Keadaan alam yang tandus di
Blitar selatan merupakan musibah yang harus dialami oleh masyarakatnya.
Sehingga kemiskinan tidak segera menjauh dari wilayah ini, ini menyebabkan
banyak penduduk Kab. Blitar selatan yang bekerja ke luar negeri untuk merubah
nasibnya. Terlepas dari peristiwa G30S yang telah menjadikan Blitar bagian
selatan sebagai anak tiri pembangunan republik. Dimana kreativitas rakyat
Blitar selatan selalu dicurigai sebagai kebangkitan Partai Komunis Indonesia
gaya baru.
Namun dibalik keadaan alam yang tandus tersebut, tersimpan sumber
kekayaan alam yang luar biasa di Blitar bagian selatan terutama di wilayah
pantai selatan yang merupakan penghasil pasir besi. Eksploitasi pasir besi ini
sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan besar baik nasional maupun dari luar
negeri. Dengan alasan investasi dibutuhkan demi terlaksanakannya pembangunan
yang dapat membuat lapangan pekerjaan bagi rakyat di Blitar selatan.
Selain itu, pemerintah Kabupaten Blitar menganggap bahwa pembangunan
dengan sendirinya akan terjadi di wilayah yang dilewati oleh truk – truk
pengangkut pasir besi. Namun benarkah pasir besi yang dihasilkan oleh Kabupaten
Blitar mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Kab. Blitar maupun taraf
kehidupan masyarakat lokal yang terkena imbas langsung dari kerusakan alam yang
dirasakan oleh masyarakat lokal tersebut.
Pasir besi yang dieksploitasi oleh Perusahaan – perusahaan tersebut,
memang menghasilkan pembangunan berupa perbaikan jalan yang dilakukan oleh
pihak perusahaan pengelola. Namun, pembuatan jalan tersebut tentunya
menguntungkan pihak perusahaan sebagai jalan keluar – masuk bagi truk – truk
tersebut. Artinya pembangunan jalan merupakan kebutuhan yang pasti bagi pihak
perusahaan.
Membuka Lapangan Pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar yang dapat
meningkatkan kesejahteraan bagi rakyat di kawasan Blitar selatan. Namun
penggunaan alat berat untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam
tersebut, mengakibatkan kebutuhan akan tenaga kerja semakin kecil. Artinya, jumlah
tenaga kerja yang dibutuhkan juga semakin sedikit. Sehingga kesejahteraan
rakyat yang meningkat hanya sedikit yakni hanya yang bekerja di wilayah
pertambangan pasir besi tersebut.
Disisi lain upah kaum buruh tentunya hanya agar kaum buruh tersebut tetap
sehat dan bisa bekerja kepada si pemodal semata. Tanpa adanya dana untuk
membiayai kesehatan maupun biaya pendidikan. Saat buruh sakit, maka hanya akan
hutang dari perusahaan, dan buruh tetap tidak akan menyekolahkan anak –
anaknya, padahal sekolah merupakan ekskalator sosial yang dapat mengangkat
status sosial seseorang di masyarakat. Dengan pendidikan pula seseorang dapat
bekerja ditempat lain, atau naik ke level jabatan yang lebih tinggi. Dengan
begitu, kaum buruh tetap tergantung kepada pemodal.
Jika, kesejahteraan kaum buruh meningkat maka sesungguhnya secara
presentasi peningkatan kesejahteraan kaum buruh lebih rendah dibandingkan
dengan peningkatan kesejahteraan kaum pemodal. Belum lagi kaum buruh
teraleniasi (terasing) dari alat produksi, yang bukan miliknya dan juga hasil
produksi yang tidak pernah dinikmati oleh kaum buruh (masyarakat sekitar)
padahal penderitaan yang diakibatkan oleh kerusakan alam akibat penambangan
dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Pendapatan asli daerah juga meningkat melalui pajak dan perijinan
pertambangan tersebut. Tentunya ini menguntungkan, namun keuntungan tersebut
jauh dibandingkan dengan kerugian yang berupa kerusakan alam yang dialami oleh
daerah. Maupun kurang banyak jika yang mengelola pertambangan pasir besi
tersebut adalah kelompok kerja atau koperasi yang berasal dari rakyat maupun
dikelola sendiri oleh badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Kiranya kecelakaan sejarah yang dialami oleh republik Indonesia, terkait
dengan Kontrak Karya pertambangan maupun kontrak – kontrak baru pertambangan,
harusnya dapat dihindari saat ini. Pemerintah selama ini hanya mendapatkan
pajak tanpa menguasai hasil tambang tersebut. Yang mengakibatkan kemiskinan
bagi jutaan rakyat Indonesia.
Jalan
Baru Sosialisme Indonesia Di Pertambangan Pasir Besi Blitar Bagian Selatan
Mencegah
adanya pertambangan pasir besi merupakan hal yang sulit dilakukan oleh berbagai
pihak, karena adanya kepentingan oknum yang duduk di pemerintahan, demi kepentingan
perut sendiri. Sehingga tetap memberikan ijin pertambangan kepada pihak yang
mampu memberikan sesuatu bagi mereka. Sehingga diperlukan adanya konsep
pertambangan pasir besi yang lebih ramah kepada lingkungan dan juga demi
peningkatan kesejahteraan rakyat lokal di kawasan tersebut.
Pelibatan masyarakat lokal
merupakan hal yang pokok dalam hal pertambangan ini. Bukan hanya sebagai
pekerja dalam perusahaan, namun lebih dari sekedar itu. Masyarakat lokal harus
didorong untuk menjadi penambang pasir besi di wilayah ini. Masyarakat lokal
dapat membentuk koperasi, kelompok kerja maupun dengan menggunakan Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes).
Kolektifitas masyarakat lokal
harus dibangun, melalui koperasi atau kelompok kerja atau BUMDes. Karena
kapitalisme pada hakekatnya merupakan perkembangan dari sifat individualis,
yang harus dilawan dengan kolektivitas. Dengan adanya pembangunan kelompok
masyarakat, sehingga mereka dapat mengajukan ijin pertambangan sendiri kepada
pemerintah daerah. Dengan begitu, masyarakat dapat melakukan aktivitas
pertambangan dengan resmi sebagaimana diatur oleh Undang – undang.
Hasil pertambangan rakyat
tersebut dikumpulkan dalam koperasi/kelompok kerja/BUMDes, untuk kemudian
melalui organisasi tersebut dijual kepada pihak ketiga. Dengan penjualan yang
bersifat kolektif, masyarakat dapat meningkatkan daya tawarnya. Sehingga harga
jual dari pasir besi menjadi lebih tinggi.
Dana keuntungan dibagikan sesuai
dengan peraturan yang ada, dimana dalam lembaga tersebut dibuat badan pengawas
dari masyarakat maupun perangkat desa. Desa mendapatkan bagian 30% dari hasil
tambang yang dapat digunakan sebagai pembangunan fasilitas umum. Sedangkan
pegawai pertambangan digaji dengan jumlah presentasi tertentu yang tidak
memberatkan pihak koperasi/kelompok kerja/BUMDes, sehingga semakin banyak
hasilnya semakin tinggi gajinya. Pegawai koperasi/kelompok kerja/BUMDes digaji
sesuai dengan tingkat pekerjaannya.
Yang membedakan antara
perusahaan dengan koperasi/kelompok kerja/BUMDes antara lain: pertama, kepemilikan
alat produksi. Dalam koperasi/kelompok kerja alat produksi dimiliki oleh
anggotanya. BUMDes, alat produksi dimiliki oleh desa yang merupakan penghasil
dari pasir besi tersebut yang dikelola secara profesional oleh BUMDes.
Sedangkan dalam perusahaan, alat produksi dimiliki oleh perusahaan (pemegang
saham). Sehingga tidak ada keterasingan buruh dengan alat produksi yang dipakai
untuk menghasilkan barang produksi. Karena alat produksi tersebut pada
hakekatnya dimiliki oleh pekerja. Kedua, soal eksploitasi saat bekerja. Dalam
artian, nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja dalam menghasilkan barang
tetap dimiliki pekerja yang dibagikan melalui jumlah presentase yang dibagikan
oleh Koperasi/kelompok kerja/BUMDes. Sehingga pertambahan nilai suat hasil produksi
diikuti juga pertambahan gaji yang diterima oleh pekerja. Nilai lebih juga
diterima oleh pekerja karena keuntungan yang diperoleh koperasi/kelompok
kerja/BUMDes akan kembali dibagikan kepada anggotanya.
Ketiga, soal keterasingan/ketidakterasingan akan hasil produksi. Hasil
produksi yang juga dimiliki oleh anggota koperasi/kelompok kerja, maupun yang
dimiliki oleh desa melalui BUMDes. Merupakan milik dari pekerja dalam
koperasi/kelompok kerja/BUMDes, sehingga pekerja tidak terasing dari hasil
produksinya. Ini berbeda dengan perusahaan pertambangan yang bersifat
Perusahaan (perseroan terbatas), dimana saham hanya milik sebagian kecil orang
yang tidak pernah melakukan kerja dalam usaha pertambangan tersebut.
Keempat, soal pembagian akumulasi kapital. Akumulasi kapital adalah
sejumlah keuntungan yang terkumpul dalam suatu usaha (baik koperasi/perseroan
terbatas/kelompok kerja/BUMDes). Dimana akumulasi kapital tersebut dibagikan
kepada pemilik dari badan usaha yang mengusahakan pertambangan pasir besi. Sehingga keuntungan
yang diperoleh koperasi/kelompok kerja/BUMDes akan langsung dapat dimiliki oleh
masyarakat lokal terutama pekerja yang secara langsung berhubungan dengan
pertambangan pasir besi. Ini berbeda dengan perseroan terbatas, yang mana
pekerja dan masyarakat lokal tidak mempunyai hak atas keuntungan yang
diperolehnya. Dan akumulasi kapital yang ada dibagikan kepada pemilik saham,
dimana jumlahnya sangat terbatas.
Dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat lokal dalam melakukan
eksploitasi sumber daya alam berupa pasir besi yang ada di pantai selatan
tersebut tentunya akan menjadikan masyarakat lokal menjadi lebih sejahtera, dan
keadilan sosial akan tercipta. Karena bagaimanapun masyarakat lokallah yang
menjadi korban pertama atas kerusakan alam yang disebabkan pertambangan pasir
besi tersebut.
Maka masyarakat lokal juga yang berhak pertama kali untuk menikmati
sumber daya alam berupa pasir besi tersebut. Berhak atas peningkatan
kesejahteraan, yang berasal dari sumber daya yang dekat dengan mereka. Bukan
hanya menjadi korban atas kerusakan alam saja.
Tidak lantas kita mengatakan bahwa, masyarakat lokal di wilayah yang
menolak penambangan pasir besi atau melakukan penambangan rakyat tanpa ijin,
melanggar undang – undang, Perda dan lain sebagainya. Dimana setahu mereka, di
wilayahnya ada sumber daya yang dapat meningkatkan kesejahteraan, namun tiba –
tiba ada perusahaan dengan membawa selembar kertas, berhak atas wilayah
tersebut. Tentunya ini merupakan kemunafikan pembangunan yang bersifat kapitalistik
dengan mengagungkan pertumbuhan ekonomi.
--------------------------
Pertambangan pasir besi sendiri sebisa mungkin menggunakan peralatan yang
dimiliki oleh rakyat, bukan dengan alat berat sebagaimana dilakukan saat ini.
Dengan menggunakan peralatan dari rakyat ini akan menyebabkan persamaan antara
kekuatan penambang dengan kekuatan memperbaiki diri yang dilakukan oleh alam.
Sehingga kerusakan alam akibat penambangan pasir besi tersebut dapat dicegah
atau dihambat.
Selain itu, penggunaan alat pertambangan rakyat bukan alat berat akan
membuat pekerja dalam pertambangan pasir besi tersebut menjadi lebih banyak.
Hal ini akan menyebabkan terbukanya peluang kerja yang lebih besar dibandingkan
dengan menggunakan peralatan berat.
Namun bukan berarti penulis menolak adanya kemajuan teknologi. Kalau
toch, harus memakai alat berat kiranya pembagian kerja perlu mendapatkan
perhatian sehingga penghasilan dari hasil keringat pekerja dapat dibagi rata.
Kemungkinan dengan cara pekerja digilir seminggu tiga hari kerja, dan ini
dilakukan secara bergantian. Dengan begitu penghasilan (tingkat kesejahteraan)
dapat merata.
Penggunaan alat berat yang digunakan sebagai alat untuk mengeksploitasi
pasir besi harus batasi penggunaannya, agar alam mempunyai waktu untuk memperbaiki
dirinya. Sebagai contoh tiga (3) bulan melakukan eksploitasi dengan alat berat,
kemudian istirahat selama satu (1) bulan. Ini demi menjaga kelestarian alam.
Meskipun pada tahap akhir eksploitasi pasir besi ini dilakukan reparasi pantai.
----------------------------
Peningkatan Pendapatan Asli
daerah dapat menjadi lebih banyak dibandingkan dengan dikelola oleh perusahaan
karena, dengan dikelola oleh koperasi maka sebenarnya pihak daerah telah
melakukan pemberdayaan masyarakat. Sehingga masyarakat menjadi mandiri, tanpa
tergantung pada pihak lain. Daerahpun mendapatkan tambahan pajak dari
koperasi/kelompok kerja/BUMDes dan pajak penghasilan dari warga negaranya.
Disisi lain pembangunan untuk
wilayah desa yang ada pertambangan pasir besinya tidak begitu membutuhkan dana
pembangunan dari pemerintah daerah, sehingga dana pembangunan tersebut (yang
seharusnya dialokasikan ke desa itu) bisa diberikan ke desa lain.
Pendapatan Asli daerah dapat
ditingkatkan jika eksploitasi kekayaan alam (dalam hal ini pasir besi)
dilakukan oleh Badan Usaha Milik daerah (BUMD) yang pengelolaannya terpisah
dari birokrasi daerah dan dikelola secara profesional. Tentunya pengelolaan
tersebut tetap melibatkan masyarakat lokal di wilayah penghasil pasir besi.
Semoga jalan baru menuju
sosialisme Indonesia akan segera terbuka untuk kita semua, ditengah kebijakan
pemerintah yang semakin kapitalistik dengan Washington
Conseption sebagai acuannya.