Tanggal 1 Desember 2011 kemarin di Hotel Puri Perdana
digelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pedoman penanganan Pengaduan
Masyarakat Kabupaten Blitar yang diadakan oleh Program Pendidikan Keahlian
Perancangan Peraturan Pembangunan (P2KP3) Universitas Brawijaya Malang dan
Pemerintah Daerah kab. Blitar. Dijelaskan oleh narasumber, ini merupakan
pesanan dari DPRD Kabupaten Blitar, agar penanganan pengaduan masyarakat dapat
ditangani dengan baik oleh DPRD Kab. Blitar.
Niat baik dari DPRD kab. Blitar untuk menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat ini layak untuk diapresiasi oleh kita semua.
Namun materi yang disampaikan oleh narasumber justru mengarah pada dibentuknya
Unit kerja yang bersifat independen untuk menangani hal ini. Unit Kerja
tersebut, bekerja dalam lingkungan legislatif (DPRD). Meskipun pembentukan Unit
kerja, masih pro – kontra dalam FGD.
Sebagai salah satu peserta yang menolak dibentuknya
Unit Kerja Penangan Pengaduan Masyarakat kab. Blitar, penulis ingin
menyampaikan beberapa alasan penolakan tersebut. Pertama, secara logika demokrasi, anggota DPRD merupakan perwakilan
rakyat kabupaten Blitar yang wajib menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat
kab. Blitar. Dengan adanya Unit Kerja ini Anggota DPRD akan semakin menjauh
dari rakyat (padahal sekarang sudah jauh).
Kedua,
merupakan bentuk cuci tangan anggota DPRD untuk menghindar dari pemilihnya
yakni rakyat kabupaten Blitar. Anggota dewan yang seharusnya menerima langsung
aspirasi masyarakat baik di kantor, rumah maupun dijalanan, saat bertemu
masyarakat yang mau menyampaikan aspirasi, dapat menghindar dengan kata – kata
: “sekarang sudah dibentuk unit pengaduan masyarakat, silahkan saudara
menghubungi unit tersebut, baru kemudian saya akan melakukan proses, setelah
ada rekomendasi dari unit tersebut ”.
Ketiga, Semakin
rumitnya alur birokrasi untuk bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan.
Semangat untuk membuat komisioner daerah, unit kerja atau yang sejenis adalah
untuk menerobos birokrasi yang ruwet dan panjang. Keberadaan unit kerja ini
semakin menambah panjang alur birokrasi bagi masyarakat untuk menyampaikan
aspirasinya.
Keempat, soal anggaran. Semangat untuk membuat lembaga
negara diluar birokrasi, telah menghasilkan banyak lembaga yang kerjanya
tumpang tindih dan banyak menyerap biaya negara. Keberadaan unit kerja ini,
semakin memperbanyak belanja rutin Pemerintah daerah kabupaten Blitar.
Kelima, tumpang
tindih fungsi. Unit kerja ini selain untuk menerima pengaduan masyarakat juga
berfungsi sebagai penyampai informasi bagi masyarakat. Padahal berdasarkan
undang – undang informasi publik bagian humas atau yang ditunjuk oleh lembaga
pemerintahan harus memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penampung
aspirasi dapat dilakukan oleh anggota DPRD dimanapun karena anggota DPRD
menjabat selama 24 jam. Selain itu, anggota DPRD juga mempunyai masa reses
untuk menampung aspirasi rakyat. Disisi lain, sesuai amanat UU tentang susunan
anggota DPR - RI, DPD - RI, MPR - RI, dan DPRD I, DPRD II, sudah dijelaskan
bahwa di tiap fraksi di DPRD II mempunyai sekretariat dan staf ahli. Dengan
adanya sekretariat fraksi dan staf ahli ini maka fungsi DPRD semakin nyata
untuk diwujudkan.
Sebenarnya kita tidak membutuhkan Unit Kerja Penampung
Aspirasi Masyarakat, namun yang lebih dibutuhkan dalam aturan yang mau dibuat
tersebut adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi anggota DPRD dalam
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dimana dalam aturan tersebut
juga memuat sanksi yang diberikan kepada anggota DPRD yang dalam menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat tidak sesuai SOP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar