Sabtu, 26 Maret 2011

MENGEMBALIKAN CITA – CITA ( JADI ) PETANI


Kesejahteraan Petani yang kian hari kian memprihatinkan. Meskipun para petani telah bekerja keras, rajin dan jujur, namun kemiskinan tidak segera menjauh darinya. Bahkan kemiskinan malah semakin menjadi dan dianggap sebagai takdir. Bahwa menjadi petani pasti akan menjadi orang miskin. Sehingga generasi bangsa saat ini, jika ditanya tentang cita – citanya sangat jarang (kalau tidak mau dikatakan tiada) yang menjadi petani. Sebagian besar dari mereka lebih memilih profesi lain karena permasalahan tingkat kesejahteraan.
Pola pendidikan di negara agraris ini, juga semakin menambah keinganan pemuda Indonesia tidak ingin menjadi petani. Selama saya sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi, hampir seluruh mata pelajaran diarahkan kedalam dunia industrialisasi. Mungkin saat itu Indonesia sedang mencapai masa persiapan tinggal landas. Namun bagaimanapun pendidikan formal  yang tidak mengakar di masyarakat agraris dengan menberikan pendidikan industri, tentunya tetap menjadi paradok bagi perkembangan generasi bangsa ini.
Saat di sekolah kita - generasi muda - dikecoki dengan doktrin – doktrin dunia industri, gerakan untuk urbanisasi, bekerja di perusahaan – perusahaan industri dengan gaji yang tinggi, apalagi dibandingkan dengan menjadi petani. Pulang sekolah kita ketemu dengan sawah, petani, buruh tani, hidup dalam alam pikiran masyarakat yang agraris. Menjadikan generasi muda yang tercerabut akar pemikiran, perasaannya dari dunia pertanian. Dunia yang membesarkannya baik langsung maupun tidak langsung.
Dari segi jumlah, Petani adalah terbesar di negara ini, namun pembangunan untuk sektor ini seperti anak tiri negara, warga negara kelas dua. Petani seperti buih di lautan. Dibutuhkan dan dijargonkan dalam setiap kampanye baik eksekutif maupu legislatif, sampai aksi mahasiswa. Namun nasibnya tidak pernah berubah, dari dahulu hingga sekarang, tetap menjadi perahan dan simbol kemiskinan.
Bukan hanya sekolah, orang tua kitapun (yang petani) selalu mengatakan kepada kita, nanti kalau besar jangan menjadi petani yang bekerja kepanasan dan kehujanan dan tidak pernah sejahtera, carilah pekerjaan lain yang berada ditempat teduh tapi menghasilkan, cukup orang tuamu yang menderita sebagai petani. Merupakan ungkapan keputusaan orang tua yang hidup lebih lama dibandingkan dengan kita, sebagai petani.
Kalau pembaca berkumpul dengan kelompok tani, atau menghadiri pertemuan kelompok tani. Akan dapat melihat langsung sebagian besar (80%) dari mereka berusia diatas 40 tahun. Petani sudah bukan lagi pilihan hidup sebagai mata pencaharian, tetapi menjadi petani merupakan keterpaksaan karena tidak mempunyai pekerjaan lain. Padahal petani merupakan pekerjaan awal masyarakat Indonesia bersama dengan nelayan. Semua mata pencaharian di negara – negara agraris muncul karena mereka tergeser dari dunia pertanian (terkait kepemilikan lahan), atau untuk mendukung keberadaan dunia pertanian agar lebih maju.
Padahal sebagian besar penduduk Indonesia berada di pedesaaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Dan merekalah penyumbang terbesar angka kemiskinan dinilai dengan garis apapun. Seharusnya pendidikan generasi muda baik di sekolah maupun di perguruan tinggi diarahkan kedalam perbaikan dunia pertanian. Bukan malah meninggalkan dunia pertanian dan beralih kepada industri dengan alasan pertanian tidak lagi menarik dan dianggap sebagai peradaban kuno.
Semakin banyak negara yang menuju kepada dunia industri, maka peluang negara – negara agraris seperti Indonesia sebagai lumbung pangan dunia akan semakin besar. Dengan karunia tanah subur yang terhampar dari Sabang sampai Merauke sebagai modal awal dunia pertanian. Menjadi lumbung pangan dunia bukan berarti kita tidak melaksanakan industrialisasi, tetapi Indonesia sebagai salah satu negara terluas di dunia sudah seharusnya mampu berdaulat dalam hal pangan, bahkan dunia bisa tergantung pada kita.
Spesialisasi pembangunan didunia pertanian, sehingga pertanian kita mampu menjadi salah satu yang terbaik di dunia, saya rasa adalah cita – cita yang sangat mungkin untuk saat ini kita capai. Dengan mengandalkan hasil – hasil pertanian sebagai barang dagangan, bangsa ini akan mempunyai daya tawar tersendiri dimata dunia. Dibandingkan sekarang yang tidak mempunyai produk unggulan sama sekali.

Kenapa Tidak Sejahtera
                Sebagian besar petani di Indonesia merupakan petani yang memproduksi barang – barang sosial, seperti padi, jagung dan kebutuhan pokok lainnya. Yang jika harganya naik akan menyebabkan gejolak sosial, Sehingga pemerintah selalu membatasi harga penjualan produk – produk tersebut, supaya harganya tetap terjangkau demi stabilitas. Bahkan pemerintah melakukan impor kebutuhan pokok tersebut demi menjaga stabilitas, walaupun mengorbankan petani dalam negeri. Sementara petani dengan produk sosial tersebut menggunakan sarana produksi pertanian  yang berasal dari industri, tanpa subsidi dari pemerintah. Tidak ada jalan bagi petani, selama masih menggunakan sarana produksi dari dunia industri dan menjual produk sosialnya, tetap saja akan melarat. Karena antara biaya produksi dengan hasil panen yang berbeda asalnya, industri dan sosial.
                Permasalahan lain yang menyebabkan petani tetap miskin, ialah permasalahan kepemilikan, penguasaan lahan. Bicara pemilikan lahan yang sampai saat ini belum menunjukan keadilan, sehingga berapapun produksi pertanian hanya akan habis untuk menyewa lahan yang dimiliki oleh orang perkotaan yang tidak pernah tahu tanahnya ditanami apa di desa. Sedangkan penguasaan lahan yang dimaksud, banyaknya lahan yang dikuasai oleh alat negara (TNI) maupun swasta nasional, perusahaan negara  yang tidak mempunyai bukti hak guna usaha atau hak guna usahanya telah habis, bahkan ditelantarkan.
                Bagian terbesar angka kemiskinan di pedesaan disumbangkan oleh buruh tani dan petani gurem. Petani yang hanya memiliki 0,3 Ha kebawah, sehingga tidak akan pernah mencapai kesejahteraan dari dunia pertanian apalagi hanya menjadi buruh tani. Kepemilikan lahan yang hanya sebesar itu tentunya tidak akan pernah mampu meningkatkan kesejahteraan petani meskipun dalam mengerjakan lahannya petani tidak mengenal panas dan hujan.

Penguasaan Lahan
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menunjukan, saat ini 0,2 % orang Indonesia menguasai 56% tanah diseluruh Indonesia. Merupakan ironi tersendiri didalam sebuah negara yang 37% masyarakat produktifnya bekerja di sektor pertanian. Sehingga seberapapun besarnya produksi pertanian di Indonesia yang akan mendapatkan keuntungan besar adalah pemilik tanah.
Sebenarnya kesenjangan sosial tersebut dapat diatasi dengan menerapkan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA)  dan peraturan pertanahan lainnya yang dibuat oleh rezim populis Soekarno. Dimana kepemilikan lahan/tanah dibatasi hanya diwilayah kecamatannya sendiri dan maksimal kepemilikannya hanya 5 Ha. Kalau hal ini mampu dilakukan oleh Pemerintah, maka ketimpangan sosial tersebut dapat dikurangi. Karena hal itu akan membatasi kepemilikan lahan bagi pemilik modal untuk melakukan spekulasi tanah, demi keuntungan pribadi.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lahan – lahan pertanian di desa yang dikelola oleh buruh tani atau penyewa sebagian besar dimiliki oleh para pemodal yang hidup di perkotaan yang bisa beda propinsi dengan lahan tersebut. Sehingga kesenjangan sosial semakin hari semakin besar yang dapat menjadi revolusi sosial.
Pemberian hak guna usaha terhadap perkebunan baik swasta maupun negara, memang akan menghasilakan devisa yang besar bagi negara. Namun, disisi lain masyarakat disekitar perkebunan tidak pernah menikmati hasil dari perusahaan tersebut dan hanya menjadi buruh perkebunan semata. Belum lagi adanya negara dalam negara didalam perkebunan. Sudah menjadi rahasia bahwa perkebunan besar mempunyai hukum sendiri dalam menangai permasalahan – permasalahan yang berhadapan dengan buruh perkebunan, tanpa intervensi dari negara. Pola hubungan ini tentunya tidak akan membuat buruh perkebunan mendapatkan peningkatan kesejahteraan. Namun semakin terpuruk dengan jerat yang dilakukan perusahaan, seperti menyediakan tempat pelacuran, judi, renternir di area perkebunan yang dikelola oleh perusahaan. Sehingga semua pendapatan masyarakat perkebunan tetap akan kembali pada perusahaan dan buruh perkebunan semakin tergantung pada perusahaan ditengah ketidaberdayaannya.
Melakukan perubahan terhadap pola pemberian Hak Guna Usaha, merupakan langkah yang harus diambil dengan segera. Sebagaimana kita tahu bahwa orang – orang  di wilayah perkebunan, merupakan orang yang paling menderita dan mempunyai status sosial rendah di masyarakat pada umunya. Sudah saatnya mereka juga memperoleh hak untuk mendapat Hak Guna Usaha sebagaimana perusahaan – perusahaan perkebunan. Tentunya luasnya dibatasi masimal 5 Ha per kepala keluarga. Sementara perusahaan perkebunan hanya mengelola pabrik pengelolahan hasil perkebunan. Konsekuensinya buruh perkebunan yang sudah mempunyai Hak Guna Usaha juga harus bersedia untuk tetap menanam tanaman perkebunan sesuai dengan HGU yang diterimanya.
Pola ini akan menjadikan hubungan antara orang perkebunan dengan perusahaan perkebunan sejajar dan sama – sama berdaulat. Tidak ada lagi tuan dan buruh, dikuasai dan menguasai. Dengan begitu hubungan masyarakat dengan perusahaan baik secara politik maupun ekonomi akan sama – sama kuat. Kepemilikan lahan yang dikelola oleh masyarakat dengan Hak Guna Usahanya tersebut juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun keuntungan perusahaan perkebunan berkurang, tetapi pemerataan pembangunan akan terlaksana. Dan dengan sendirinya perekonomian nasional akan semakin membaik, pertumbuhan ekonomi tercapai.
Reforma Agraria yang pada intinya ialah landreform atau distribusi tanah kepada masyarakat terutama buruh tani dan petani gurem. Dengan minimal 2 Ha dan Masimal 5 Ha sebagaimana amanat PP. No. 56/1960 tentang landreform, harus segera dilakukan dengan niatan baik dari pemerintah. Karena pemerataan kepemilikan tanah sebagai modal dasar pembangunan akan menjadikan keadilan tercipta. Pemerintah juga harus menyediakan dana untuk membeli tanah dari pemiliknya atas kelebihan tanah diatas 5 Ha, ataupun membeli tanah diluar wilayah kecamatan domisili individu.
Pemerintah tidak hanya bertanggungjawab atas ditribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, namun juga menyediakan berbagai fasilitas untuk mendukung agar subjek penerima tanah mampu mengakses permodalan, menyediakan pelatihan dll (acces reform). Ini guna mencegah rekonsentrasi kepemilikan tanah, karena bantuan modal, pelatihan (acces reform) yang tidak ada, akan membuat  petani menjual tanahnya kembali. Atau petani tetap akan tergantung pada perusahaan pembuatan sarana produksi pertanian, yang menyebabkan kesejahteraan sulit tercapai.
Memaknai reforma agraria sebagai modal dasar, pondasi awal dari pembangunan Indonesia guna menuju masyarakat adil dan makmur harus ditanamkan kepada semua elemen bangsa. Reforma Agraria bukanlah bagian dari program swasembada pangan, apalagi program partai terlarang di Indonesia. Namun merupakan agenda bangsa sejak tahun 1960 tanggal 24 september, ditandai dengan terbitnya Undang – Undang Pokok Agraria. Bertujuan menata struktur agraia lebih adil.
                Landreform bukanlah program yang harus setiap pemerintahan ganti selalu ada, namun harus dibatasi sampai kapan. Karena Landreform merupakan pondasi. Tidak mungkin pondasi itu selalu ada dalam setiap tahapan pembangunan. Tanpa adanya keadilan pemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria yang adil, maka pembangunanpun tidak akan pernah menyentuh pada akar penyelesaian masalah yakni kemiskinan. Karena kedepan keuntungan investasi hanya akan habis untuk menyewa lahan semata. Yang sekarang dikuasai oleh segelintir orang.
                Perubahan struktur penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria guna menuju keadilan agraria harus dilaksanakan. Dengan begitu keadilan sosial sebagai awal menuju kemakmuran bersama dapat segera terwujud. Sehingga anak – anak petani akan kembali bercita – cita menjadi petani, meneruskan perjuangan orang tua sebagai produsen masyarakat.


SENGKETA PERTANAHAN DAN ORGANISASI PETANI


Kabupaten Blitar mempunyai luas wilayah 1.588,79 km2, terletak antara 111’ 40’ dan 112’10’ Bujur Timur dan 7’ 58’ sampai 8’ 9’51’’ lintang selatan. Kabupaten ini berada pada ketinggian antara 92 hingga 420 meter di atas permukaan air laut. Jumlah penduduk secara keseluruhan adalah 1.259.784 jiwa (2008) penduduk yang tersebar di 22 kecamatan. Penduduk yang bekerja di pertanian 189.616 jiwa (116.257 pemiliki lahan; 67.231 buruh tani) peternak 3.952 jiwa, perikanan darat 1.773 dan nelayan 403 jiwa.
Alokasi penggunaan dan pemanfaatan  lahan di Kabupaten Blitar adalah sebagai berikut: Lahan pertanian dan sawah : 23,8% (37.202 ha); Hutan : 21,56% (32.265 Ha); Pemukiman : 16,96%; Perkebunan swasta dan negara: 37,68 %, dan lainnya : 0,5%. Berdasarkan data ini, terlihat bahwa tingkat kepemilikan masyarakat terhadap lahan sangatlah kecil dibandingkan dengan penguasaan lahan oleh pihak kehutanan dan perkebunan yaitu hanya sebesar 0,32 Ha/KK, yang tentunya sangat sulit untuk dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani. (laporan assement KPA 2010)
Hal ini menunjukkan bahwa desa yang merupakan sumber pangan terbesar ternyata banyak sekali penduduknya yang masih dililit oleh kemiskinan, ditandai dengan kepemilikan lahan yang sempit dan rata - rata hanya sebagai tanah garapan. Perjuangan untuk terus menurunkan tingkat kemiskinan dan kerentanan masih harus dilakukan, terlebih lagi dengan berbagai tantangan baru dari dampak globalisasi dan berbagai bencana alam. Hal tersebut mengakibatkan adanya kesenjangan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, sehingga memunculkan konflik agraria yang berkepanjangan.
Ketidakadilan struktur penguasaan, pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria di Kab. Blitar merupakan konflik laten yang setiap saat dapat meletus kepermukaan menjadi sengketa sumber – sumber agraria. Belum lagi penguasaan pihak swasta terhadap sumber – sumber yang menguasai hajat hidup orang banyak (Blumbang Gede Soso masuk dalam Hak Guna Usaha PT. Kismo Handayani), semakin menambah ruyam permasahan agrarian di Kab. Blitar.
Sengketa agraria di Kab. Blitar memang baru muncul kepermukaan pada 13 tahun terakhir ini, yakni meledak paska reformasi. Namun akar persoalan yang sesungguhnya sudah ada jauh hari sebelumnya. Dimana sejak dulu, sebelum kemerdekaan Indonesia yang dikuasai oleh feodalisme sudah mempunyai penguasaan sumber – sumber agrarian yang tidak adil. Dan reformasi hanya merupakan momentum perubahan yang mampu dimanfaatkan oleh mereka yang selama ini termarjinalkan.
Perubahan struktur agraria menjadi lebih adil diharapkan selesai pada tahun 1970, berdasarkan pada Undang – Undang Pokok Agraria dengan berbagai turunannya guna terselenggaranya Reforma Agraria (Land Reform). Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam pidato Ir. Soekarno 17 Agustus 1965, yang menghendaki landreform (asset reform) selesai pada tahun 1970. Diharapkan dengan struktur agraria yang berkeadilan tersebut akan semakin cepat terjadinya suatu susunan masyarakat adil dan makmur sebagaimana cita – cita awal pendirian republik ini.
Pencapaian suatu masyarakat yang adil dan makmur harus dimaknai adil dulu baru makmur bukan sebaliknya. Sehingga perjalanan untuk menuju suatu cita – cita tersebut bangsa ini tidak mengalami kesenjangan social, yang dapat menyebabkan kerusuhan social.
Kemakmuran sendiri baru dapat tercapai jika seseorang mempunyai alat – alat produksi. Karena selama alat produksi belum dikuasai oleh seseorang maka kemakmuran yang tidak akan pernah datang kepada seseorang tersebut. Karena seseorang itu tetap akan kehilangan nilai lebih yang dihasilkan oleh barang yang dibuat dengan keringatnya. Nilai lebih yang diharusnya dibagi rata antara biaya tenaga kerja, bahan dan penyusutan alat produksi. Dimana kedua yang terakhir merupakan kepunyaan pemilik alat produksi.
Melihat besarnya penduduk Kab. Blitar yang bekerja didunia pertanian dan angka kemiskinan terbesar di Kab. Blitar yang berada didesa dengan petani sebagai mata pencahariannya. Sudah saatnya kepemilikan petani atas tanah harus segera diwujudkan sebagai salah satu hak dasar petani untuk mendapatkan alat produksinya guna menuju masyarakat petani sejahtera.
Petani yang dikatakan masih terdapat dibawah garis kemiskinan sebagian besar merupakan buruh tani (landless) dan petani gurem (nearlandless). Dikatakan Petani gurem/kecil karena kepemilikan tanahnya kurang dari 0,25 Ha (Jawa). Sedangkan rata – rata kepemilikan lahan pertanian di Kab. Blitar yang dimiliki oleh Petani hanya 0,33 Ha. Sehingga sangat pantas jika petani di Kab. Blitar sampai saat ini masih hidup dibawah garis kemiskinan jika dihubungkan dengan kepemilikan lahan.
Tanah/lahan pertanian sangat berhubungan dengan tingkat kesejahteraan petani. Karena tanah merupakan alat produksi bagi dunia pertanian. Sehingga penguasaan tanah oleh petani merupakan bagian mutlak bagi peningkatan kesejahteraan petani di Kab. Blitar. Tanpa adanya penguasaan tanah oleh petani akan sulit merubah tingkat kesejahteraan petani.
Penguasaan tanah oleh petani juga merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang tertuang dalam Konvenan Ekonomi, Sosial dan Budaya yakni Hak atas kelayakan sandang pangan papan, Hak atas pekerjaan dan hak tempat tinggal. Ketiga hak dalam Konvenan ekosob tersebut dapat diwujudkan dalam dunia pertanian dengan kepemilikan petani atas tanah. Dengan pemilikan tanah tersebut, petani akan mendapatkan kelayakan atas sandang pangan dan papan dan hak tempat tinggal dan tentunya jaminan atas pekerjaannya sebagai petani.

- - - - - - - - - -

Sementara  di kab. Blitar terdapat 26 titik sengketa pertanahan (berdasarkan objek), yang terdiri dari 11 dengan pemegang Hak Guna Usaha baik swasta maupun BUMN. 13 titik dengan Perhutani, 3 titik dengan alat Negara (TNI) baik Angkatan Darat maupun Angkatan Udara. Melihat besarnya sengketa pertanahan di Kab. Blitar tersebut perlu adanya penyelesaian sengketa pertanahan di Kab. Blitar.  
Sengketa pertanahan dimanapun muncul karena struktur kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan yang tidak adil, ini juga terjadi Kab. Blitar. Sehingga merubah struktur tersebut menjadi lebih adil merupakan solusi yang tepat guna menyelesaikan sengketa pertanahan tersebut.
 Ini terlihat dari sengketa pertanahan yang terjadi di Kab. Blitar selalu berada di wilayah Perhutani, pemegang HGU atau wilayah yang diduduki oleh alat negara. Dimana Perhutani dan pemegang HGU yang memegang luas tanah sebagai sumber kemakmurannya. Pemegang HGU yang hanya dimiliki oleh segelintir orang hidup dari tanah yang disewanya dari negara, bahkan sering sebagian dari tanah yang masuk di area HGU tersebut merupakan tanah yang dulu menjadi milik dari masyarakat. Sehingga sengketa terjadi. Sedangkan Peta hutan yang dijadikan patokan pengelolaan hutan oleh Perhutani merupakan buatan tahun 1931, tentunya sudah tidak sesuai dengan keadaan di lapangan karena pertambahan penduduk.
Disekitar wilayah yang disengketa, selalu terdapat kehidupan orang – orang kebun ataupun desa hutan yang tidak kunjung sejahtera kehidupannya sejak dari zaman Belanda. Karena mereka hanya menjadi buruh kebun tanpa memiliki alat produksi. Padahal kekayaan kebun yang tiap hari dikerjakan luar biasa dan diambil pemegang saham perkebunan. Sehingga wajar jika masyarakat menuntut dikembalikannya tanah nenek moyangnya.
Belum lagi, jika kita sempatkan diri untuk melihat perkebunan di Kab. Blitar yang dalam kenyataanya tanaman yang ditanam oleh pihak perkebunan banyak yang tidak sesuai dengan pemberian Hak Guna Usaha. Banyak sekali tanaman perkebunan yang telah berganti dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan bahkan merupakan tanaman musim. Selain melanggar pemberian Hak Guna Usaha juga membahayakan masyarakat yang ada dibawah perkebunan terkait dengan bencana alam yang selalu mengancam. Karena pergantian tanaman dari tanaman tahun menjadi tanaman musim.
Perjuangan kaum tani untuk merebut kembali tanahnya sering sekali dimaknai sebagai gerakan PKI. Stigma demikian tentunya merugikan kaum tani dan menghadapkan gerakan petani dengan kaum agamawan di daerah. Atau melakukan kriminalisasi terhadap petani, dengan berdasarkan UU perkebunan. Dimana UU tersebut sangat bersifat kapitalistik dan menguntungkan pengusaha perkebunan semata, tanpa melihat sejarah tanahnya.
Kriminalisasi terhadap petani dilakukan diseluruh negara Indonesia, terkait dengan perjuangan Petani merebut tanahnya. Seperti kasus yang baru terjadi di Lampung dan Jambi beberapa minggu yang lalu. Tentunya hal demikian tidak kita harapkan ada di Kab. Blitar, dengan menyadari bahwa perjuangan petani merebut tanahnya merupakan bagian mutlak menuju masyarakat petani sejahtera.

------------------------
            Dalam melakukan reforma agraria yang pada intinya landreform  dalam arti sempitnya pendistribusian tanah, juga harus disiapkan subjek calon penerima (petani). Sehingga akan terdapat kejelasan calon penerima hasil redistribusi tanah tersebut. Dengan begitu tidak akan terdapat kesalahan prosedur dan jaminan penerima tanah tepat sasaran.
            Untuk mempercepat proses pendistribusian tanah, maka petani harus mengorganisir dirinya sendiri. Bergabung dalam sebuah wadah perjuangan. Karena masyarakat yang kecil – kecil (baik petani gurem maupun buruh tani) hanya mempunyai kekuatan jika bersatu dan gotong – royong. Apalagi petani harus berhadapan dengan perkebunan swasta maupun negara, perhutani dan alat negara. Karena hanya dengan persatuan dan gotong – royonglah masyarakat kecil mempunyai nilai tawar dihadapan pihak lain.
            Sementara nasib suatu kaum tidak akan berubah kecuali dengan usahanya sendiri. Bantuan dari pihak lain hanya merupakan tambahan kekuatan bagi perjuangan tersebut. Termasuk nasib petani yang saat ini berkonflik, perubahan nasibnya hanya tergantung dalam dirinya sendiri. Mengharapkan bantuan orang lain adalah keselahan besar, namun bukan berarti menolak bantuan tersebut. Selama bantuan tersebut tidak mempengaruhi kedaulatan organisasi tani.
            Persatuan harus diwujudkan dikalangan petani terutama di Blitar. Untuk itu, Paguyuban Petani Aryo Blitar yang merupakan fusi dari dua organisasi yang memperjuangankan Hak Petani atas Tanah yakni Aliansi Mahasiswa Petani Blitar (AMPHIBI) dan Serikat Petani Aryo Blitar (SPAB). Yang telah melakukan perjuangan sejak tahun 1997 sampai sekarang. Sehingga konsistensi perjuangannya sudah tidak diragukan lagi. Harus mampu menjadi wadah persatuan bagi kalangan petani yang sedang bersengketa dengan pihak lain.
            Persatuan Petani dalam wadah Paguyuban Petani Aryo Blitar ini harus tetap dijaga. Mengingat PPAB saat ini sudah mewadahi sebelas (11) Organisasi Tani Lokal di Kab. Blitar yang sedang berkonflik dari 26 titik konflik di Kab. Blitar. Yang artianya 40% petani yang sedang berjuang merebut hak atas tanah berada dibawah bendera PPAB.
Kongres PPAB ketiga yang akan diselenggarakan pada Bulan Maret tahun ini, harus mampu menjadi pondasi awal, pijakan dasar bagi perjuangan Petani di Blitar. Momentum Pergantian kepengurusan, seyogyanya akan membawa dampak yang luas terhadap kancah pemikiran dan pergerakan petani yang ada di Blitar. Dalam kehidupan berorganisasi secara ilmiah harus terjadi regenerasi, demikian halnya dengan PPAB. Mekanisme keorganisasian sebagaimana termaktub dalam Anggaran Dasar organisasi, peserta peraturan-peraturan organisasi lainnya. Mekanisme Kongres, harus dijalankan, dalam upaya untuk mempertahankan eksistensi organisasi itu sendiri dengan proses yang telah ada. Dimana proses pergantian kepengurusan PPAB dilakukan dalam empat tahun sekali.
Harapan besar yang berada dipundak kepengurusan PPAB yang akan datang harus mampu diemban untuk menjadi hasil yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya anggota PPAB. Perjuangan Petani dalam merebut haknya atas tanah harus difasilitas oleh PPAB (bagi anggotanya) dengan adil, jujur dan mengedepankan persatuan antar anggota. Karena hanya dengan persatuanlah rakyat kecil akan merubah nasibnya.
Untuk itu kaum tani, Sadar Bersatu Bangkit dan Berjuanglah untuk meraih masa depanmu yang gilang gemilang dinegeri yang dikatakan Agraris ini.

Jaka Wandira
Staf
Yayasan Solidaritas Masyarakat Desa