Minggu, 25 Desember 2011

JALUR PARIWISATA SERAH KENCONG (Melewati Wilayah Sengketa Pertanahan di Kab. Blitar)





                Rencana pembangunan jalur pariwisata menuju Serahkencong yang melewati Perkebunan Sengon dan perkebunan Pijiombo, saat ini mulai dikerjakan. Dengan adanya jalur ini, untuk menuju agrowisata perkebunan Serahkencong bertambah banyak pilihan.
                Jalur melewati perkebunan Sengon dan Perkebunan Pijiombo, mempunyai pemandangan yang lebih menarik. Karena perkebunan Sengon merupakan perkebunan Kopi, sehingga sepanjang perjalanan di perkebunan Sengon lebih menarik. Sedangkan di perkebunan Pijiombo yang dalam Hak guna usahanya merupakan perkebunan Kopi, saat ini digunakan sebagai peternakan sapi perah. Sehingga sebelum masuk ke kawasan Serahkencong, selama perjalanan, melewati perkebunan Sengon dan perkebunan Pijiombo yang indah.
                Namun pembangunan jalur wisata tersebut, harus mempertimbangkan permasalahan yang ada di Perkebunan Sengon dan Perkebunan Pijiombo. Permasalahan sengketa pertanahan kedua perkebunan ini, harus diselesaikan terlebih dahulu. Karena pembangunan yang berdiri diatas permasalahan, hanya akan menyisakan permasalahan yang semakin akut, terlebih ini merupakan permasalahan tanah, yang oleh orang Jawa harus dibela sampai mati (sak dhumuk bathuk sak nyari bhumi).
Perkebunan Sengon saat ini Hak Guna Usahanya dipegang oleh PT. NV Perkebunan dan Perdagangan Dewi Sri, bersengketa dengan warga tani Sengon atas lahan seluas 183 Ha yang merupakan bekas perkampungan dan lahan garapan petani. Sedangkan Perkebunan Pijiombo Hak Guna Usahanya menjadi hak PT. Tri Windu, bersengketa dengan warga Pijiombo atas lahan seluas 50 Ha yang merupakan bekas lahan garapan masyarakat.
                Permasalahan di kedua perkebunan ini hampir sama. Tanah yang dikuasai oleh rakyat sejak zaman Jepang hingga runtuhnya rezim Soekarno, tiba – tiba dirampas oleh Perusahaan Perkebunan. Perampasan tersebut, memang ada ganti ruginya, namun todongan senjata dan stigma Pengikut Partai Komunis Indonesia yang ketinggalan tidak dibunuh digunakan oleh penguasa dan pengusaha saat itu untuk mengintimidasi rakyat. Tentunya rakyat menyerahkan tanahnya dengan terpaksa.
Reformasi dan Demokrasi menjadikan rakyat lebih berani menyuarakan aspirasinya, sehingga kasus di kedua perkebunan ini kembali muncul ke permukaan.
                Permasalahan dikedua perkebunan tersebut, harus diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian pembangunan jalur pariwisata dilaksanakan. Karena tanpa penyelesaian sengketa pertanahan dikedua perkebunan, investasi yang dilakukan oleh pemerintah akan semakin menjadikan rakyat termarjinalkan, dan menyakitkan hati rakyat yang tanahnya dirampas demi pembangunan perkebunan di tahun 1967. 
                Melakukan pembangunan/investasi di wilayah sedang terjadi sengketa juga tidak aman. Karena bisa terjadi pemboikotan/perlawanan dari rakyat yang wilayahnya terkena pembangunan. Sehingga jalur wisata agrowisata menuju Serahkencong tidak dapat digunakan karena persoalan sengketa lahan.
                 Pemerintah Kab. Blitar saat ini sudah mempunyai Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang bertugas untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa pertanahan di kab. Blitar. Tim ini harus bekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa tersebut, tidak melalui jalur hukum, namun lebih mengedepankan musyawarah antara kedua belah pihak.
                Penyelesaian lewat jalur hukum tidak akan pernah menyelesaikan sengketa pertanahan, karena masyarakat mempunyai dasar sendiri dalam melakukan penuntutan, seperti bukti bekas bangunan/perkampungan di wilayah perkebunan, surat nikah yang alamatnya di wilayah perkebunan, cerita masyarakat/orang tua dan lain - lain.
                Semoga dengan adanya penyelesaian sengketa pertanahan dikedua perkebunan ini (Sengon dan Pijiombo), pembangunan jalur agrowisata  menuju Serahkencong dapat berjalan sesuai dengan target Pemerintah Daerah kabupaten Blitar.

Selasa, 06 Desember 2011

SESAT PIKIR PEMBENTUKAN UNIT PENGADUAN MASYARAKAT




                Tanggal 1 Desember 2011 kemarin di Hotel Puri Perdana digelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pedoman penanganan Pengaduan Masyarakat Kabupaten Blitar yang diadakan oleh Program Pendidikan Keahlian Perancangan Peraturan Pembangunan (P2KP3) Universitas Brawijaya Malang dan Pemerintah Daerah kab. Blitar. Dijelaskan oleh narasumber, ini merupakan pesanan dari DPRD Kabupaten Blitar, agar penanganan pengaduan masyarakat dapat ditangani dengan baik oleh DPRD Kab. Blitar.
                Niat baik dari DPRD kab. Blitar untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat ini layak untuk diapresiasi oleh kita semua. Namun materi yang disampaikan oleh narasumber justru mengarah pada dibentuknya Unit kerja yang bersifat independen untuk menangani hal ini. Unit Kerja tersebut, bekerja dalam lingkungan legislatif (DPRD). Meskipun pembentukan Unit kerja, masih pro – kontra dalam FGD.
                Sebagai salah satu peserta yang menolak dibentuknya Unit Kerja Penangan Pengaduan Masyarakat kab. Blitar, penulis ingin menyampaikan beberapa alasan penolakan tersebut. Pertama, secara logika demokrasi, anggota DPRD merupakan perwakilan rakyat kabupaten Blitar yang wajib menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat kab. Blitar. Dengan adanya Unit Kerja ini Anggota DPRD akan semakin menjauh dari rakyat (padahal sekarang sudah jauh).
                Kedua, merupakan bentuk cuci tangan anggota DPRD untuk menghindar dari pemilihnya yakni rakyat kabupaten Blitar. Anggota dewan yang seharusnya menerima langsung aspirasi masyarakat baik di kantor, rumah maupun dijalanan, saat bertemu masyarakat yang mau menyampaikan aspirasi, dapat menghindar dengan kata – kata : “sekarang sudah dibentuk unit pengaduan masyarakat, silahkan saudara menghubungi unit tersebut, baru kemudian saya akan melakukan proses, setelah ada rekomendasi dari unit tersebut ”.
                Ketiga, Semakin rumitnya alur birokrasi untuk bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan. Semangat untuk membuat komisioner daerah, unit kerja atau yang sejenis adalah untuk menerobos birokrasi yang ruwet dan panjang. Keberadaan unit kerja ini semakin menambah panjang alur birokrasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
                Keempat,  soal anggaran. Semangat untuk membuat lembaga negara diluar birokrasi, telah menghasilkan banyak lembaga yang kerjanya tumpang tindih dan banyak menyerap biaya negara. Keberadaan unit kerja ini, semakin memperbanyak belanja rutin Pemerintah daerah kabupaten Blitar.
                Kelima, tumpang tindih fungsi. Unit kerja ini selain untuk menerima pengaduan masyarakat juga berfungsi sebagai penyampai informasi bagi masyarakat. Padahal berdasarkan undang – undang informasi publik bagian humas atau yang ditunjuk oleh lembaga pemerintahan harus memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penampung aspirasi dapat dilakukan oleh anggota DPRD dimanapun karena anggota DPRD menjabat selama 24 jam. Selain itu, anggota DPRD juga mempunyai masa reses untuk menampung aspirasi rakyat. Disisi lain, sesuai amanat UU tentang susunan anggota DPR - RI, DPD - RI, MPR - RI, dan DPRD I, DPRD II, sudah dijelaskan bahwa di tiap fraksi di DPRD II mempunyai sekretariat dan staf ahli. Dengan adanya sekretariat fraksi dan staf ahli ini maka fungsi DPRD semakin nyata untuk diwujudkan.
                Sebenarnya kita tidak membutuhkan Unit Kerja Penampung Aspirasi Masyarakat, namun yang lebih dibutuhkan dalam aturan yang mau dibuat tersebut adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi anggota DPRD dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dimana dalam aturan tersebut juga memuat sanksi yang diberikan kepada anggota DPRD yang dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat tidak sesuai SOP.

Jumat, 04 November 2011

KEKUATAN RAKYAT: DALAM MENGEKSPLOITASI PASIR BESI DI PANTAI SELATAN KAB. BLITAR






                Keadaan alam yang tandus di Blitar selatan merupakan musibah yang harus dialami oleh masyarakatnya. Sehingga kemiskinan tidak segera menjauh dari wilayah ini, ini menyebabkan banyak penduduk Kab. Blitar selatan yang bekerja ke luar negeri untuk merubah nasibnya. Terlepas dari peristiwa G30S yang telah menjadikan Blitar bagian selatan sebagai anak tiri pembangunan republik. Dimana kreativitas rakyat Blitar selatan selalu dicurigai sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia gaya baru. 
Namun dibalik keadaan alam yang tandus tersebut, tersimpan sumber kekayaan alam yang luar biasa di Blitar bagian selatan terutama di wilayah pantai selatan yang merupakan penghasil pasir besi. Eksploitasi pasir besi ini sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan besar baik nasional maupun dari luar negeri. Dengan alasan investasi dibutuhkan demi terlaksanakannya pembangunan yang dapat membuat lapangan pekerjaan bagi rakyat di Blitar selatan.
Selain itu, pemerintah Kabupaten Blitar menganggap bahwa pembangunan dengan sendirinya akan terjadi di wilayah yang dilewati oleh truk – truk pengangkut pasir besi. Namun benarkah pasir besi yang dihasilkan oleh Kabupaten Blitar mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kab. Blitar maupun taraf kehidupan masyarakat lokal yang terkena imbas langsung dari kerusakan alam yang dirasakan oleh masyarakat lokal tersebut.
Pasir besi yang dieksploitasi oleh Perusahaan – perusahaan tersebut, memang menghasilkan pembangunan berupa perbaikan jalan yang dilakukan oleh pihak perusahaan pengelola. Namun, pembuatan jalan tersebut tentunya menguntungkan pihak perusahaan sebagai jalan keluar – masuk bagi truk – truk tersebut. Artinya pembangunan jalan merupakan kebutuhan yang pasti bagi pihak perusahaan.
Membuka Lapangan Pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar yang dapat meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat di kawasan Blitar selatan. Namun penggunaan alat berat untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam tersebut, mengakibatkan kebutuhan akan tenaga kerja semakin kecil. Artinya, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan juga semakin sedikit. Sehingga kesejahteraan rakyat yang meningkat hanya sedikit yakni hanya yang bekerja di wilayah pertambangan pasir besi tersebut.
Disisi lain upah kaum buruh tentunya hanya agar kaum buruh tersebut tetap sehat dan bisa bekerja kepada si pemodal semata. Tanpa adanya dana untuk membiayai kesehatan maupun biaya pendidikan. Saat buruh sakit, maka hanya akan hutang dari perusahaan, dan buruh tetap tidak akan menyekolahkan anak – anaknya, padahal sekolah merupakan ekskalator sosial yang dapat mengangkat status sosial seseorang di masyarakat. Dengan pendidikan pula seseorang dapat bekerja ditempat lain, atau naik ke level jabatan yang lebih tinggi. Dengan begitu, kaum buruh tetap tergantung kepada pemodal.
Jika, kesejahteraan kaum buruh meningkat maka sesungguhnya secara presentasi peningkatan kesejahteraan kaum buruh lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan kesejahteraan kaum pemodal. Belum lagi kaum buruh teraleniasi (terasing) dari alat produksi, yang bukan miliknya dan juga hasil produksi yang tidak pernah dinikmati oleh kaum buruh (masyarakat sekitar) padahal penderitaan yang diakibatkan oleh kerusakan alam akibat penambangan dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Pendapatan asli daerah juga meningkat melalui pajak dan perijinan pertambangan tersebut. Tentunya ini menguntungkan, namun keuntungan tersebut jauh dibandingkan dengan kerugian yang berupa kerusakan alam yang dialami oleh daerah. Maupun kurang banyak jika yang mengelola pertambangan pasir besi tersebut adalah kelompok kerja atau koperasi yang berasal dari rakyat maupun dikelola sendiri oleh badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Kiranya kecelakaan sejarah yang dialami oleh republik Indonesia, terkait dengan Kontrak Karya pertambangan maupun kontrak – kontrak baru pertambangan, harusnya dapat dihindari saat ini. Pemerintah selama ini hanya mendapatkan pajak tanpa menguasai hasil tambang tersebut. Yang mengakibatkan kemiskinan bagi jutaan rakyat Indonesia.

                Jalan Baru Sosialisme Indonesia Di Pertambangan Pasir Besi Blitar Bagian Selatan
                Mencegah adanya pertambangan pasir besi merupakan hal yang sulit dilakukan oleh berbagai pihak, karena adanya kepentingan oknum yang duduk di pemerintahan, demi kepentingan perut sendiri. Sehingga tetap memberikan ijin pertambangan kepada pihak yang mampu memberikan sesuatu bagi mereka. Sehingga diperlukan adanya konsep pertambangan pasir besi yang lebih ramah kepada lingkungan dan juga demi peningkatan kesejahteraan rakyat lokal di kawasan tersebut.
                Pelibatan masyarakat lokal merupakan hal yang pokok dalam hal pertambangan ini. Bukan hanya sebagai pekerja dalam perusahaan, namun lebih dari sekedar itu. Masyarakat lokal harus didorong untuk menjadi penambang pasir besi di wilayah ini. Masyarakat lokal dapat membentuk koperasi, kelompok kerja maupun dengan menggunakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
                Kolektifitas masyarakat lokal harus dibangun, melalui koperasi atau kelompok kerja atau BUMDes. Karena kapitalisme pada hakekatnya merupakan perkembangan dari sifat individualis, yang harus dilawan dengan kolektivitas. Dengan adanya pembangunan kelompok masyarakat, sehingga mereka dapat mengajukan ijin pertambangan sendiri kepada pemerintah daerah. Dengan begitu, masyarakat dapat melakukan aktivitas pertambangan dengan resmi sebagaimana diatur oleh Undang – undang.
                Hasil pertambangan rakyat tersebut dikumpulkan dalam koperasi/kelompok kerja/BUMDes, untuk kemudian melalui organisasi tersebut dijual kepada pihak ketiga. Dengan penjualan yang bersifat kolektif, masyarakat dapat meningkatkan daya tawarnya. Sehingga harga jual dari pasir besi menjadi lebih tinggi.
                Dana keuntungan dibagikan sesuai dengan peraturan yang ada, dimana dalam lembaga tersebut dibuat badan pengawas dari masyarakat maupun perangkat desa. Desa mendapatkan bagian 30% dari hasil tambang yang dapat digunakan sebagai pembangunan fasilitas umum. Sedangkan pegawai pertambangan digaji dengan jumlah presentasi tertentu yang tidak memberatkan pihak koperasi/kelompok kerja/BUMDes, sehingga semakin banyak hasilnya semakin tinggi gajinya. Pegawai koperasi/kelompok kerja/BUMDes digaji sesuai dengan tingkat  pekerjaannya.
                Yang membedakan antara perusahaan dengan koperasi/kelompok kerja/BUMDes antara lain: pertama, kepemilikan alat produksi. Dalam koperasi/kelompok kerja alat produksi dimiliki oleh anggotanya. BUMDes, alat produksi dimiliki oleh desa yang merupakan penghasil dari pasir besi tersebut yang dikelola secara profesional oleh BUMDes. Sedangkan dalam perusahaan, alat produksi dimiliki oleh perusahaan (pemegang saham). Sehingga tidak ada keterasingan buruh dengan alat produksi yang dipakai untuk menghasilkan barang produksi. Karena alat produksi tersebut pada hakekatnya dimiliki oleh pekerja. Kedua, soal eksploitasi saat bekerja. Dalam artian, nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja dalam menghasilkan barang tetap dimiliki pekerja yang dibagikan melalui jumlah presentase yang dibagikan oleh Koperasi/kelompok kerja/BUMDes. Sehingga pertambahan nilai suat hasil produksi diikuti juga pertambahan gaji yang diterima oleh pekerja. Nilai lebih juga diterima oleh pekerja karena keuntungan yang diperoleh koperasi/kelompok kerja/BUMDes akan kembali dibagikan kepada anggotanya.
Ketiga, soal keterasingan/ketidakterasingan akan hasil produksi. Hasil produksi yang juga dimiliki oleh anggota koperasi/kelompok kerja, maupun yang dimiliki oleh desa melalui BUMDes. Merupakan milik dari pekerja dalam koperasi/kelompok kerja/BUMDes, sehingga pekerja tidak terasing dari hasil produksinya. Ini berbeda dengan perusahaan pertambangan yang bersifat Perusahaan (perseroan terbatas), dimana saham hanya milik sebagian kecil orang yang tidak pernah melakukan kerja dalam usaha pertambangan tersebut.
Keempat, soal pembagian akumulasi kapital. Akumulasi kapital adalah sejumlah keuntungan yang terkumpul dalam suatu usaha (baik koperasi/perseroan terbatas/kelompok kerja/BUMDes). Dimana akumulasi kapital tersebut dibagikan kepada pemilik dari badan usaha yang mengusahakan  pertambangan pasir besi. Sehingga keuntungan yang diperoleh koperasi/kelompok kerja/BUMDes akan langsung dapat dimiliki oleh masyarakat lokal terutama pekerja yang secara langsung berhubungan dengan pertambangan pasir besi. Ini berbeda dengan perseroan terbatas, yang mana pekerja dan masyarakat lokal tidak mempunyai hak atas keuntungan yang diperolehnya. Dan akumulasi kapital yang ada dibagikan kepada pemilik saham, dimana jumlahnya sangat terbatas. 
Dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat lokal dalam melakukan eksploitasi sumber daya alam berupa pasir besi yang ada di pantai selatan tersebut tentunya akan menjadikan masyarakat lokal menjadi lebih sejahtera, dan keadilan sosial akan tercipta. Karena bagaimanapun masyarakat lokallah yang menjadi korban pertama atas kerusakan alam yang disebabkan pertambangan pasir besi tersebut.
Maka masyarakat lokal juga yang berhak pertama kali untuk menikmati sumber daya alam berupa pasir besi tersebut. Berhak atas peningkatan kesejahteraan, yang berasal dari sumber daya yang dekat dengan mereka. Bukan hanya menjadi korban atas kerusakan alam saja.
Tidak lantas kita mengatakan bahwa, masyarakat lokal di wilayah yang menolak penambangan pasir besi atau melakukan penambangan rakyat tanpa ijin, melanggar undang – undang, Perda dan lain sebagainya. Dimana setahu mereka, di wilayahnya ada sumber daya yang dapat meningkatkan kesejahteraan, namun tiba – tiba ada perusahaan dengan membawa selembar kertas, berhak atas wilayah tersebut. Tentunya ini merupakan kemunafikan pembangunan yang bersifat kapitalistik dengan mengagungkan pertumbuhan ekonomi.

--------------------------

Pertambangan pasir besi sendiri sebisa mungkin menggunakan peralatan yang dimiliki oleh rakyat, bukan dengan alat berat sebagaimana dilakukan saat ini. Dengan menggunakan peralatan dari rakyat ini akan menyebabkan persamaan antara kekuatan penambang dengan kekuatan memperbaiki diri yang dilakukan oleh alam. Sehingga kerusakan alam akibat penambangan pasir besi tersebut dapat dicegah atau dihambat.
Selain itu, penggunaan alat pertambangan rakyat bukan alat berat akan membuat pekerja dalam pertambangan pasir besi tersebut menjadi lebih banyak. Hal ini akan menyebabkan terbukanya peluang kerja yang lebih besar dibandingkan dengan menggunakan peralatan berat.
Namun bukan berarti penulis menolak adanya kemajuan teknologi. Kalau toch, harus memakai alat berat kiranya pembagian kerja perlu mendapatkan perhatian sehingga penghasilan dari hasil keringat pekerja dapat dibagi rata. Kemungkinan dengan cara pekerja digilir seminggu tiga hari kerja, dan ini dilakukan secara bergantian. Dengan begitu penghasilan (tingkat kesejahteraan) dapat merata.
Penggunaan alat berat yang digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi pasir besi harus batasi penggunaannya, agar alam mempunyai waktu untuk memperbaiki dirinya. Sebagai contoh tiga (3) bulan melakukan eksploitasi dengan alat berat, kemudian istirahat selama satu (1) bulan. Ini demi menjaga kelestarian alam. Meskipun pada tahap akhir eksploitasi pasir besi ini dilakukan reparasi pantai.

----------------------------

                Peningkatan Pendapatan Asli daerah dapat menjadi lebih banyak dibandingkan dengan dikelola oleh perusahaan karena, dengan dikelola oleh koperasi maka sebenarnya pihak daerah telah melakukan pemberdayaan masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi mandiri, tanpa tergantung pada pihak lain. Daerahpun mendapatkan tambahan pajak dari koperasi/kelompok kerja/BUMDes dan pajak penghasilan dari warga negaranya.
                Disisi lain pembangunan untuk wilayah desa yang ada pertambangan pasir besinya tidak begitu membutuhkan dana pembangunan dari pemerintah daerah, sehingga dana pembangunan tersebut (yang seharusnya dialokasikan ke desa itu) bisa diberikan ke desa lain.
                Pendapatan Asli daerah dapat ditingkatkan jika eksploitasi kekayaan alam (dalam hal ini pasir besi) dilakukan oleh Badan Usaha Milik daerah (BUMD) yang pengelolaannya terpisah dari birokrasi daerah dan dikelola secara profesional. Tentunya pengelolaan tersebut tetap melibatkan masyarakat lokal di wilayah penghasil pasir besi.
                Semoga jalan baru menuju sosialisme Indonesia akan segera terbuka untuk kita semua, ditengah kebijakan pemerintah yang semakin kapitalistik dengan Washington Conseption  sebagai acuannya.  

BAHASA INDONESIA: Sebagai Bahasa Persatuan





                Dalam Kongres Pemuda II atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda, disebutkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini berbeda dengan satu Bangsa dan satu tanah air.  Tentunya ini menjadi bahasan sendiri, kenapa bahasa tidak dijadikan satu, yakni bahasa Indonesia.
                Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia mempunyai banyak suku, adat – istiadat dan juga bahasa. Tentunya jika kita memaksakan bahasa Indonesia sebagai satu – satunya bahasa tentunya akan menjadi masalah. Karena harus menghilangkan berbagai bahasa daerah yang ada di Indonesia.
                Bahasa merupakan ciri khas, manifestasi dari kebudayaan suatu suku bangsa. Sehingga menghilangkan bahasa daerah (suku) tentunya akan menjadi permasalahan dan menghilangkan kebhinekaan dalam bhineka tunggal ika. Permasalahan yang muncul, ialah hilangnya bahasa yang merupakan kekayaan kebudayaan Indonesia.
                Pesan yang disampaikan oleh Pendahulu kita (yang ikut dalam sumpah pemuda), untuk tidak menghilangkan bahasa daerah. Sebagaimana kondisi saat ini, dimana orang Jawa sudah tidak dapat berbicara bahasa Jawa, orang Sunda sudah jarang memakai bahasa Sunda dan seterusnya. Ini mengakibatkan manusia Indonesia tercerabut dari akar budaya, dari budaya Ibu atau tanah yang membesarkannya. Sehingga diharapkan oleh bapak/ibu bangsa kita, agar kita tetap mengingat budaya, adat kita.
Sehingga bahasa Indonesia yang merupakan gubahan bahasa Melayu, dimana bahasa Melayu tersebut sudah menjadi bahasa pengantar dalam perdagangan di nusantara. Hanya digunakan sebagai bahasa persatuan atau bahasa resmi, tidak lantas dengan menghilangkan bahasa daerahnya.

                Kebesaran Suku Jawa
                Dalam Kongres Pemuda II tersebut banyak sekali pesertanya yang berasal dari Jawa dan penduduk Indonesia sendiri 70% lebih merupakan suku bangsa Jawa. Namun suku Jawa tidak memaksakan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional bagi bangsa Indonesia. Tentunya jadinya bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa persatuan bukan saja jasa suku bangsa Melayu tetapi juga peranan suku bangsa Jawa yang mau legowo, tidak memaksakan bahasanya sebagai bahasa persatuan atau bahasa nasional.
                Berpegang Pada Budaya
Setelah 84 tahun sumpah pemuda, saatnya kini kita melakukan instropeksi diri terkait dengan kondisi Kebangsaan Indonesia yang sudah semakin jauh dari budaya dan Jiwa Kebangsaan. Dimana pesan yang disampaikan oleh pendiri bangsa dalam pengakuan yang ketiga dalam Sumpah Pemuda, untuk tetap menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pergaulan sehari – hari. Untuk tetap berpikir sesuai dengan bahasa ibu yang telah membesarkannya.
Dengan pola pikir yang demikian inilah, akan tercipta pola pembangunan yang menyesuaikan dengan kearifan lokal yang ada. Bukannya program pembangunan yang “saklek” dari pusat tanpa mengindahkan keadaan kearifan lokal. Sehingga efek pembangunan justru akan menyebabkan kepunahan nilai – nilai kelokalan yang merupakan kekayaan bangsa.    

Minggu, 23 Oktober 2011

Sejarah Lahirnya GmnI



KE-GMNI-AN


Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia atau disingkat GMNI lahir sebagai hasil proses peleburan 3 organisasi mahasiswa yang berazaskan MARHAENISME. Ketiga organisasi tersebut adalah :
1.     Gerakan Mahasiswa Marhaenis berpusat di Jogjakarta
2.     Gerakan Mahasiswa Merdeka berpusat di Surabaya
3.     Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia berpusat di Jakarta

Fusi ketiga organisasi tersebut berangkat dari keinginan Pengurus GMDI untuk menyatukan organisasi organisasi yang se-azas dalam satu wadah. Kemudian dilakukan serangkaian pertemuan dan menghasilkan kesepakatan:
1.     Setuju melakukan fusi
2.     Wadah peleburan tiga organisasi tersebut bernama Gerakan mahasiswa Nasional Indonesia atau disingkat GMNI
3.     Azas organisasi adalah MARHAENISME ajaran Bung Karno
4.     Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya.

Hari lahir/ Dies Natalis GMNI tanggal 23 Maret 2004
Adapun pimpinan ketiga organisasi tersebut adalah
1.       Gerakan Mahasiswa Merdeka
-. Slamet Djajawidjaja, Slamet Raharjo, Heruman
2.       Gerakan Mahasiswa Marhaenis
-. Wahyu Widodo, Subagio Marsukin, Sri Sumantri marto Suwignyo
3.       Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia
-. S.M Hadi Prabowo, Djawadi Hadipradoko, Sulomo

Kongres-Kongres GmnI

1.       Kongres I GMNI di Surabaya 1954
2.       Kongres II GMNI di Bandung 1956
3.       Kongrres GMNI III di Malang 1959
4.       Konferensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta 1959
5.       Konferensi Besar GMNI di Pontianak 1965
6.       Kongres V GMNI di Salatiga 1969 (seharusnya di Jakarta pada tahun 1965, karena ada G30 S/PKI gagal)
7.       Kongres VI GMNI di Ragunan –Jakarta 1976
8.       Kongres VII GMNI di Medan 1979
9.       Kongres VIII GMNI di Lembang Bandung 1982 (seharusnya di Jogjakarta, gagal akibat protes cabang-cabang)
10.   Kongres IX GMNI di Samarinda 1985
11.   Kongres X GMNI di Salatiga 1989
12.   Kongres XI GMNI di Malang 1992
13.   Kongres XII GMNI di Denpasar-Bali 1995
14.   Kongres XIII GMNI di Kupang-NTT 1999
15.   Kongres Luar Biasa (KLB) di Semarang 2001 ( kubu KLB )
16.   Kongres XIV GMNI di Manado tahun 2003 ( kubu kupang )
17.   Kongres di Medan tahun 2004 ( Kubu KLB )
18.   Kongres XV di Pangkal Pinang tahun 2006 ( Kongres Persatuan GMNI antara Kubu Kupang dengan KLB )
19.   Kongres XVI di Bogor tahun 2008.

II.        Azas GmnI

AZAS MARHAENISME yaitu Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

III.      Motto Perjuangan GmnI

Motto perjuangan GMNI adalah PEJUANG PEMIKIR-PEMIKIR PEJUANG Yang memiliki arti Pejuang Rakyat yang selalu memikirkan perjuangan dan kelanjutan perjuangannya dan pemikir (intelektual) yang selalu mengabdikan ilmunya untuk perjuangan rakyat sepenuhnya.

IV.      Tujuan GmnI

Organisasi yang bertujuan mendidik mahasiswa Indonesia untuk menjadi kader bangsa yang berjiwa nasionalis dan berwatak kerakyatan dalam mewujudkan masyarakat sosialisme Indonesia

V.        Arah Perjuangan GmnI

Sebagai organisasi perjuangan maka setiap kader GMNI tidak saja dituntut berjuang dan berpihak pada kepentingan rakyat tetapi sekaligus berjuang bersama-sama rakyat untuk melawan segala macam bentuk penindasan yang diakibatkan oleh sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan feodalisme.

VI.      Sifat GmnI

GMNI adalah organisasi yang bersifat INDEPENDEN artinya secara organisatoris GMNI tidak berafiliasi kepada salah satu kekuatan politik tertentu, Namun secara personal kader GMNI bebas menyalurkan aspirasi politiknya pada kekuatan sosial politik apapun.

VII.    Struktur Organisasi GmnI

Tingkat Nasional                 : PRESIDIUM GMNI
Tingkat Daerah                   : KORDA (Koordinator Daerah)
Tingkat Kota                        : DPC (Dewan Pimpinan Cabang)
Tingkat Fakultas/Kampus : Pengurus Komisariat

VIII.  Makna Lambang GmnI

1.     Perisai
-       Melambangkan perisai atau benteng terhadap kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan feodalisme
-       Melambangkan kepeloporan GMNI
-       Segi enam (tiga sudut atas adalah trisakti pancasila, tiga sudut bawah adalah tri dharma perguruan tinggi)
2.     Bintang, Melambangkan Ketuhanan Yang maha Esa
3.     Kepala Banteng Miring kekiri, Sebagai lambang atau simbol kekuatan rakyat
4.     Warna Merah, Melambangkan keberanian
5.     Warna Putih, Melambangkan kesucian perjuangannya

IX.      Nilai-Nilai Dasar Perjuangan GmnI

  1. GMNI adalah Organisasi Mahasiswa Warga Negara Indonesia yang Independen bersifat bebas aktif dan berwatak kerakyatan.
  2. GMNI adalah Organisasi Mahasiswa yang berwawasan nasional yang tidak membeda-bedakan kesukuan, keagamaan dan status sosial anggotanya, senatiasa menjunjung kesatuan dan persatuan bangsa dan negara dalam perjuangannya.
  3. GMNI adalah Organisasi Mahasiswa yang berkewajiban membela dan mengamalkan Pancasila, senantiasa menjunjung tinggi Kedaulatan Negara di bidang ekonomi, poltik, budaya dan pertahanan keamanan.
  4. GMNI adalah Organisasi Mahasiswa yang berkewajiban menggalang kekuatan nasional yang berjuang tanpa pamrih dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat.
  5. GMNI adalah Pejuang Pemikir dan Pemikir Pejuang yang menjunjung tinggi kedaulatan negara, harkat dan martabat rakyat serta nama dan citra GMNI dalam kata- kata sikap maupun perbuatan.
  6. GMNI adalah Pejuang Pemikir dan Pemikir Pejuang sebagai kader bangsa yang bersikap jujur, senantiasa patuh dan taat kepada amanat dan konstitusi organisasi,  menepati janji dan sumpahke anggotaan.
  7. Anggota GMNI adalah Pejuang Pemikir dan Pemikir pejuang sebagai penuntut ilmu yg bertanggung jawab, bersikap sopan dan menghargai sesamanya.
  8. Anggota GMNI adalah Pejuang Pemikir dan Pemikir pejuang yang tidak menjadikan status sebagai predikat, senantiasa mengejar cita -cita tanpa mengenal menyerah, menunjukkkan kesederhanaan hidup serta menjadi tauladan dalam lingkungannya.
  9. Anggota GMNI adalah Pejuang Pemikir dan Pemikir Pejuang yang bertekad melanjutkan cita - cita Proklamasi dan amanat UUD 1945 dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial.
  10. Anggota GMNI adalah Pejuang Pemikir dan Pemikir Pejuang sebagai insan akademis yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa senantiasa menjunjung tinggi nilai - nilai kemanusiaan dan keadilan dalam pergaulan bangsa - bangsa.


x. IKRAR  PRASETYA KROPS PEJUANG PEMIKIR – PEMIKIR PEJUANG
Kami, anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia adalah Pejuang Pemikir - Pemikir Pejuang Indonesia, dan berdasarkan pengakuan ini, Kami mengaku bahwa:
  • Kami adalah Makhluk ciptaan Tuhan Al-Khalik, dan bersumber serta bertaqwa kepada-Nya.
  • Kami adalah Warga Negara Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila dan setia kepada cita-cita revolusi 17 Agustus 1945.
  • Kami adalah Pejuang Indonesia yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, lahir dari rakyat yang berjuang, dan senantiasa siap sedia berjuang untuk dan bersama rakyat, membangun masyarakat Pancasila.
  • Kami adalah Patriot Indonesia, yang percaya kepada kekuatan diri sendiri, berjiwa optimis dan dinamis dalam perjuangan, senantiasa bertindak setia-kawan kepada sesama kawan seperjuangan.
  • Kami adalah Mahasiswa Indonesia, penuh kesungguhan menuntut ilmu dan pengetahuan setinggi-tingginya untuk diabdikan kepada kepentingan rakyat dan kesejahteraan umat manusia.
Berdasarkan pengakuan-pengakuan ini, Demi Kehormatan, kami berjanji akan bersungguh-sungguh menjalankan kewajiban untuk mengamalkan semua pengakuan ini dalam karya hidup kami sehari-hari.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati niat dan tekad kami, dengan taufik dan hidayat-Nya serta dengan inayat-Nya.

PERHATIKAN:
  1. Ikrar ini harus ditandatangani oleh setiap Calon Anggota/ Anggota.
  2. Sebelum membubuhkan tanda-tangan, saudara harus membaca dan merenungkan isi Ikrar ini. Bila saudara sudah berkeyakinan mantap akan dapat melaksanakan isi Ikrar, saudara dipersilahkan untuk mem-print halaman ini guna menandatanganinya, dan segera diserahkan kepada DPC GMNI terdekat.
  3. Bila masih ragu-ragu, saudara agar berdo'a mohon petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa.



****------****