Sabtu, 26 Maret 2011

MENGEMBALIKAN CITA – CITA ( JADI ) PETANI


Kesejahteraan Petani yang kian hari kian memprihatinkan. Meskipun para petani telah bekerja keras, rajin dan jujur, namun kemiskinan tidak segera menjauh darinya. Bahkan kemiskinan malah semakin menjadi dan dianggap sebagai takdir. Bahwa menjadi petani pasti akan menjadi orang miskin. Sehingga generasi bangsa saat ini, jika ditanya tentang cita – citanya sangat jarang (kalau tidak mau dikatakan tiada) yang menjadi petani. Sebagian besar dari mereka lebih memilih profesi lain karena permasalahan tingkat kesejahteraan.
Pola pendidikan di negara agraris ini, juga semakin menambah keinganan pemuda Indonesia tidak ingin menjadi petani. Selama saya sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi, hampir seluruh mata pelajaran diarahkan kedalam dunia industrialisasi. Mungkin saat itu Indonesia sedang mencapai masa persiapan tinggal landas. Namun bagaimanapun pendidikan formal  yang tidak mengakar di masyarakat agraris dengan menberikan pendidikan industri, tentunya tetap menjadi paradok bagi perkembangan generasi bangsa ini.
Saat di sekolah kita - generasi muda - dikecoki dengan doktrin – doktrin dunia industri, gerakan untuk urbanisasi, bekerja di perusahaan – perusahaan industri dengan gaji yang tinggi, apalagi dibandingkan dengan menjadi petani. Pulang sekolah kita ketemu dengan sawah, petani, buruh tani, hidup dalam alam pikiran masyarakat yang agraris. Menjadikan generasi muda yang tercerabut akar pemikiran, perasaannya dari dunia pertanian. Dunia yang membesarkannya baik langsung maupun tidak langsung.
Dari segi jumlah, Petani adalah terbesar di negara ini, namun pembangunan untuk sektor ini seperti anak tiri negara, warga negara kelas dua. Petani seperti buih di lautan. Dibutuhkan dan dijargonkan dalam setiap kampanye baik eksekutif maupu legislatif, sampai aksi mahasiswa. Namun nasibnya tidak pernah berubah, dari dahulu hingga sekarang, tetap menjadi perahan dan simbol kemiskinan.
Bukan hanya sekolah, orang tua kitapun (yang petani) selalu mengatakan kepada kita, nanti kalau besar jangan menjadi petani yang bekerja kepanasan dan kehujanan dan tidak pernah sejahtera, carilah pekerjaan lain yang berada ditempat teduh tapi menghasilkan, cukup orang tuamu yang menderita sebagai petani. Merupakan ungkapan keputusaan orang tua yang hidup lebih lama dibandingkan dengan kita, sebagai petani.
Kalau pembaca berkumpul dengan kelompok tani, atau menghadiri pertemuan kelompok tani. Akan dapat melihat langsung sebagian besar (80%) dari mereka berusia diatas 40 tahun. Petani sudah bukan lagi pilihan hidup sebagai mata pencaharian, tetapi menjadi petani merupakan keterpaksaan karena tidak mempunyai pekerjaan lain. Padahal petani merupakan pekerjaan awal masyarakat Indonesia bersama dengan nelayan. Semua mata pencaharian di negara – negara agraris muncul karena mereka tergeser dari dunia pertanian (terkait kepemilikan lahan), atau untuk mendukung keberadaan dunia pertanian agar lebih maju.
Padahal sebagian besar penduduk Indonesia berada di pedesaaan dan bermata pencaharian sebagai petani. Dan merekalah penyumbang terbesar angka kemiskinan dinilai dengan garis apapun. Seharusnya pendidikan generasi muda baik di sekolah maupun di perguruan tinggi diarahkan kedalam perbaikan dunia pertanian. Bukan malah meninggalkan dunia pertanian dan beralih kepada industri dengan alasan pertanian tidak lagi menarik dan dianggap sebagai peradaban kuno.
Semakin banyak negara yang menuju kepada dunia industri, maka peluang negara – negara agraris seperti Indonesia sebagai lumbung pangan dunia akan semakin besar. Dengan karunia tanah subur yang terhampar dari Sabang sampai Merauke sebagai modal awal dunia pertanian. Menjadi lumbung pangan dunia bukan berarti kita tidak melaksanakan industrialisasi, tetapi Indonesia sebagai salah satu negara terluas di dunia sudah seharusnya mampu berdaulat dalam hal pangan, bahkan dunia bisa tergantung pada kita.
Spesialisasi pembangunan didunia pertanian, sehingga pertanian kita mampu menjadi salah satu yang terbaik di dunia, saya rasa adalah cita – cita yang sangat mungkin untuk saat ini kita capai. Dengan mengandalkan hasil – hasil pertanian sebagai barang dagangan, bangsa ini akan mempunyai daya tawar tersendiri dimata dunia. Dibandingkan sekarang yang tidak mempunyai produk unggulan sama sekali.

Kenapa Tidak Sejahtera
                Sebagian besar petani di Indonesia merupakan petani yang memproduksi barang – barang sosial, seperti padi, jagung dan kebutuhan pokok lainnya. Yang jika harganya naik akan menyebabkan gejolak sosial, Sehingga pemerintah selalu membatasi harga penjualan produk – produk tersebut, supaya harganya tetap terjangkau demi stabilitas. Bahkan pemerintah melakukan impor kebutuhan pokok tersebut demi menjaga stabilitas, walaupun mengorbankan petani dalam negeri. Sementara petani dengan produk sosial tersebut menggunakan sarana produksi pertanian  yang berasal dari industri, tanpa subsidi dari pemerintah. Tidak ada jalan bagi petani, selama masih menggunakan sarana produksi dari dunia industri dan menjual produk sosialnya, tetap saja akan melarat. Karena antara biaya produksi dengan hasil panen yang berbeda asalnya, industri dan sosial.
                Permasalahan lain yang menyebabkan petani tetap miskin, ialah permasalahan kepemilikan, penguasaan lahan. Bicara pemilikan lahan yang sampai saat ini belum menunjukan keadilan, sehingga berapapun produksi pertanian hanya akan habis untuk menyewa lahan yang dimiliki oleh orang perkotaan yang tidak pernah tahu tanahnya ditanami apa di desa. Sedangkan penguasaan lahan yang dimaksud, banyaknya lahan yang dikuasai oleh alat negara (TNI) maupun swasta nasional, perusahaan negara  yang tidak mempunyai bukti hak guna usaha atau hak guna usahanya telah habis, bahkan ditelantarkan.
                Bagian terbesar angka kemiskinan di pedesaan disumbangkan oleh buruh tani dan petani gurem. Petani yang hanya memiliki 0,3 Ha kebawah, sehingga tidak akan pernah mencapai kesejahteraan dari dunia pertanian apalagi hanya menjadi buruh tani. Kepemilikan lahan yang hanya sebesar itu tentunya tidak akan pernah mampu meningkatkan kesejahteraan petani meskipun dalam mengerjakan lahannya petani tidak mengenal panas dan hujan.

Penguasaan Lahan
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI menunjukan, saat ini 0,2 % orang Indonesia menguasai 56% tanah diseluruh Indonesia. Merupakan ironi tersendiri didalam sebuah negara yang 37% masyarakat produktifnya bekerja di sektor pertanian. Sehingga seberapapun besarnya produksi pertanian di Indonesia yang akan mendapatkan keuntungan besar adalah pemilik tanah.
Sebenarnya kesenjangan sosial tersebut dapat diatasi dengan menerapkan Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA)  dan peraturan pertanahan lainnya yang dibuat oleh rezim populis Soekarno. Dimana kepemilikan lahan/tanah dibatasi hanya diwilayah kecamatannya sendiri dan maksimal kepemilikannya hanya 5 Ha. Kalau hal ini mampu dilakukan oleh Pemerintah, maka ketimpangan sosial tersebut dapat dikurangi. Karena hal itu akan membatasi kepemilikan lahan bagi pemilik modal untuk melakukan spekulasi tanah, demi keuntungan pribadi.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa lahan – lahan pertanian di desa yang dikelola oleh buruh tani atau penyewa sebagian besar dimiliki oleh para pemodal yang hidup di perkotaan yang bisa beda propinsi dengan lahan tersebut. Sehingga kesenjangan sosial semakin hari semakin besar yang dapat menjadi revolusi sosial.
Pemberian hak guna usaha terhadap perkebunan baik swasta maupun negara, memang akan menghasilakan devisa yang besar bagi negara. Namun, disisi lain masyarakat disekitar perkebunan tidak pernah menikmati hasil dari perusahaan tersebut dan hanya menjadi buruh perkebunan semata. Belum lagi adanya negara dalam negara didalam perkebunan. Sudah menjadi rahasia bahwa perkebunan besar mempunyai hukum sendiri dalam menangai permasalahan – permasalahan yang berhadapan dengan buruh perkebunan, tanpa intervensi dari negara. Pola hubungan ini tentunya tidak akan membuat buruh perkebunan mendapatkan peningkatan kesejahteraan. Namun semakin terpuruk dengan jerat yang dilakukan perusahaan, seperti menyediakan tempat pelacuran, judi, renternir di area perkebunan yang dikelola oleh perusahaan. Sehingga semua pendapatan masyarakat perkebunan tetap akan kembali pada perusahaan dan buruh perkebunan semakin tergantung pada perusahaan ditengah ketidaberdayaannya.
Melakukan perubahan terhadap pola pemberian Hak Guna Usaha, merupakan langkah yang harus diambil dengan segera. Sebagaimana kita tahu bahwa orang – orang  di wilayah perkebunan, merupakan orang yang paling menderita dan mempunyai status sosial rendah di masyarakat pada umunya. Sudah saatnya mereka juga memperoleh hak untuk mendapat Hak Guna Usaha sebagaimana perusahaan – perusahaan perkebunan. Tentunya luasnya dibatasi masimal 5 Ha per kepala keluarga. Sementara perusahaan perkebunan hanya mengelola pabrik pengelolahan hasil perkebunan. Konsekuensinya buruh perkebunan yang sudah mempunyai Hak Guna Usaha juga harus bersedia untuk tetap menanam tanaman perkebunan sesuai dengan HGU yang diterimanya.
Pola ini akan menjadikan hubungan antara orang perkebunan dengan perusahaan perkebunan sejajar dan sama – sama berdaulat. Tidak ada lagi tuan dan buruh, dikuasai dan menguasai. Dengan begitu hubungan masyarakat dengan perusahaan baik secara politik maupun ekonomi akan sama – sama kuat. Kepemilikan lahan yang dikelola oleh masyarakat dengan Hak Guna Usahanya tersebut juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun keuntungan perusahaan perkebunan berkurang, tetapi pemerataan pembangunan akan terlaksana. Dan dengan sendirinya perekonomian nasional akan semakin membaik, pertumbuhan ekonomi tercapai.
Reforma Agraria yang pada intinya ialah landreform atau distribusi tanah kepada masyarakat terutama buruh tani dan petani gurem. Dengan minimal 2 Ha dan Masimal 5 Ha sebagaimana amanat PP. No. 56/1960 tentang landreform, harus segera dilakukan dengan niatan baik dari pemerintah. Karena pemerataan kepemilikan tanah sebagai modal dasar pembangunan akan menjadikan keadilan tercipta. Pemerintah juga harus menyediakan dana untuk membeli tanah dari pemiliknya atas kelebihan tanah diatas 5 Ha, ataupun membeli tanah diluar wilayah kecamatan domisili individu.
Pemerintah tidak hanya bertanggungjawab atas ditribusi tanah kepada petani gurem dan buruh tani, namun juga menyediakan berbagai fasilitas untuk mendukung agar subjek penerima tanah mampu mengakses permodalan, menyediakan pelatihan dll (acces reform). Ini guna mencegah rekonsentrasi kepemilikan tanah, karena bantuan modal, pelatihan (acces reform) yang tidak ada, akan membuat  petani menjual tanahnya kembali. Atau petani tetap akan tergantung pada perusahaan pembuatan sarana produksi pertanian, yang menyebabkan kesejahteraan sulit tercapai.
Memaknai reforma agraria sebagai modal dasar, pondasi awal dari pembangunan Indonesia guna menuju masyarakat adil dan makmur harus ditanamkan kepada semua elemen bangsa. Reforma Agraria bukanlah bagian dari program swasembada pangan, apalagi program partai terlarang di Indonesia. Namun merupakan agenda bangsa sejak tahun 1960 tanggal 24 september, ditandai dengan terbitnya Undang – Undang Pokok Agraria. Bertujuan menata struktur agraia lebih adil.
                Landreform bukanlah program yang harus setiap pemerintahan ganti selalu ada, namun harus dibatasi sampai kapan. Karena Landreform merupakan pondasi. Tidak mungkin pondasi itu selalu ada dalam setiap tahapan pembangunan. Tanpa adanya keadilan pemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria yang adil, maka pembangunanpun tidak akan pernah menyentuh pada akar penyelesaian masalah yakni kemiskinan. Karena kedepan keuntungan investasi hanya akan habis untuk menyewa lahan semata. Yang sekarang dikuasai oleh segelintir orang.
                Perubahan struktur penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria guna menuju keadilan agraria harus dilaksanakan. Dengan begitu keadilan sosial sebagai awal menuju kemakmuran bersama dapat segera terwujud. Sehingga anak – anak petani akan kembali bercita – cita menjadi petani, meneruskan perjuangan orang tua sebagai produsen masyarakat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar