Selasa, 06 Desember 2011

SESAT PIKIR PEMBENTUKAN UNIT PENGADUAN MASYARAKAT




                Tanggal 1 Desember 2011 kemarin di Hotel Puri Perdana digelar Focus Group Discussion (FGD) tentang Pedoman penanganan Pengaduan Masyarakat Kabupaten Blitar yang diadakan oleh Program Pendidikan Keahlian Perancangan Peraturan Pembangunan (P2KP3) Universitas Brawijaya Malang dan Pemerintah Daerah kab. Blitar. Dijelaskan oleh narasumber, ini merupakan pesanan dari DPRD Kabupaten Blitar, agar penanganan pengaduan masyarakat dapat ditangani dengan baik oleh DPRD Kab. Blitar.
                Niat baik dari DPRD kab. Blitar untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat ini layak untuk diapresiasi oleh kita semua. Namun materi yang disampaikan oleh narasumber justru mengarah pada dibentuknya Unit kerja yang bersifat independen untuk menangani hal ini. Unit Kerja tersebut, bekerja dalam lingkungan legislatif (DPRD). Meskipun pembentukan Unit kerja, masih pro – kontra dalam FGD.
                Sebagai salah satu peserta yang menolak dibentuknya Unit Kerja Penangan Pengaduan Masyarakat kab. Blitar, penulis ingin menyampaikan beberapa alasan penolakan tersebut. Pertama, secara logika demokrasi, anggota DPRD merupakan perwakilan rakyat kabupaten Blitar yang wajib menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat kab. Blitar. Dengan adanya Unit Kerja ini Anggota DPRD akan semakin menjauh dari rakyat (padahal sekarang sudah jauh).
                Kedua, merupakan bentuk cuci tangan anggota DPRD untuk menghindar dari pemilihnya yakni rakyat kabupaten Blitar. Anggota dewan yang seharusnya menerima langsung aspirasi masyarakat baik di kantor, rumah maupun dijalanan, saat bertemu masyarakat yang mau menyampaikan aspirasi, dapat menghindar dengan kata – kata : “sekarang sudah dibentuk unit pengaduan masyarakat, silahkan saudara menghubungi unit tersebut, baru kemudian saya akan melakukan proses, setelah ada rekomendasi dari unit tersebut ”.
                Ketiga, Semakin rumitnya alur birokrasi untuk bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduan. Semangat untuk membuat komisioner daerah, unit kerja atau yang sejenis adalah untuk menerobos birokrasi yang ruwet dan panjang. Keberadaan unit kerja ini semakin menambah panjang alur birokrasi bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya.
                Keempat,  soal anggaran. Semangat untuk membuat lembaga negara diluar birokrasi, telah menghasilkan banyak lembaga yang kerjanya tumpang tindih dan banyak menyerap biaya negara. Keberadaan unit kerja ini, semakin memperbanyak belanja rutin Pemerintah daerah kabupaten Blitar.
                Kelima, tumpang tindih fungsi. Unit kerja ini selain untuk menerima pengaduan masyarakat juga berfungsi sebagai penyampai informasi bagi masyarakat. Padahal berdasarkan undang – undang informasi publik bagian humas atau yang ditunjuk oleh lembaga pemerintahan harus memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Penampung aspirasi dapat dilakukan oleh anggota DPRD dimanapun karena anggota DPRD menjabat selama 24 jam. Selain itu, anggota DPRD juga mempunyai masa reses untuk menampung aspirasi rakyat. Disisi lain, sesuai amanat UU tentang susunan anggota DPR - RI, DPD - RI, MPR - RI, dan DPRD I, DPRD II, sudah dijelaskan bahwa di tiap fraksi di DPRD II mempunyai sekretariat dan staf ahli. Dengan adanya sekretariat fraksi dan staf ahli ini maka fungsi DPRD semakin nyata untuk diwujudkan.
                Sebenarnya kita tidak membutuhkan Unit Kerja Penampung Aspirasi Masyarakat, namun yang lebih dibutuhkan dalam aturan yang mau dibuat tersebut adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi anggota DPRD dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Dimana dalam aturan tersebut juga memuat sanksi yang diberikan kepada anggota DPRD yang dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat tidak sesuai SOP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar