyaan kepada segenap rakyat Indonesia tentang perlunya dasar negara Indonesia merdeka.  Dan pada tanggal 1 Juni 1945 telah dijawab dengan Pancasila yang kemudian disepakati dengan piagam Jakarta. Dan dilanjutkan dalam sidang pemimpin awal negara ini.
Dasar negara yang kita butuhkan yang pertama haruslah merupakan landasan statis yang dapat mempersatukan seluruh elemen rakyat Indonesia. Dan kedua haruslah sebagai leitstar dinamis, bintang petunjuk cita – cita, dasar yang memberikan arah bagi perikehidupan daripada negara kita.
Sementara negara adalah satu organisasi kekuasaan, satu machtorganisatie. Didalam teori Marx, bahwa negara merupakan satu organisasi kekuasaan yang digunakan oleh suatu kelas untuk menindas kelas lain. Dimana kelas borjuis menindas kelas proletar. Sehingga diperlukan sebuah revolusi untuk merebut kekuasaan kaum borjuis, dan kemudian dipegang oleh sebuah kediktatoran proletar. Dimana alat – alat produksi dikuasi oleh kaum proletar, sehingga kaum borjuis makin hari makin lemah dan menghilang. Sehingga negara tinggal satu kelas. Dan perang kelas selesai.
Saat negara menjadi satu kelas saja, maka fungsi negara hanya menjalankan fungsi administrasi semata, tidak menjalankan fungsi kekuasaan. Posisi ini disebut dengan klasseloze dan mengakibatkan fungsi negara hilang (staatloos).
Banyak ahli yang menyatakan tentang negara, dimana negara merupakan sebuah keniscayaan adanya manusia. Sementara Hegel menyatakan sebagai keluhuran ide.
Bahwa tatkala kita membentuk negara kita sebagai negara, kita harus mengerti bahwa negara itu bersifat dinamis. Kita dalam mengadakan negara itu harus dapat meletakkan semua elemen bangsa untuk masuk didalamnya dan harus mempunyai tujuan kearah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini.  Jadi kalau saudara mau paham Pancasila harus paham dasar statis dan leitstar dinamis.
Kenapa pancasila? kenapa hanya lima, tidak sepuluh, sebelas, tiga atau satu? jawabanya ialah jika kita mau mencari dasar yang statis yang mampu mengumpulkan semua elemen masyarakat. Dan leitstar dinamis yang dapat menjadi arah perjalanan. Kita harus mencari sedalam – dalamnya dasar dari masyarakat kita sendiri.
Ada orang yang berkata: pada waktu Bung Karno mempropagandakan Pancasila, pada waktu ia menggali kurang dalam. Terang – terangan yang berkata demikian dari pihak Islam. Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam, tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali didalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya. Sebab dari pihak Islam dikatakan. Jika Bung karno menggali dalam sekali, ia akan mendapatkan galian itu Islam, kenapa kok pancasila? Kalau dia menggali dalam sekali ia akan mendapatkan hasil penggalian itu, Islam, Saya ulangi. Saya adalah orang yang cinta kepada agama Islam, saya beragama Islam. Saya tidak berkata saya ini orang Islam yang sempurna. Tidak, tetapi saya Islam. Dan saya menolak tuduhan bahwa saya menggali ini kurang dalam. Sebaliknya saya berkata penggalian ini sampai sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindu, dan pra Hindu.
Masyarakat Indonesia ini boleh saja digambarkan dengan saf – saf. Saf pra hindu, yang pada waktu itu kita telah menjadi bangsa yang berkultur dan bercita – cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita – cita sudah. Jangan kira  jaman pra Hindu merupakan zaman yang biadab, hal ini dibuktikan oleh Prof. Dr Brandes, dalam tulisannya ia buktikan bahwa Indonesia sebelum  kedatangan orang Hindu disini sudah mahir didalam sepuluh hal. Apa misalnya?  Tanam padi seperti sawah sekarang ini, bukanlah bawaan orang Hindu. Tatkala Eropa masih semak belukar, belum ada Germanentum, disini sudah ada cocok tanam secara sawah. Alfabet, Ho No co, Ro, ko, jangan dikira bawaan orang Hindu. Wayang kulit dibuktikan oleh Prof. Dr. Brandes bukan bawaan orang Hindu.  Tetapi orang Hindu memperkaya dengan lakon Mahabarata dan Ramayana. Tetapi dulu kita sudah mempunyai wayang kulit, tapi belum dengan Mahabarata dan Ramayana. Sebagian dalam restan wayang kulit kita dari zaman pra Hindu, seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Dawala, Tjepot. Kita dulu mempunyai wayang kulit yang bercerita tentang kepahlawanan – kepahlawanan kita, sejarah kita. Sejarah para leluhur. Kemudian datang orang Hindu membawa lakon Mahabarata  dan Ramayana. Karena kita ini sebagai bangsa yang bisa menerima segala hal yang baik, lakon –lakon itu kita masukan dalam wayang kulit untuk memperkaya wayang kulit kita.
Jadi saya menggalinya itu dalam sekali, sampai ke saf pra Hindu. Datang saf Hindu, yang didalam politiknya menghadirkan kerajaan Taruma Negara, Kalingga, Mataram kesatu, Sanjaya, Empu Sendok, Sriwijaya. Kemudian masuk  zaman Islam yang menghadirkan Demak Bintaro, Pajang, Mataram kedua. Terus ke saf Kolonialisme dan imperalisme, yang dibidang sosial politiknya zaman hancur leburnya negara kita. Hancur leburnya ekonomi kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd.  Jadi ada empat saf, lantas saya gogo  (mencari ikan dilubang – lubang kepiting) sedalam – dalamnya sampai menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk kedalam zaman pra – Hindu.
Jadi saya menolak kurang dalam penggalian saya. Dan pada saya menggali, menyelami saf – saf ini. Saban – saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali, itu yang menonjol. Lima hal inilah: KeTuhanan, Kemanusiaan, kebangsaan, Kedaulatan rakyat, keadilan Sosial. Lantas saya berkata: kalau ini saya pakai sebagai landasan statis dan leitstar dinamis, Insya Allah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima dan diatas dasar meja yang statis dan leitstar yang dinamis itulah seluruh rakyat Indonesia bisa bersatu padu.

KEBUDAYAAN DALAM PENDIDIKAN


              Gerakan fundamental agama akhir-akhir ini menguat, dengan adanya cuci otak yang dilakukan oleh Negara Islam Indonesia (NII). Beberapa orang dicurigai terlibat didalamnya, namun ketidakadaan bukti menjadikan halangan bagi pihak berwajib untuk menangkap mereka.
Sementara pola kehidupan masyarakat terutama anak muda terasa semakin bebas dan liar tanpa aturan. Mereka berdiri dengan alasan demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi dan hak asasi manusia selalu dihubungkan dengan kebebasan, padahal ketiganya tidak ada sangkut pautnya sama- sekali. Karena Demokrasi dan hak asai manusia yang selama ini didengungkan adalah yang berasal dari barat yang merupakan negara liberal, sehingga keduanya melekat dengan kebebasan.
Kedua pola ini telah menjauhkan anak bangsa dari kebudayaan bangsanya. Islam seolah-olah berdiri diatas ruang hampa tanpa melihat perkembangan masyarakat dan perbedaan kultur antara tempat kelahirannya dengan Indonesia. Sedangkan paham liberal tentunya tidak cocok dengan pola masyarakat Indonesia yang cenderung kolektif.
 Disisi lain, kemajuan negara-negara yang tergabung dalam BIRCS (Brasil, India, Rusia, China dan South Afrika) maupun negara-negara maju lainnya, tidak dapat dilepaskan dari penggunaan Ideologi/Weltanschaung yang tumbuh dalam sejarah bangsa tersebut. Kita dapat melihat, kemajuan negara-negara tersebut ternyata tetap berdiri dengan kebudayaannya sendiri, bukan mengambil konsepsi orang lain.
Ideologi negara lahir dari proses panjang yang hidup beribu-ribu tahun lamanya dibumi negara tersebut dan senafas dengan kebudayaan rakyatnya. Kebudayaan merupakan jalan kembali kepada ideologi bangsa kita (Pancasila). Karena, biarpun keadaan ekonomi, politik, sosial suatu negara sudah hancur selama kebudayaannya masih kuat, maka negara tersebut tetap akan bangkit  demikian kata Facult sosiolog Amerika.
Sebagaimana Jepang yang dalam tahun 1945, telah luluh lantah oleh Bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Namun 25 tahun kemudian, Jepang bangkit menjadi macan Asia, dengan menggunakan ideologinya sendiri. Dengan caranya sendiri pula China menjadi ancaman bagi amerika dalam segala hal, tidak menggunakan cara negara lain.
Kebudayaan bukanlah Kesenian sebagaimana kita memaknai selama ini. Kebudayaan adalah segala hasil cipta, karya, karsa manusia untuk mempertahankan kehidupannya, yang dilakukan secara turun temurun.
Mengingat pentingnya budaya tersebut, penulis melihat kejanggalan pada penataan negara ini dimana kebudayaan dimasukan dalam kementrian kebudayaan dan pariwisata. Sehingga terkesan bahwa kebudayaan kita, hanya disuguhkan untuk wisatawan, bukan diturunkan kepada anak cucu untuk diwariskan sebagai bekal hidup.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai Badan Pendidikan dan Kebudayaan (UNICEF), sedangkan Jepang sebagai negara maju dan masih memegang kebudayaannya menjadikan kebudayaan dan pendidikan dalam satu kementrian yakni Menteri Pendidikan, Budaya, riset dan teknologi.
Inilah yang menyebabkan dunia pendidikan kering akan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Dalam film Suraboyo an yang terkesan jorok, sempat dikritik bahwa anak-anak di Indonesia lebih hafal lagu-lagu Cinta dibandingkan lagu-lagu daerah dan lagu nasional. Kering dan sama sekali tidak menyentuh keadaan sosial yang ada disekeliling sekolah tersebut. Sehingga sekolah merupakan tempat pengasingan dari realitas sosial.
Sudah saatnya kita sadar akan kesalahan kita selama ini, bahwa kebudayaan harus berada dan seiring sejalan dengan pendidikan dimanapun berada. Kebudayaan harus tetap dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, agar pendidikan kita tidak sekedar mewarisi abunya, tapi juga mewarisi apinya. Karena manusia harus belajar, bukan hanya ilmu hitung, bahasa, teknologi semata, namun manusia  juga harus belajar tentang hidup, kehidupan, belajar tentang ilmu kehidupan. Memisahkan anak didik dari realitas sosial adalah bentuk pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan yang membebaskan.

Kamis, 19 Mei 2011

SENGKETA PERTANAHAN DAN ORGANISASI PETANI

Kabupaten Blitar mempunyai luas wilayah 1.588,79 km2, terletak antara 111’ 40’ dan 112’10’ Bujur Timur dan 7’ 58’ sampai 8’ 9’51’’ lintang selatan. Kabupaten ini berada pada ketinggian antara 92 hingga 420 meter di atas permukaan air laut. Jumlah penduduk secara keseluruhan adalah 1.259.784 jiwa (2008) penduduk yang tersebar di 22 kecamatan. Penduduk yang bekerja di pertanian 189.616 jiwa (116.257 pemiliki lahan; 67.231 buruh tani) peternak 3.952 jiwa, perikanan darat 1.773 dan nelayan 403 jiwa.
Alokasi penggunaan dan pemanfaatan  lahan di Kabupaten Blitar adalah sebagai berikut: Lahan pertanian dan sawah : 23,8% (37.202 ha); Hutan : 21,56% (32.265 Ha); Pemukiman : 16,96%; Perkebunan swasta dan negara: 37,68 %, dan lainnya : 0,5%. Berdasarkan data ini, terlihat bahwa tingkat kepemilikan masyarakat terhadap lahan sangatlah kecil dibandingkan dengan penguasaan lahan oleh pihak kehutanan dan perkebunan yaitu hanya sebesar 0,32 Ha/KK, yang tentunya sangat sulit untuk dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani. (laporan assement KPA 2010)
Hal ini menunjukkan bahwa desa yang merupakan sumber pangan terbesar ternyata banyak sekali penduduknya yang masih dililit oleh kemiskinan, ditandai dengan kepemilikan lahan yang sempit dan rata - rata hanya sebagai tanah garapan. Perjuangan untuk terus menurunkan tingkat kemiskinan dan kerentanan masih harus dilakukan, terlebih lagi dengan berbagai tantangan baru dari dampak globalisasi dan berbagai bencana alam. Hal tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, sehingga memunculkan konflik agraria yang berkepanjangan.
Ketidakadilan struktur penguasaan, pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria di Kab. Blitar merupakan konflik laten yang setiap saat dapat meletus kepermukaan menjadi sengketa sumber – sumber agraria. Belum lagi penguasaan pihak swasta terhadap sumber – sumber yang menguasai hajat hidup orang banyak (Blumbang Gede Soso masuk dalam Hak Guna Usaha PT. Kismo Handayani), semakin menambah ruyam permasahan agrarian di Kab. Blitar.
Sengketa agraria di Kab. Blitar memang baru muncul kepermukaan pada 13 tahun terakhir ini, yakni meledak paska reformasi. Namun akar persoalan yang sesungguhnya sudah ada jauh hari sebelumnya. Dimana sejak dulu, sebelum kemerdekaan Indonesia yang dikuasai oleh feodalisme sudah mempunyai penguasaan sumber – sumber agrarian yang tidak adil. Dan reformasi hanya merupakan momentum perubahan yang mampu dimanfaatkan oleh mereka yang selama ini termarjinalkan.
Perubahan struktur agraria menjadi lebih adil diharapkan selesai pada tahun 1970, berdasarkan pada Undang – Undang Pokok Agraria dengan berbagai turunannya guna terselenggaranya Reforma Agraria (Land Reform). Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam pidato Ir. Soekarno 17 Agustus 1965, yang menghendaki landreform (asset reform) selesai pada tahun 1970. Diharapkan dengan struktur agraria yang berkeadilan tersebut akan semakin cepat terjadinya suatu susunan masyarakat adil dan makmur sebagaimana cita – cita awal pendirian republik ini.
Pencapaian suatu masyarakat yang adil dan makmur harus dimaknai adil dulu baru makmur bukan sebaliknya. Sehingga perjalanan untuk menuju suatu cita – cita tersebut bangsa ini tidak mengalami kesenjangan social, yang dapat menyebabkan kerusuhan social.
Kemakmuran sendiri baru dapat tercapai jika seseorang mempunyai alat – alat produksi. Karena selama alat produksi belum dikuasai oleh seseorang maka kemakmuran yang tidak akan pernah datang kepada seseorang tersebut. Karena seseorang itu tetap akan kehilangan nilai lebih yang dihasilkan oleh barang yang dibuat dengan keringatnya. Nilai lebih yang diharusnya dibagi rata antara biaya tenaga kerja, bahan dan penyusutan alat produksi. Dimana kedua yang terakhir merupakan kepunyaan pemilik alat produksi.
Melihat besarnya penduduk Kab. Blitar yang bekerja didunia pertanian dan angka kemiskinan terbesar di Kab. Blitar yang berada didesa dengan petani sebagai mata pencahariannya. Sudah saatnya kepemilikan petani atas tanah harus segera diwujudkan sebagai salah satu hak dasar petani untuk mendapatkan alat produksinya guna menuju masyarakat petani sejahtera.
Petani yang dikatakan masih terdapat dibawah garis kemiskinan sebagian besar merupakan buruh tani (landless) dan petani gurem (nearlandless). Dikatakan Petani gurem/kecil karena kepemilikan tanahnya kurang dari 0,25 Ha (Jawa). Sedangkan rata – rata kepemilikan lahan pertanian di Kab. Blitar yang dimiliki oleh Petani hanya 0,33 Ha. Sehingga sangat pantas jika petani di Kab. Blitar sampai saat ini masih hidup dibawah garis kemiskinan jika dihubungkan dengan kepemilikan lahan.
Tanah/lahan pertanian sangat berhubungan dengan tingkat kesejahteraan petani. Karena tanah merupakan alat produksi bagi dunia pertanian. Sehingga penguasaan tanah oleh petani merupakan bagian mutlak bagi peningkatan kesejahteraan petani di Kab. Blitar. Tanpa adanya penguasaan tanah oleh petani akan sulit merubah tingkat kesejahteraan petani.
Penguasaan tanah oleh petani juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Konvenan Ekonomi, Sosial dan Budaya yakni Hak atas kelayakan sandang pangan papan, Hak atas pekerjaan dan hak tempat tinggal. Ketiga hak dalam Konvenan ekosob tersebut dapat diwujudkan dalam dunia pertanian dengan kepemilikan petani atas tanah. Dengan pemilikan tanah tersebut, petani akan mendapatkan kelayakan atas sandang pangan dan papan dan hak tempat tinggal dan tentunya jaminan atas pekerjaannya sebagai petani.

- - - - - - - - - -

Sementara  di kab. Blitar terdapat 26 titik sengketa pertanahan (berdasarkan objek), yang terdiri dari 11 dengan pemegang Hak Guna Usaha baik swasta maupun BUMN. 13 titik dengan Perhutani, 3 titik dengan alat Negara (TNI) baik Angkatan Darat maupun Angkatan Udara. Melihat besarnya sengketa pertanahan di Kab. Blitar tersebut perlu adanya penyelesaian sengketa pertanahan di Kab. Blitar.  
Sengketa pertanahan dimanapun muncul karena struktur kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan yang tidak adil, ini juga terjadi Kab. Blitar. Sehingga merubah struktur tersebut menjadi lebih adil merupakan solusi yang tepat guna menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut.
 Ini terlihat dari sengketa pertanahan yang terjadi di Kab. Blitar selalu berada di wilayah Perhutani, pemegang HGU atau wilayah yang diduduki oleh alat negara. Dimana Perhutani dan pemegang HGU yang memegang luas tanah sebagai sumber kemakmurannya. Pemegang HGU yang hanya dimiliki oleh segelintir orang hidup dari tanah yang disewanya dari negara, bahkan sering sebagian dari tanah yang masuk di area HGU tersebut merupakan tanah yang dulu menjadi milik dari masyarakat. Sehingga sengketa terjadi. Sedangkan Peta hutan yang dijadikan patokan pengelolaan hutan oleh Perhutani merupakan buatan tahun 1931, tentunya sudah tidak sesuai dengan keadaan di lapangan karena pertambahan penduduk.
Disekitar wilayah yang disengketa, selalu terdapat kehidupan orang – orang kebun ataupun desa hutan yang tidak kunjung sejahtera kehidupannya sejak dari zaman Belanda. Karena mereka hanya menjadi buruh kebun tanpa memiliki alat produksi. Padahal kekayaan kebun yang tiap hari dikerjakan luar biasa dan diambil pemegang saham perkebunan. Sehingga wajar jika masyarakat menuntut dikembalikannya tanah nenek moyangnya.
Belum lagi, jika kita sempatkan diri untuk melihat perkebunan di Kab. Blitar yang dalam kenyataanya tanaman yang ditanam oleh pihak perkebunan banyak yang tidak sesuai dengan pemberian Hak Guna Usaha. Banyak sekali tanaman perkebunan yang telah berganti dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan bahkan merupakan tanaman musim. Selain melanggar pemberian Hak Guna Usaha juga membahayakan masyarakat yang ada dibawah perkebunan terkait dengan bencana alam yang selalu mengancam. Karena pergantian tanaman dari tanaman tahun menjadi tanaman musim.
Perjuangan kaum tani untuk merebut kembali tanahnya sering sekali dimaknai sebagai gerakan PKI. Stigma demikian tentunya merugikan kaum tani dan menghadapkan gerakan petani dengan kaum agamawan di daerah. Atau melakukan kriminalisasi terhadap petani, dengan berdasarkan UU perkebunan. Dimana UU tersebut sangat bersifat kapitalistik dan menguntungkan pengusaha perkebunan semata, tanpa melihat sejarah tanahnya.
Kriminalisasi terhadap petani dilakukan diseluruh negara Indonesia, terkait dengan perjuangan Petani merebut tanahnya. Seperti kasus yang baru terjadi di Lampung dan Jambi beberapa minggu yang lalu. Tentunya hal demikian tidak kita harapkan ada di Kab. Blitar, dengan menyadari bahwa perjuangan petani merebut tanahnya merupakan bagian mutlak menuju masyarakat petani sejahtera.

------------------------
            Dalam melakukan reforma agraria yang pada intinya landreform  dalam arti sempitnya pendistribusian tanah, juga harus disiapkan subjek calon penerima (petani). Sehingga akan terdapat kejelasan calon penerima hasil redistribusi tanah tersebut. Dengan begitu tidak akan terdapat kesalahan prosedur dan jaminan penerima tanah tepat sasaran.
            Untuk mempercepat proses pendistribusian tanah, maka petani harus mengorganisir dirinya sendiri. Bergabung dalam sebuah wadah perjuangan. Karena masyarakat yang kecil – kecil (baik petani gurem maupun buruh tani) hanya mempunyai kekuatan jika bersatu dan gotong – royong. Apalagi petani harus berhadapan dengan perkebunan swasta maupun negara, perhutani dan alat negara. Karena hanya dengan persatuan dan gotong – royonglah masyarakat kecil mempunyai nilai tawar dihadapan pihak lain.
            Sementara nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali dengan usahanya sendiri. Bantuan dari pihak lain hanya merupakan tambahan kekuatan bagi perjuangan tersebut. Termasuk nasib petani yang saat ini berkonflik, perubahan nasibnya hanya tergantung dalam dirinya sendiri. Mengharapkan bantuan orang lain adalah keselahan besar, namun bukan berarti menolak bantuan tersebut. Selama bantuan tersebut tidak mempengaruhi kedaulatan organisasi tani.
            Persatuan harus diwujudkan dikalangan petani terutama di Blitar. Untuk itu, Paguyuban Petani Aryo Blitar yang merupakan fusi dari dua organisasi yang memperjuangankan Hak Petani atas Tanah yakni Aliansi Mahasiswa Petani Blitar (AMPHIBI) dan Serikat Petani Aryo Blitar (SPAB). Yang telah melakukan perjuangan sejak tahun 1997 sampai sekarang. Sehingga konsistensi perjuangannya sudah tidak diragukan lagi. Harus mampu menjadi wadah persatuan bagi kalangan petani yang sedang bersengketa dengan pihak lain.
            Persatuan Petani dalam wadah Paguyuban Petani Aryo Blitar ini harus tetap dijaga. Mengingat PPAB saat ini sudah mewadahi sebelas (11) Organisasi Tani Lokal di Kab. Blitar yang sedang berkonflik dari 26 titik konflik di Kab. Blitar. Yang artianya 40% petani yang sedang berjuang merebut hak atas tanah berada dibawah bendera PPAB.
Kongres PPAB ketiga yang akan diselenggarakan pada Bulan Maret tahun ini, harus mampu menjadi pondasi awal, pijakan dasar bagi perjuangan Petani di Blitar. Momentum Pergantian kepengurusan, seyogyanya akan membawa dampak yang luas terhadap kancah pemikiran dan pergerakan petani yang ada di Blitar. Dalam kehidupan berorganisasi secara ilmiah harus terjadi regenerasi, demikian halnya dengan PPAB. Mekanisme keorganisasian sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar organisasi, peserta peraturan-peraturan organisasi lainnya. Mekanisme Kongres, harus dijalankan, dalam upaya untuk mempertahankan eksistensi organisasi itu sendiri dengan proses yang telah ada. Dimana proses pergantian kepengurusan PPAB dilakukan dalam empat tahun sekali.
Harapan besar yang berada dipundak kepengurusan PPAB yang akan datang harus mampu diemban untuk menjadi hasil yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya anggota PPAB. Perjuangan Petani dalam merebut haknya atas tanah harus difasilitas oleh PPAB (bagi anggotanya) dengan adil, jujur dan mengedepankan persatuan antar anggota. Karena hanya dengan persatuanlah rakyat kecil akan merubah nasibnya.
Untuk itu kaum tani, Sadar Bersatu Bangkit dan Berjuanglah untuk meraih masa depanmu yang gilang gemilang dinegeri yang dikatakan Agraris ini.

Jaka Wandira
Staf
Yayasan Solidaritas Masyarakat Desa


MENGEMBALIKAN CITA – CITA ( JADI ) PETANI


Kesejahteraan Petani yang kian hari kian memprihatinkan. Meskipun para petani telah bekerja keras, rajin dan jujur, namun kemiskinan tidak segera menjauh darinya. Bahkan kemiskinan malah semakin menjadi dan dianggap sebagai takdir. Bahwa menjadi petani pasti akan menjadi orang miskin. Sehingga generasi bangsa saat ini, jika ditanya tentang cita – citanya sangat jarang (kalau tidak mau dikatakan tiada) yang menjadi petani. Sebagian besar dari mereka lebih memilih profesi lain karena permasalahan tingkat kesejahteraan.
Pola pendidikan di negara agraris ini, juga semakin menambah keinganan pemuda Indonesia tidak ingin menjadi petani. Selama saya sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi, hampir seluruh mata pelajaran diarahkan kedalam dunia industrialisasi. Mungkin saat itu Indonesia sedang mencapai masa persiapan tinggal landas. Namun bagaimanapun pendidikan formal  yang tidak mengakar di masyarakat agraris dengan menberikan pendidikan industri, tentunya tetap menjadi paradok bagi perkembangan generasi bangsa ini.
Saat di sekolah kita - generasi muda - dikecoki dengan doktrin – doktrin dunia industri, gerakan untuk urbanisasi, bekerja di perusahaan – perusahaan industri dengan gaji yang tinggi, apalagi dibandingkan dengan menjadi petani. Pulang sekolah kita ketemu dengan sawah, petani, buruh tani, hidup dalam alam pikiran masyarakat yang agraris. Menjadikan generasi muda yang tercerabut akar pemikiran, perasaannya dari dunia pertanian. Dunia yang membesarkannya baik langsung maupun tidak langsung.
Dari segi jumlah, Petani adalah terbesar di negara ini, namun pembangunan untuk sektor ini seperti anak tiri negara, warga negara kelas dua. Petani seperti buih di lautan. Dibutuhkan dan dijargonkan dalam setiap kampanye baik eksekutif maupu legislatif, sampai aksi mahasiswa. Namun nasibnya tidak pernah berubah, dari dahulu hingga sekarang, tetap menjadi perahan dan simbol kemiskinan.
Bukan hanya sekolah, orang tua kitapun (yang petani) selalu mengatakan kepada kita, nanti kalau besar jangan menjadi petani yang bekerja kepanasan dan kehujanan dan tidak pernah sejahtera, carilah pekerjaan lain yang berada ditempat teduh tapi menghasilkan, cukup orang tuamu yang menderita sebagai petani. Merupakan ungkapan keputusaan orang tua yang hidup lebih lama dibandingkan dengan kita, sebagai petani.
Kalau pembaca berkumpul dengan kelompok tani, atau menghadiri pertemuan kelompok tani. Akan dapat melihat langsung sebagian besar (80%) dari mereka berusia diatas 40 tahun. Petani sudah bukan lagi pilihan hidup sebagai mata pencaharian, tetapi menjadi petani merupakan keterpaksaan karena tidak mempunyai pekerjaan lain. Padahal petani merupakan pekerjaan awal masyarakat Indonesia bersama dengan nelayan. Semua mata pencaharian di negara – negara agraris muncul karena mereka tergeser dari dunia pertanian (terkait kepemilikan lahan), atau untuk mendukung keberadaan dunia pertanian agar lebih maju.
Padahal sebagian besar penduduk Indonesia berada di pedesaaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Dan merekalah penyumbang terbesar angka kemiskinan dinilai dengan garis apapun. Seharusnya pendidikan generasi muda baik di sekolah maupun di perguruan tinggi diarahkan kedalam perbaikan dunia pertanian. Bukan malah meninggalkan dunia pertanian dan beralih kepada industri dengan alasan pertanian tidak lagi menarik dan dianggap sebagai peradaban kuno.
Semakin banyak negara yang menuju kepada dunia industri, maka peluang negara – negara agraris seperti Indonesia sebagai lumbung pangan dunia akan semakin besar. Dengan karunia tanah subur yang terhampar dari Sabang sampai Merauke sebagai modal awal dunia pertanian. Menjadi lumbung pangan dunia bukan berarti kita tidak melaksanakan industrialisasi, tetapi Indonesia sebagai salah satu negara terluas di dunia sudah seharusnya mampu berdaulat dalam hal pangan, bahkan dunia bisa tergantung pada kita.
Spesialisasi pembangunan didunia pertanian, sehingga pertanian kita mampu menjadi salah satu yang terbaik di dunia, saya rasa adalah cita – cita yang sangat mungkin untuk saat ini kita capai. Dengan mengandalkan hasil – hasil pertanian sebagai barang dagangan, bangsa ini akan mempunyai daya tawar tersendiri dimata dunia. Dibandingkan sekarang yang tidak mempunyai produk unggulan sama sekali.

Kenapa Tidak Sejahtera
                Sebagian besar petani di Indonesia merupakan petani yang memproduksi barang – barang sosial, seperti padi, jagung dan kebutuhan pokok lainnya. Yang jika harganya naik akan menyebabkan gejolak sosial, Sehingga pemerintah selalu membatasi harga penjualan produk – produk tersebut, supaya harganya tetap terjangkau demi stabilitas. Bahkan pemerintah melakukan impor kebutuhan pokok tersebut demi menjaga stabilitas, walaupun mengorbankan petani dalam negeri. Sementara petani dengan produk sosial tersebut menggunakan sarana produksi pertanian  yang berasal dari industri, tanpa subsidi dari pemerintah. Tidak ada jalan bagi petani, selama masih menggunakan sarana produksi dari dunia industri dan menjual produk sosialnya, tetap saja akan melarat. Karena antara biaya produksi dengan hasil panen yang berbeda asalnya, industri dan sosial.
                Permasalahan lain yang menyebabkan petani tetap miskin, ialah permasalahan kepemilikan, penguasaan lahan. Bicara pemilikan lahan yang sampai saat ini belum menunjukan keadilan, sehingga berapapun produksi pertanian hanya akan habis untuk menyewa lahan yang dimiliki oleh orang perkotaan yang tidak pernah tahu tanahnya ditanami apa di desa. Sedangkan penguasaan lahan yang dimaksud, banyaknya lahan yang dikuasai oleh alat negara (TNI) maupun swasta nasional, perusahaan negara  yang tidak mempunyai bukti hak guna usaha atau hak guna usahanya telah habis, bahkan ditelantarkan.
                Bagian terbesar angka kemiskinan di pedesaan disumbangkan oleh buruh tani dan petani gurem. Petani yang hanya memiliki 0,3 Ha kebawah, sehingga tidak akan pernah mencapai kesejahteraan dari dunia pertanian apalagi hanya menjadi buruh tani. Kepemilikan lahan yang hanya sebesar itu tentunya tidak akan pernah mampu meningkatkan kesejahteraan petani meskipun dalam mengerjakan lahannya petani tidak mengenal panas dan hujan.

Penguasaan Lahan
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menunjukan, saat ini 0,2 % orang Indonesia menguasai 56% tanah diseluruh Indonesia. Merupakan ironi tersendiri didalam sebuah negara yang 37% masyarakat produktifnya bekerja di sektor pertanian. Sehingga seberapapun besarnya produksi pertanian di Indonesia yang akan mendapatkan keuntungan besar adalah pemilik tanah.
Sebenarnya kesenjangan sosial tersebut dapat diatasi dengan menerapkan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA)  dan peraturan pertanahan lainnya yang dibuat oleh rezim populis Soekarno. Dimana kepemilikan lahan/tanah dibatasi hanya diwilayah kecamatannya sendiri dan maksimal kepemilikannya hanya 5 Ha. Kalau hal ini mampu dilakukan oleh Pemerintah, maka ketimpangan sosial tersebut dapat dikurangi. Karena hal itu akan membatasi kepemilikan lahan bagi pemilik modal untuk melakukan spekulasi tanah, demi keuntungan pribadi.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lahan – lahan pertanian di desa yang dikelola oleh buruh tani atau penyewa sebagian besar dimiliki oleh para pemodal yang hidup di perkotaan yang bisa beda propinsi dengan lahan tersebut. Sehingga kesenjangan sosial semakin hari semakin besar yang dapat menjadi revolusi sosial.
Pemberian hak guna usaha terhadap perkebunan baik swasta maupun negara, memang akan menghasilakan devisa yang besar bagi negara. Namun, disisi lain masyarakat disekitar perkebunan tidak pernah menikmati hasil dari perusahaan tersebut dan hanya menjadi buruh perkebunan semata. Belum lagi adanya negara dalam negara didalam perkebunan. Sudah menjadi rahasia bahwa perkebunan besar mempunyai hukum sendiri dalam menangai permasalahan – permasalahan yang berhadapan dengan buruh perkebunan, tanpa intervensi dari negara. Pola hubungan ini tentunya tidak akan membuat buruh perkebunan mendapatkan peningkatan kesejahteraan. Namun semakin terpuruk dengan jerat yang dilakukan perusahaan, seperti menyediakan tempat pelacuran, judi, renternir di area perkebunan yang dikelola oleh perusahaan. Sehingga semua pendapatan masyarakat perkebunan tetap akan kembali pada perusahaan dan buruh perkebunan semakin tergantung pada perusahaan ditengah ketidaberdayaannya.
Melakukan perubahan terhadap pola pemberian Hak Guna Usaha, merupakan langkah yang harus diambil dengan segera. Sebagaimana kita tahu bahwa orang – orang  di wilayah perkebunan, merupakan orang yang paling menderita dan mempunyai status sosial rendah di masyarakat pada umunya. Sudah saatnya mereka juga memperoleh hak untuk mendapat Hak Guna Usaha sebagaimana perusahaan – perusahaan perkebunan. Tentunya luasnya dibatasi masimal 5 Ha per kepala keluarga. Sementara perusahaan perkebunan hanya mengelola pabrik pengelolahan hasil perkebunan. Konsekuensinya buruh perkebunan yang sudah mempunyai Hak Guna Usaha juga harus bersedia untuk tetap menanam tanaman perkebunan sesuai dengan HGU yang diterimanya.
Pola ini akan menjadikan hubungan antara orang perkebunan dengan perusahaan perkebunan sejajar dan sama – sama berdaulat. Tidak ada lagi tuan dan buruh, dikuasai dan menguasai. Dengan begitu hubungan masyarakat dengan perusahaan baik secara politik maupun ekonomi akan sama – sama kuat. Kepemilikan lahan yang dikelola oleh masyarakat dengan Hak Guna Usahanya tersebut juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun keuntungan perusahaan perkebunan berkurang, tetapi pemerataan pembangunan akan terlaksana. Dan dengan sendirinya perekonomian nasional akan semakin membaik, pertumbuhan ekonomi tercapai.
Reforma Agraria yang pada intinya ialah landreform atau distribusi tanah kepada masyarakat terutama buruh tani dan petani gurem. Dengan minimal 2 Ha dan Masimal 5 Ha sebagaimana amanat PP. No. 56/1960 tentang landreform, harus segera dilakukan dengan niatan baik dari pemerintah. Karena pemerataan kepemilikan tanah sebagai modal dasar pembangunan akan menjadikan keadilan tercipta. Pemerintah juga harus menyediakan dana untuk membeli tanah dari pemiliknya atas kelebihan tanah diatas 5 Ha, ataupun membeli tanah diluar wilayah kecamatan domisili individu.
Pemerintah tidak hanya bertanggungjawab atas ditribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, namun juga menyediakan berbagai fasilitas untuk mendukung agar subjek penerima tanah mampu mengakses permodalan, menyediakan pelatihan dll (acces reform). Ini guna mencegah rekonsentrasi kepemilikan tanah, karena bantuan modal, pelatihan (acces reform) yang tidak ada, akan membuat  petani menjual tanahnya kembali. Atau petani tetap akan tergantung pada perusahaan pembuatan sarana produksi pertanian, yang menyebabkan kesejahteraan sulit tercapai.
Memaknai reforma agraria sebagai modal dasar, pondasi awal dari pembangunan Indonesia guna menuju masyarakat adil dan makmur harus ditanamkan kepada semua elemen bangsa. Reforma Agraria bukanlah bagian dari program swasembada pangan, apalagi program partai terlarang di Indonesia. Namun merupakan agenda bangsa sejak tahun 1960 tanggal 24 september, ditandai dengan terbitnya Undang – Undang Pokok Agraria. Bertujuan menata struktur agraia lebih adil.
                Landreform bukanlah program yang harus setiap pemerintahan ganti selalu ada, namun harus dibatasi sampai kapan. Karena Landreform merupakan pondasi. Tidak mungkin pondasi itu selalu ada dalam setiap tahapan pembangunan. Tanpa adanya keadilan pemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria yang adil, maka pembangunanpun tidak akan pernah menyentuh pada akar penyelesaian masalah yakni kemiskinan. Karena kedepan keuntungan investasi hanya akan habis untuk menyewa lahan semata. Yang sekarang dikuasai oleh segelintir orang.
                Perubahan struktur penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria guna menuju keadilan agraria harus dilaksanakan. Dengan begitu keadilan sosial sebagai awal menuju kemakmuran bersama dapat segera terwujud. Sehingga anak – anak petani akan kembali bercita – cita menjadi petani, meneruskan perjuangan orang tua sebagai produsen masyarakat.

MALU MENYEBUT MARHAEN

Tanggal 28 April 2011 ini, aku mengikuti bedah film dan pertemuan rutin bulanan antar lembaga di Blitar. Dalam bedah film yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Balitar tersebut menampilkan film dokumenter yang berjudul “kampung seng”. Narasumber yang hadir dalam acara tersebut ada dosen fakultas Hukum dan dosen fakultas Sosial Politik. Keduanya sekaligus sebagai pengamat film. Diharapkan dengan hadirnya dua pengamat yang berbeda latar belakang ini akan menjadikan film ini dapat dibedah dengan berbagai pisau sehingga akan mendapatkan hasil yang baik.

Filmnya sendiri menceritakan kehidupan para penghuni kampung seng yang kebanyakan preman. Dimana ada kebanggaan pada diri mereka saat melakukan tindakan kriminal bahkan saat masuk dalam penjara. Oya sutradara film ini adalah Lukman, seorang mahasiswa Universitas Islam Balitar.
Dalam diskusi bedah film tersebut dikatakan oleh narasumber terkait dengan permasalahan-permasalahan kriminal yang pada prinsipnya merupakan permasalahan turunan dari kemiskinan dan/atau pemiskinan. Namun yang menarik perhatian saya adalah saat narasumber dari fakultas hukum menyatakan bahwa sudah seharusnya mahasiswa dengan wadah BEM UIB ini melakukan pendampingan terhadap mereka yang ada di kampung seng. Mereka ini biasanya disebut sebagai kaum proletar, ada yang proletar dan “proletar sesungguhnya”.

Saya tidak mengerti maksud proletar dan proletar sesungguhnya ini. Yang saya tahu hanya ada istilah proletar sebagaimana yang dikatakan oleh Karl Marx nabinya kaum Komunis, yang berarti tiap-tiap orang yang menjual tenaga kerjanya dengan tidak memiliki alat produksi sendiri. Tidak ada sama sekali istilah proletar dan proletar sesungguhnya.

Malam hari berkumpul aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya masyarakat di Lakspesdam NU Kab. Blitar jalan Riau No. 05 Kota Blitar. Dalam diskusi yang membahas berbagai Rancangan Peraturan Daerah di Kab. Blitar yang mencerminkan semangat untuk mencari pemasukan tambahan bagi anggota DPRD dan untuk memberikan jalan masuk kepada investor bukan guna melindungi rakyat Kab. Blitar tersebut terjadi perdebatan yang menarik.

Antara yang setuju membahas Rancangan Peraturan Daerah atau mengajukan Rancangan Peraturan Daerah sendiri yang lebih pro kepada masyarakat Blitar. Dalam salah satu yang hadir mengatakan pro kepada proletar, petani atau yang biasa dikatakan dengan pro poor.

Dalam dua peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa istilah proletar sangat populer dikalangan akademis dan aktivis. Namun apakah kita layak menyebut mereka yang sengsara, miskin, termarjinalkan tersebut hanya sekedar dengan istilah Proletar ataupun proletar yang sesungguhnya, ditengah penolakan kita terhadap ideologi komunis.

Ironi bagiku kita mengambil istilah-istilah dari komunis tapi kita menolak ideologi tersebut. Kenapa kita tidak berkata buruh untuk menggantikan proletar, khan istilah tersebut sama. Sama-sama menjual tenaganya kepada orang lain dan tidak menguasai alat produksi, selama itu terjadi pada diri seseorang maka akan disebut dengan buruh atau proletar. Jika menguasai meskipun sedikit, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai proletar. Kemudian kaum intelektual, seperti insinyur sekalipun tetap disebut proletar jika tidak menguasai alat produksi, yang biasanya disebut dengan istilah intelektual proletar.

Namun apakah semua masyarakat yang sengsara tapi dapat dikatakan sebagai golongan proletar? Tentu saja tidak, apalagi di kabupaten Blitar yang sebagian besar masyarakatnya berada didesa dengan 67,67% diantaranya bekerja sebagai petani baik petani menengah, gurem maupun buruh tani. Hal ini menunjukkan bahwa mewakilkan mereka pada perkataan proletar semata saja tidak cukup.

Ir. Soekarno jauh hari sebelum republik ini berdiri telah memperkenalkan nama untuk golongan-golongan kecil, yang dimiskinan oleh sistem kapitalisme dengan segala manifestasinya dengan sebutan Marhaen. Marhaen dalam istilah Soekarno mewakili tiga unsur yakni Proletar, Petani kecil dan unsur-unsur kecil lainnya di Indonesia.

Ini karena Soekarno paham bahwa masyarakat Indonesia yang sengsara tidak hanya sekedar kaum yang menjual tenaga kepada orang lain dengan ganti upah semata. Namun ada golongan lain yang menguasai alat produksi tapi juga sengsara di Indonesia yakni petani, nelayan, pekebun dan lain-lain. Tentunya proletar dalam istilah Karl Marx tidak dapat mewakili masyarakat Indonesia ini. Untuk itulah (Untuk menyebut golongan kecil-kecil) Bung Karno menggunakan kata Marhaen.
------------

Kenapa kita semakin hari semakin bangga dengan istilah asing-asing ditelinga rakyat kita. Proletar, pro poor dan lain-lain. Apakah semakin asing sebuah istilah yang kita ucapkan, semakin sulit dipahami rakyat, akan semakin kita kelihatan pandai didepan rakyat? Padahal istilah tersebut belum tentu mewakili seluruh golongan.

Kebanggaan membaca buku-buku asing hingga lupa membaca karangan anak negeri yang lahir dan besar di negeri sendiri, lupa mengamati kondisi sosial negeri sendiri. Atau membedah kondisi sosial dengan pisau yang didatangkan dari luar negeri tanpa penyesuaian. Menunjukkan kepada kita bahwa semakin hari kita semakin kehilangan kepercayaan diri. Ini bukan sekedar permasalahan penggunaan kata-kata proletar atau marhaen. Namun permasalahan yang jauh lebih mendasar dari itu semua. Permasalahan kita tidak pernah percaya pada diri kita sendiri, tidak pernah percaya pada budaya kita sendiri. Tidak pernah mau menghargai buatan anak bangsa sendiri.

Terlepas dengan ideologi Marhaenisme yang digali oleh Soekarno, namun istilah Marhaen sudah seharusnya digunakan oleh tiap-tiap anak bangsa ini guna menyebutkan golongan yang termarjinalkan tersebut. Karena sampai sekarang belum ada satu tokohpun yang menyebutkan dengan istilah baru yang membumi di Indonesia. Mungkin Megawati memperkenalkan istilah “wong cilik”, namun Indonesia bukanlah Jawa.

Ekonomi Indonesia akan bersifat Indonesia; system politik kami akan bersifat Indonesia; masyarakat kami akan bersifat Indonesia, - dan semua itu akan didasarkan kokoh kuat atas warisan kulturil dan spiritual bangsa kami sendiri. Warisan itu dapat dipupuk dengan bantuan dari negeri seberang lautan, akan tetapi buah dan bunganya akan memiliki sifat – sifat kami sendiri. Maka janganlah tuan harapkan, bahwa setiap bantuan yang tuan berikan akan menghasilkan cerminan dari tuan – tuan sendiri.
( Dikutip dari : Pidato 17 Agustus 1963 – Genta Suara Revolusi Indonesia - )


Minggu, 15 Mei 2011

REVOLUSI INDONESIA

Kuliah Umum Pancasila Oleh Bung Karno
Bab Pendahuluan (Bag III)

Apakah yang dimaksud dengan Revolusi Indonesia? Jangan mencampurkan kata revolusikepada misalnya dengan revolusioner harus Proletar, atau harus orang yang berdiri diatas taraf, diatas flatform demokrasi formil semata, revolusi harus sosialis. Sosialis dalam arti bukan PSI, tapi menghendaki suatu masyarakat yang sama rata, sama rasa, sama bahagia. Jangan dihubungkan dengan ketiga hal itu, revolusioner tidak harus proletar thok, revolusioner tidak harus Sosialis, tidak harus Demokrasi formil semata.

Karena tidak semua gerakan kaum proletar tersebut revolusioner, sebagai contoh gerakan proletar Inggris yang sejak dari dulu hingga sekarang tidak pernah revolusioner dengan Labourparty Inggeris Attle. Yang dipimpin oleh Mc. Donald adalah buruh pertambangan batubara proletar. Begitu pula anggota – anggotanya semuanya proletar, tetapi tidak proletar. Karene menentang kemerdekaan penuh semua bangsa – bangsa di dunia. Sebagai contoh Inggris malu – malu memberikan kemerdekaan yang penuh kepada India.

Juga revolusioner tidak harus sosialis – dalam artian samarata, samarasa, sama bahagia -, tidak klop lagi. sebagaimana revolusi yang dilakukan oleh Gamal Abdul Naser di Mesir yang revolusioner tetapi tidak sosialis sama sekali. Bukan pula demokrasi formil saat kita mengacu pada revolusi yang dipimpin oleh Amanullah Khan yang seorang raja di Afganistans dalam mengusir penjajah Inggris. Jelas bahwa Amanullah Khan adalah seorang raja yang tentunya jauh dari demokrasi formil. Namun gerakan rakyat Afganistan yang dipimpinan dalam mengusir imperalisme Inggris tersebut merupakan gerakan revolusioner.

Apakah yang dimaksud dengan demokrasi formil? Demokrasi yang menghendaki parlemen, pungut suara, stem – steman, itulah yang dimanakan demokrasi Formil. Amanullah Khan bukanlah orang yang demokrasi formil, bahkan raja tapi toch semua gerakan rakyat harus revolusioner. Lalu apakah yang dimaksud dengan revolusioner? Revolusioner adalah Tiap – tiap orang yang menentang imperalisme, kolonialisme. Entah itu buruhkah, nelayankah, petanikah, pegawaikah, siapa yang menentang imperalisme adalah revolusioner. Revolusioner adalah dus tiap – tiap orang yang menghendaki kehendak zaman yang cepat. Ini adalah slogan untuk mempersatukan daripada segenap golongan kecil rakyat Indonesia yang tadi aku ceritakan (edisi kemarin..TS).

Gerakan rakyat Indonesia ialah yang akhirnya bisa berhasil menggerakkan 17 Agustus 1945, sebagai yang sudah saya gambarkan dalam pidato saya pada tanggal 20 Mei. Demikian pula sejak 17 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan tahun 1950 ternyata satu gerakan persatuan..

Berlainnya pula dengan gerakan India misalnya yang pada hakekatnya ialah Gerakan Kaum pertengahan dan borjuis menunggai kaum proletar, sekali dengan gerakan revolusi Prancis, Revolusi Amerika. Kita adalah satu dari seluruh rakyat dengan dasar persatuan dan revolusioner. Saudara – saudara tahu sekarang dasar paham – paham ini. Dengan latar belakang inilah saudara dicarikan Weltanschauung adalah alat pemersatu. Dan siapa tidak mengerti perlunya persatuan, siapa yang tidak mengerti bahwa kita hanyalah dapat Merdeka dan berdiri tegak Merdeka, Jikalau kita Bersatu, siapa yang tidak mengerti itu tidak akan pernah mengerti Pancasila.

Kejadian akhir – akhir ini, membuktikan sejelas – jelasnya bahwa jikalau tidak diatas Pancasila kita terpecah belah, membuktikan dengan jelas bahwa pancasila lah yang dapat tetap mengutuhkan kita, tetap dapat menyelamatkan negara kita.Oleh karena itu saya harap saudara – saudara nantikalau saya sudah menguraikan Pancasila per sila, selalu ingat kalau saya sudah menguraikan latar belakangnya. Bahwa Kita membutuhakan persatuan dan bahwa Pancasila selain Weltanshccauung adalah alat pemersatu daripada Rakyat Indonesia yang beraneka ragam ini.

Mulai edisi depan akan dikupas pancasila berdasarkan kuliah Pancasila Bung Karno per sila.

Tim Redaksi

TOLAK PERDA PENJARAHAN AIR PETANI

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Blitar tentang Pelestarian Sumber Mata Air Dan Pengelolaan Air Bawah Tanah menjadi salah satu Ranperda yang dibahas ditahun 2011. Saat penulis membaca judul Ranperda tersebut, ada secercah harapan akan adanya perlindungan terhadap sumber mata air yang ada di Kabupaten Blitar dan sumber air bawah tanah.

Namun permasalahan muncul saat membaca isi Ranperda, dimana kebanyakan pasal–pasal Ranperda tersebut justru bertolak belakang dengan semangat pelestarian sumber air yang ada di Kabupaten Blitar. Secara garis besar Ranperda pelestarian Sumber Mata Air dan Pengelolaan Air Bawah Tanah terdiri dari dua (2) hal.

Pertama, Semangat untuk mendapatkan pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam era otonomi daerah memang PAD penting dalam pembangunan. Karena selain mengandalkan dana perimbangan dari pusat, daerah dituntut untuk dapat meningkatkan PADnya.

Namun semangat tersebut, bukan berarti mengorbankan kepentingan yang lebih besar, dalam hal ini penggunaan air bagi rumah tangga. Memang disebutkan air yang digunakan untuk keperluan rumah tangga dalam skala tertentu (ditentukan dengan Peraturan Bupati) tidak dikenai pajak. Namun bagaimana pengawalan Peraturan Bupati tersebut yang harus dilakukan.

Kedua, semangat untuk melakukan eksploitasi dan privatisasi sumber air dan sumber air bawah tanah. Mekanisme teknisnya, mulai dari perizinan penelitian hingga eksploitasinya diserahkan dalam bentuk Peraturan Bupati. Padahal air merupakan kebutuhan bersama, sehingga tiap-tiap orang berhak untuk mendapatkannya sebagai kebutuhan dasar. Sedangkan negara, jika rakyat tidak mampu memenuhinya. harus menyediakan karena negara sebagai pengampu kewajiban.

Memang permasalahan pelestarian sumber daya air dan pengelolaan air bawah tanah ini, masyarakat berhak mengetahui. Namun, selama ini transparansi anggaran dan kebijakan belum terjadi dipemerintah Kabupaten Blitar. Dimana APBD sebagai salah satu produk Peraturan Daerah tidak pernah disosialisasikan dan bukunya hanya dicetak untuk kalangan terbatas. Sehingga penulis mengusulkan klausul tersebut dirubah dengan pemerintah berkewajiban memberikan informasi tentang segala hal yang diamanatkan Perda kepada publik dalam bentuk media cetak, elektronik maupun mengundang pihak-pihak yang berkepentingan.

Seharusnya Ranperda tentang Pelestarian sumber air, lebih diarahkan pada penguasaan negara atas sumber air yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sumber air yang demikian harus dikuasai oleh negara.

Jika sumber air yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh privat maupun badan akan menjadi malapetaka dikemudian hari. Dimana, pihak privat akan sewenang-wenang melakukan boikot atas air yang dikuasainya dan menyebabkan pihak publik sebagai pihak pengguna air kehilangan kedaulatan.
Penguasaan negara tersebut sebagaimana konstitusi negara kita yang mengebutkan “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara...”. Sehingga tindakan pemerintah daerah menguasai atau mengeluarkan sumber-sumber air yang berada diwilayah privat sah menurut konstitusi.

Tentunya penguasaan negara atas sumber air harus demi kepentingan umum, dalam arti untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dan pengelolaan sumber air yang dimaksud, harus memperhatikan kondisi masyarakat dengan menghormati kearifan lokal dan melibatkan masyarakat setempat. Guna menghindari sengketa sumber air antara masyarakat lokal dengan Pemerintah Daerah.

Di Kabupaten Blitar terdapat beberapa titik sumber air yang saat ini dikuasai oleh pihak privat maupun badan usaha. Dimana sumber air tersebut sebenarnya digunakan dan dibutuhkan oleh khalayak umum (masyarakat) sebagai salah satu tempat menggantungkan hidupnya didunia pertanian.

Antara lain Blumbang Gede Soso, yang berada di desa Soso, Kec. Gandusari, Kab. Blitar. Sumber air ini dimanfaatkan oleh Petani yang berada diwilayah Kecamatan Gandusari, Wlingi, Talun sebagai sumber irigasi utama. Hingga saat ini Blumbang Gede Soso yang totalnya sekitar 5 Ha masih masuk dalam bekas Hak Guna Usaha PT. Kismo Handayani.

Kolam Pacuh Penataran, di desa penataran, Kec. Nglegok, Kab. Blitar. Merupakan sumber yang dimanfaatkan untuk dunia pertanian di wilayah kecamatan Nglegok, Kota Blitar dan kecamatan Sanankulon. Saat ini masuk dalam wilayah bekas Hak Guna Usaha PTPN XII Penataran.

Dan masih banyak lagi cekungan air yang dapat dicantumkan dalam Ranperda untuk dikeluarkan dari penguasaan privat, kemudian dikuasai negara demi kemaslahatan bersama. Dengan begitu ada jaminan bahwa sumber air yang diandalkan masyarakat dapat diakses sepenuhnya oleh masyarakat, bukan harus melalui pihak swasta atau perusahaan negara.

Jika ini tidak dilakukan, ironis saat judul Ranperda tersebut dikatakan Pelestarian Sumber Mata Air Dan Pengelolaan Air Bawah Tanah. Namun, kedepan justru dapat menimbulkan sengketa sumber-sumber mutiara putih antara masyarakat dengan pihak lain sebagaimana permasalahan tanah saat ini di Kabupaten Blitar.

Oleh: Jaka Wandira
Sekretaris Jenderal Paguyuban Petani Aryo Blitar