Sabtu, 29 Januari 2011

UNDERGROUND EKONOMI


MADU ATAU RACUN PEREKONOMIAN INDONESIA

Beberapa studi menunjukkan pula bahwa pada masa transisi dan krisis ekonomi, underground economy di suatu wilayah atau negara cenderung akan meningkat. Underground economy sendiri terjadi juga di negara lain, tidak terkecuali negara maju dimana skalanya kian membesar. Dimasa krisis sekarang ini underground economy di Indonesia tampak tumbuh cukup cepat. Krisis ekonomi yang menyebabkan lapangan kerja formal berkurang dan menurunnya penghasilan riil akhirnya mendorong tenaga kerja untuk masuk ke aktivitas-aktivitas underground economy. Hal ini diperparah pula dengan masih buruknya governance dan penegakan hukum sebagaimana tampak dari masih parahnya korupsi ataupun bentuk-bentuk kejahatan ekonomi lainnya seperti penyelundupan.
Pada awal tahun 1990-an, Sritua Arief telah mengangkat soal black economy di Indonesia. Yang dimaksudkan dengan black economy di sini adalah bagian dari ekonomi di bawah tanah (underground economy) yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi formal namun melanggar undang – undang dan peraturan yang berlaku (ilegal) dan kegiatan-kegiatan ekonomi informal yang disebabkan oleh berbagai hal tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional. Underground economy ini sering juga disebut sebagai shadow economy, ekonomi informal, parallel economy, atau juga hidden economy.
Oleh karena ada aktivitas yang illegal maka dikenal juga adanya black economy. Hal ini sejalan juga dengan definisi yang digunakan Schneider dan Enste yaitu bahwa shadow economy mencakup bukan hanya aktivitas-aktivitas yang legal tetapi juga pendapatan - pendapatan yang tidak tercatat yang berasal dari produksi barang dan jasa, entah transaksinya menggunakan alat pembayaran (uang) ataupun hanya dengan cara barter. Dengan kata lain underground economy sebetulnya mencakup semua aktivitas ekonomi yang dapat dikenakan pajak bila aktivitas - aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak. Oleh sebab itu diyakini bahwa semakin besar underground economy maka makin besar potensi pajak yang hilang.
Konteks sosial-ekonomi ketika Sritua Arief mengangkat masalah black economy tampak tidak lepas dari kenyataan adanya dampak buruknya baik terhadap perekonomian, seperti menjadi rawannya posisi keuangan internasional Indonesia maupun berkaitan dengan pemerataan dan keadilan sosial mengingat black economy juga memunculkan konsentrasi kekuasaan ekonomi hanya pada segelintir orang.
Kini ketika Indonesia mengalami krisis berkepanjangan sejak 1997, persoalan underground economy kembali menarik perhatian. Beberapa studi menunjukkan pula bahwa pada masa transisi dan krisis ekonomi, underground economy di suatu wilayah atau negara cenderung akan meningkat.
Bila mencermati laporan-laporan media massa, keberadaan underground economy tersebut kiranya sangat jelas. Penyelundupan misalnya masih terus terjadi mulai dari bahan bakar sampai satwa langka. Komoditas - komoditas ini dikirim ke luar negeri namun tidak tercatat dalam statistik resmi kegiatan ekspor. Tentu saja aktivitas-aktivitas ini merugikan negara karena ada potensi pajak yang hilang. Adapun impor illegal banyak terjadi pada produk-produk elektronika yang diperkirakan mencapai 2 milyar dollar AS atau setara dengan Rp 16 trilyun dimana sekitar Rp 1 trilyunnya adalah produk handphone.
Adapun untuk sektor informal sering dipahami sebagai aktivitas ekonomi yang beroperasi di luar kerangka institusi dan peraturan resmi, namun tidak melakukan praktik kriminal sehingga keberadaannya masih ditoleransi oleh kantor pemerintah. Niels-Hugo, Canagarajah dan Raju (2001) menggunakan istilah alegal untuk aktivitas-aktivitas ekonomi tersebut. Oleh karena itu, tentu aktivitasnya di sini tidaklah sama dengan aktivitas ilegal seperti penyelundupan. Dalam tahun-tahun belakangan ini, persentase pekerja sektor informal mengalami peningkatan yang merefleksikan berkurangnya kemampuan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1996 pekerja sektor informal adalah 62,1 persen sedangkan tahun 2000 menjadi 64,9 persen. Indikasi pesatnya perkembangan sektor informal ini tidaklah sulit untuk ditemukan di wilayah kota-kota besar. Salah satu kegiatan yang kasat mata adalah aktivitas pedagang kaki lima yang semakin marak di pinggir-pingggir jalan ataupun di lokasi-lokasi yang ramai.
DIMENSI EKONOMI-POLITIK UNDERGROUND ECONOMY
Sering diungkapkan bahwa pada jaman Soeharto para anggota keluarga dan para kroninya bukan hanya mendominasi perekonomian tetapi juga mensyaratkan komisi untuk sampai pada kontrak - kontrak bisnis khususnya yang berkaitan dengan pemerintah. Besarnya ongkos tersebut bisa mencapai 30 persen dari nilai kesepakatan. Hal ini menurut pandangan Sritua Arief (1993) merupakan salah satu sumber penting dari black economy yakni hasil dari hubungan simbiotis antara pihak pengusaha dengan pihak penguasa dan birokrat dan membuahkan black income bagi para pelakunya dengan mengorbankan kepentingan nasional atau kepentingan publik. Akibatnya, Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia dan sampai sekarang pun posisinya masih belum berubah dengan akibat terjadi misalokasi sumber daya yang sama artinya dengan buruknya efisiensi ekonomi.
Tahun 2010, Corruption Perception Index (CPI) Indonesia yang dikeluarkan Transparency International berada pada peringkat 110 dari 171 negara yang disurvei, dengan  CPI sebesar 2,8 atau tidak ada perubahan dibandingkan dengan tahun 2009. Dengan kata lain, dalam Dua tahun terakhir ini Indonesia dinilai tidak mengalami perbaikan berarti dalam pemberantasan korupsi.
Adanya pasar gelap kekuasaan politik akhirnya mendorong meningkatnya underground economy. Berbagai sektor ekonomi yang “gemuk” pun banyak dijarah demi memupuk dana untuk kepentingan - kepentingan politik disinyalir sering terjadi di BPPN dan BUMN. Keadaan ini kurang lebih sejalan dengan temuan studi Johnson, Kaufman, dan Labaton dengan data 49 negara di Amerika Latin, OECD dan eks-Soviet. Studi ini menyimpulkan bahwa makin tinggi korupsi dan makin buruk penegakan hukum maka unofficial economy (dibandingkan dengan PDB) di negara-negara tersebut makin besar.
Adapun kasus-kasus penyelundupan, seperti BBM, tampak sulit untuk diberantas mungkin oleh karena begitu banyak pihak yang terlibat. Dengan potensi penghasilan yang demikian besar, rasanya pihak-pihak yang terlibat akan terus menerus berupaya untuk mengamankan jalur-jalur penyelundupannya. Aktivitas-aktivitas ekonomi ilegal ini, termasuk perjudian, prostitusi, dan perdagangan narkoba, disinyalir juga bersangkut-paut dengan pihak-pihak yang harusnya memberantasnya. Bukan rahasia lagi bila para pelaku ekonomi ilegal secara rutin harus memberikan setoran atau jasa keamanan kepada aparat-aparat terkait. Di Jakarta, oknum aparat keamanan dilaporkan bisa menikmati setoran lebih dari Rp 150 juta per malam dari setiap arena judi illegal kelas kakap
Dalam aktivitas underground economy yang ilegal, kepentingan untuk memakmurkan segelintir orang maupun kepentingan politik kelompok adalah motivasi yang tidak bisa diabaikan. Tentu terdapat pula anggota masyarakat lapis bawah yang masuk ke dalam jaringan aktivitas ilegal-kriminal tersebut. Hanya saja hal ini agaknya lebih karena tidak adanya pekerjaan formal yang dapat mereka peroleh. Karena itu, tidak aneh kalau kemudian pemberantasan perjudian, misalnya, terkesan sia-sia jika tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja. Ketika terjadi upaya pemberantasan perjudian, justru bisa muncul “perlawanan” dari para pekerja lapis bawah dari aktivitas illegal tersebut. Terlepas dari apakah aksi semacam ini ada yang menggerakkan atau tidak namun kejadian tersebut setidaknya menunjukkan bahwa ada andil dari keterbatasan lapangan kerja formal terhadap maraknya aktivitas ekonomi ilegal.
Adapun maraknya sektor informal yang umumnya tidak berbadan hukum namun tidak masuk kategori kriminal sebetulnya juga didorong oleh ketidakmemadaian lapangan kerja di sector formal. Akibat krisis, daya beli masyarakat anjlok, baik karena kehilangan pekerjaan ataupun karena harga barang-barang kebutuhan sehari-hari yang membumbung tinggi. Upaya untuk bertahan hidup kemudian membawa mereka masuk ke sektor informal, baik sebagai aktivitas utama maupun sebagai aktivitas sampingan. Sektor tersebut memiliki daya tarik oleh karena mudah dimasuki karena nyaris tidak ada entry barriers-nya dan fleksibilitasnya juga tinggi.
Berkaitan dengan itu beberapa pengamat cenderung menilai bahwa sektor informal inilah yang dalam beberapa tahun belakangan ini telah berfungsi sebagai katup pengaman atau bahkan sebagai “jaringan pengaman sosial” yang paling utama di Indonesia saat ini, bukan program-program resmi yang diluncurkan pemerintah seperti JPS. Penghasilan dari sektor informal mungkin tidak cukup besar, namun bebas dari pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Tiadanya biaya - biaya semacam ini akan berguna untuk mengimbangi kemerosotan daya beli akibat krisis ekonomi. Dengan demikian, sektor informal memang cenderung meningkat di masa krisis ekonomi. Dalam kasus Amerika Latin, studi Loayza menemukan salah satu variabel yang menentukan besarnya sektor informal adalah PDB riil perkapita.
Pada tingkat daerah, beban pungutan memang menjadi persoalan yang banyak dikemukakan berbagai pelaku usaha berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dimana pemerintah daerah berusaha memacu penerimaan daerahnya dengan menerapkan berbagai macam pajak dan pungutan. Peraturan yang makin banyak juga menekan minat untuk melakukan investasi sehingga pertambahan lapangan kerja pun menjadi terbatas. Sementara itu, korupsi pun menjalar sampai ke daerah sehingga otonomi daerah pun terkesan sebagai desentralisasi korupsi. Oleh karena korupsi seperti ini berkaitan dengan aparat pemerintah atau birokrasi maka dengan sendirinya mengindikasikan pula masih buruknya governance di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan Schneider dan Este, shadow economy cenderung kecil di negara - negara yang pemerintahannya kuat dan efisien. Disebutkan pula bahwa beberapa studi menemukan bukti empiris hubungan positif antara korupsi dan shadow economy. Makin parah tingkat korupsi suatu negara, makin besar shadow economy-nya. Secara umum, buruknya governance maupun penegakan hukum juga menyebabkan pemulihan ekonomi berjalan tersendat - sendat sehingga pada akhirnya tidak tersedia lapangan kerja yang cukup dan penghasilan yang memadai.
Dalam situasi demikian, agaknya lebih tepat untuk mengatakan bahwa masuknya anggota masyarakat di Indonesia ke dalam aktivitas underground economy lebih didasari motivasi untuk mengelak dari birokrasi yang terlalu panjang dan sogokan yang pasti tidak bisa dihindari bila berada di sektor formal. Menurut Jim Walker, motivasi ini merupakan motivasi terpenting dalam kasus underground economy di negara-negara Asia, bukan motivasi menggelapkan pajak seperti di negara-negara maju.
Dalam kasus Indonesia sendiri, satu studi yang diorganisir oleh Akatiga pernah menemukan usaha kecil di Jawa dan Bali harus membayar "uang terima kasih" dan "uang pengesahan" sedikitnya 5 persen dari pendapatan kotor tahunan dan dalam beberapa kasus mencapai 20 persen. “Uang terima kasih” dan “uang pengesahan” yang tinggi jelas memberatkan para pelaku ekonomi kecil sehingga status informal menjadi pilihan yang lebih rasional. Sebuah studi dengan data 69 negara yang dilakukan oleh Friedman, Johnson, Kaufmann dan Lobaton juga menemukan bahwa penyebab utama keberadaan sektor informal bukanlah pajak-pajak resmi melainkan justru biaya birokrasi dan korupsi.

PENUTUP
Underground economy memang juga terjadi di negara lain, tidak terkecuali negara maju dimana skalanya terus membesar. Namun demikian ada kemungkinan bahwa underground economy di Indonesia di masa krisis sekarang ini tumbuh cukup cepat dibandingkan dengan di tempat lain. Banyak hal yang berkaitan atau menjadi pemicu meningkatnya underground economy. Krisis ekonomi yang menyebabkan lapangan kerja formal berkurang dan menurunnya penghasilan riil akhirnya mendorong tenaga kerja untuk masuk ke sektor informal. Hal ini diperparah pula dengan masih buruknya governance dan penegakan hukum sebagaimana tampak dari masih parahnya korupsi ataupun bentuk-bentuk kejahatan ekonomi lainnya seperti penyelundupan.
Dalam situasi krisis sekarang ini, underground economy, khususnya yang tidak melanggar hukum, justru memainkan peranan penting dalam mengatasi ketidakmampuan sektor formal menyediakan lapangan kerja. Oleh sebab itu, keberadaan sektor ekonomi informal kiranya perlu disikapi secara lebih bijaksana, bukan dengan kebijakan parsial seperti sekedar melakukan penggusuran semata. Bagaimanapun, underground economy yang tidak melanggar hukum ini telah memberikan kontribusi besar sebagai penyerap tenaga kerja dan mengurangi resiko-resiko sosial di tengah pengangguran yang masih tinggi.
Namun, langkah penting yang harus dilakukan sebetulnya juga kembali kepada persoalan korupsi, penyelewengan dan ketidakseriusan penegakan hukum yang pada akhirnya berdampak pada tidak efisiennya perekonomian dan penyediaan lapangan kerja formal pun menjadi terbatas sehingga pada akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali aktivitas-aktivitas dalam underground economy.


Jumat, 07 Januari 2011

2010 TAHUN TANPA KEPRIBADIAN


                Tahun 2010 hampir berakhir, selayaknya kita mengevaluasi perjalanan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara. Untuk kemudian menjadikan pijakkan awal guna menghadapi tahun 2011 menjadi lebih baik lagi.  Karena dengan melihat kesalahan – kesalahan pada tahun 2010 kita dapat mengantisipasi terjadinya kesalahan tersebut untuk tahun 2011 dan melakukan peningkatan terhadap keberhasilan tahun 2010.
                Dalam tahun ini,  banyak sekali keberhasilan negara (Pemerintah) dan juga kegagalan – kegagalannya. Namun artikel ini tidak akan mengulas keberhasilan tersebut, karena sudah dipublikasikan oleh Pemerintah sebagai bahan kampanye keberhasilannya. Sebagai bagian dari pembangunan sudah selayaknya kita menyampaikan artikel dari sisi yang berlainan dari pemerintah, sebagai bentuk penyeimbang.

                Tahun Terkonsolidasikannya Gerakan Melawan Pemberantasan Korupsi
                Tahun ini ditandai dengan banyaknya kasus korupsi yang terkuak namun tanpa adanya penyelesaian terkait kasus – kasus tersebut.  Antara lain kasus Korupsi Century yang diperkirakan melibatkan pajabat teras negeri ini mulai dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, Wapres Budiono yang saat itu menjadi Gubenur Bank Indonesia. Kasus ini sangat mencoreng Pemerintahan SBY yang selama ini dianggap bersih dari korupsi dan mampu melakukan pemberantasan Korupsi. Kasus tersebut menjadikan kepopuleran Pemerintahan SBY turun dratis dari diatas 75% menjadi kurang dari 50% berdasarkan survei berbagai lembaga.
                Kasus mafia pajak, yang secara tegas diungkapkan oleh Gayus dan telah menjeratnya merupakan kasus kedua dalam ranah Korupsi. Diperkirakan sebagian besar perusahaan – perusahaan di tanah air baik yang bermodal asing maupun dalam negeri telah melakukan pemotongan terhadap pembayaran pajak. Sehingga mendapatkan keuntungan yang sangat besar, dan merugikan penerimaan pendapatan negara. Sementara tuduhan yang diarahkan kepada Gayus hanya untuk beberapa kasus dan cenderung kecil dalam hal jumlah. Mengindikasikan adanya upaya untuk meloloskan Gayus dari tuduhan mafia pajak.
                Padahal Gayus merupakan pegawai biasa dikalangan Dirjen pajak. Seharusnya dari Gayus dapat diungkapkan pelaku – pelaku yang lebih besar berdasarkan jabatannya ataupun pengusaha – pengusaha besar di negeri ini. Keluarnya Gayus dari rumah tahanan Brimob semakin menambah panjang buruknya penanganan kasus korupsi di Indonesia. Lebih parahnya tidak ada satu lembagapun yang bersedia bertanggungjawab terhadap keberadaan rumah  tahanan Brimob tersebut. Sehingga kepercayaan masyarakat semakin mengecil terhadap pemberantasan Korupsi di negeri ini.
                Diterimanya tuntutan Anggodo untuk melanjutkan tuntutan kepada kedua pimpinan KPK. Membuktikan semakin terkonsolidasikannya gerakan melawan pemberantasan korupsi. Karena selama ini, hanya KPK sebagai lembaga negara yang cenderung sukses dan serius dalam menangani kasus korupsi dinegeri ini. Dikebirinya KPK, merupakan bentuk perlawanan dari berbagai pihak (termasuk kepolisian dan kejaksaan) untuk melakukan perlawanan terhadap gerakan melawan korupsi. Kepolisian dan Kejaksanaan seharusnya bekerjasama dengan KPK untuk melakukan pemberantasan Korupsi bukan untuk menjegal KPK.
                Sehingga sangat pantas jika Transparansi Internasional memberikan penilaian kepada Indonesia dengan indeks 2,8 untuk pemberantasan korupsi di tanah air. Dan menjadikan Indonesia berada di no urut 110 dari 170 negara yang dinilai. Naik satu peringkat dibandingkan tahun 2009, namun secara nilai tetap 2,8. Artinya antara tahun 2009 sampai 2010 tidak ada peningkatan dalam pemberantasan korupsi di negeri zamrud kwatulistiwa ini.

               
                Sosial Politik : Penurunan Kepercayaan rakyat terhadap Pemerintah
                Kepercayan publik terhadap Pemerintahan SBY  jilid dua ini semakin mengecil saat pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda kampanyenya berjalan ditempat, bahkan rezim yang berkuasa diduga ikut melakukan korupsi dalam kasus bank century. Tentunya ini menjadikan kinerja Pemerintah sangat terganggu karena SBY kita kenal sebagai Presiden yang mengutamakan pencitraan.
                Kondisi sosial masyarakat semakin hari semakin pragmatis saat Demokrasi  dilakukan secara langsung baik dalam pemilihan kepala daerah maupun dalam pemilu legisatif. Karena tidak adanya perubahan yang dirasakan oleh masyarakat saat sistempun berubah. Tidak ada pengaruhnya atau hubungan antara demokrasi langsung dengan tingkat kesejahteraan dan keadilan kepada masyarakat. Menjadikan masyarakat semakin pragmatis, apatis. Dan dalam setiap Pemilihan hanya dianggap sebagai bagian transaksi politik semata.
                Ini karena dalam ranah sosial politik tidak pernah dilakukan pendidikan politik dan juga pembangunan karakter bangsa. Pendidikkan ini sangat penting untuk menjadikan rakyat Indonesia tidak sekedar menjadi komoditas politik saat Pemilu dan pengambilan kebijakan. Dan rakyat mampu turut aktif dalam setiap pengambilan kebijakan dan proses implementasinya. Pendidikan karakter bangsa akan menjadi pemacu peningkatannya rasa kebangsaan Indonesia. Yang dapat menjadikan masyarakat sadar akan rasa memilikinya terhadap bangsa. Dan terutama bahwa pembangunan ini hanya untuk anak cucunya kelak. Sehingga semangat untuk membangun secara baik dan tanpa korupsi akan menjadi hasil pembangunan bangsa ini lebih awet.
                Budaya untuk melakukan korupsi kini telah menyebar kesemua elemen masyarakat. Sampai pada tingkat desa dengan adanya dana ADD. Hal ini terjadi karena tidak adanya transparansi anggaran dari Pemerintah. Dan tidak dilakukannya pendidikan pengelolaan anggaran bagi kalangan di basis atau desa/kelurahan. Sehingga terjadi mal administrasi.
                Korupsi dikalangan bawah ini, merupakan bentuk balas dendam dari perilaku elit di negeri ini, Mereka berpikir daripada tidak kebagian lebih baik ikut korupsi saja. Namun kita harus sadar bahwa Korupsilah yang telah meruntuhkan tahta VOC di Indonesia yang telah melakukan monopoli di  nusantara selama 300 tahun.

                Ekonomi: Semakin Liberal semakin menyengsarakan akyat
                Dalam ranah ekonomi, Pemerintah semakin hari semakin terlihat sebagai antek neo liberalis, bahkan lebih daripada itu hiperliberalis. Ini terbukti dengan berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah selama ini. Dimana dalam garis besarnya Pemerintah telah melakukan Konsepsi Washington antara lain: Peningkatan subjek dan objek pajak, Pengurangan Subsidi, Privatisasai  BUMN dan menyerahkan perekonomian/ pergadangan kepada mekanisme pasar. Bukan menggunakan pancasila sebagai dasar pembangunan.
                Keempat hal tersebut telah menjadikan rakyat semakin menderita. Memang harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi semester kedua tahun 2010 ini tinggi. Namun tingginya pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berakibat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Juga tidak sebanding dengan pembukaan lapangan pekerjaan.
                Peningkatan objek dan subjek pajak merupakan bentuk penekanan kepada rakyat. Apalagi tidak diimbangi dengan pengelolaan pajak dengan baik untuk sebesar – besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Sementara subjek dan objek pajak yang besar justru dibiarkan dan dikecilkan sehingga terkuak mafia pajak di negeri ini.
                Privatisasi BUMN merupakan bentuk negara sudah tidak mengurusi permasalahan kesejahteraan rakyatnya. Dan hanya menjadi regulator semata. Atau bahkan menjadi negara penjaga malam yang hanya menjaga ketertiban dan keamanan warga negara semata. Sehingga ini mengkhianati amanat UUD’45 pasal 33.  Privatisasi telah menghasilkan banyak mudaratnya bagi pendapatan negara. Karena negara hanya mendapatkan penghasilan dari pajak perusahaan – perusahan bukan keuntungannya. Dengan alasan perusahaan tersebut sedang pailit maka dilakukan privatisasi bukan melakukan pembenahan manajemen.
                Negara dimanapun selalu melakukan subsidi bagi kebutuhan dasar masyarakatnya. Sehingga ada jaminan terhadap kesejahteraan masyarakatnya. China melakukan subsidi seratus persen dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Ini lain dengan Indonesia yang cenderung mengurangi subsidi termasuk dalam bidang energi (BBM) yang sebenarnya kita merupakan negara penghasil. Meskipun kenyataannya Indonesia saat ini telah mekakukan impor BBM dari Blok Cepu di Bojonegoro, karena  sudah menjadi milik Exxon mobil. Pengurangan subsidi merupakan bentuk pengkhianatan negara terhadap hak – hak warga negara. Karena negara sebagai organisasi harus turut serta dalam kesejahteraan masyarakat.  
                Menyerahkan perdagangan pada mekanisme pasar, sama dengan menjadikan arena tinju dalam satu ring. Tanpa ada pembedaan kelas, sehingga sudah dapat ditebak siapa pemenangnya, yakni mereka yang memiliki modal besar. Dengan membuka ruang yang seluas – luasnya tanpa adanya pembedaan antara modal dalam negeri dan luar negeri, berarti telah mereduksi keberadaan negara itu sendiri. Seharusnya negara melakukan protektionis kepada usaha – usaha dalam negeri terutama usaha riil dan bermodal kecil. Yang telah terbukti mampu bertahan disaat krisis 98 dan telah menjalankan roda perekonomian negara ini.
               
                Budaya: Tidak mengenal Jati Dirinya Sendiri
                Sementara dalam bidang budaya bangsa ini semakin tidak pede dengan kebudayaan sendiri. Semakin tidak mempunyai kepercayaan kepada kekuatan diri sendiri, kemampuan diri sendiri. Dan cederung lebih percaya dan mengandalkan kepada orang asing. Tidak mempunyai konsep dan menjalankan konsep sendiri. Ini terbukti dengan pendapat para ahli  Indonesia yang cenderung tidak diterima oleh pemerintah dan kalangan bawah. Namun kebanyakan pendapat orang asing walaupun sama dengan pendapat orang dalam negeri akan dapat diterima dan dijalankan. Padahal pendapat ahli dalam negeri yang mengalami langsung keadaan ekonomi politik, sosial budaya masyarakat Indonesia tentunya lebih baik dibandingkan dengan hasil analisa ahli asing yang hanya mengamati.
                Kasus terakhir yang percaya kepada kekuatan asing ialah adanya naturalisasi pemain sepak bola dalam tim nasional sepak bola negara kita. Dan uniknya mereka yang  dinaturalisaaikan menjadi pujaan hati dikalangan rakyat Indonesia. Dibuktikan dengan penjualan kaos dengan no punggung 9 dan 17 yang laris dipasaran. Kita lebih percaya kepada pembinaan asing daripada membuat pembinaan sendiri dan dilakukan dengan terus – menerus.  Budaya pragmatis ini ternyata telah merasuk dalam tiap diri bangsa Indonesia. Kita sudah tidak mau lagi bersusah payah melakukan pembinaan sendiri dan cenderung mengambil dari pembinaan orang lain. Mungkin dapat dijadikan “vitamin”, namun kalau hal ini diteruskan, maka akan terjadi degradasi kepemimpinan nasional.

                SOLUSI YANG DIAMBIL
Melihat kenyataan Indonesia yang semakin hari semakin mengerikan. Baik dari segi ekonomi, politik maupun budaya. Dalam bidang ekonomi, bangsa ini sangat tergantung kepada investasi asing sebagai penopang utama pembangunan. Dan arah pembangunanpun dilakukan untuk keuntungan sebesar – besarnya bagi kaum pemodal, bukan untuk rakyat kecil yang seharusnya dilindungi.
Ditambah dijalankannya Konsepsi Washington yang terdiri dari empat elemen yakni; Pengurangan Subsidi, Privatisasi BUMN, Perluasan objek dan Subjek pajak, dan menyerahkan perdagangan kepada mekanisme pasar bebas. Telah mereduksi peran negara sebagai negara kesejahteraan. Dimana negara Indonesia juga bertanggungjawab soal ekonomi, sosial politik, dan budaya masyarakat Indonesia. Bukan semata menjaga keamanan dan menyerahkan semuanya pada swasta sebagaimana negara penjaga malam.
Membangun Roh, Kepercayaan, Gest
Tidak ada suatu bangsapun yang dapat keluar dari penjajahan meskipun seluruh dunia membantunya untuk keluar dari penjajahan. Jika jiwa, roh dari bangsa itu tidak bangkit dan menginginkan kemerdekaan. Jika Roh, Jiwa bangsa tersebut tetaplah jiwa yang terjajah. Maka tidak ada yang lain kita harus membangunkan roh, semangat, kepercayaan dari segenap elemen bangsa Indonesia bahwa negara yang saat ini sedang krisis ini mampu keluar dari krisis dan menjadi bangsa yang besar.
Pembangunan kepercayaan ini merupakan tanggungjawab dari seluruh elemen masyarakat tidak peduli tua muda, laki – laki – perempuan, atau dari dasar idiologi manapun. Tiap – tiap masyarakat Indonesia harus sadar dan terus mengkampanyekan, menghidupkan semangat sebagai orang yang merdeka, berdaulat, mandiri. Sehingga perbuatan kita dapat diarahkan untuk menjadi besar demi bangsa dan negara. Tidak menjadi budak dinegeri sendiri seperti saat ini.
Pelajaran dari Jepang
Pada saat Jepang menyerah  dalam perang Asia  Fasifik pada tanggal 14 Agustus 1945. Semua media sampai saat ini selalu menyatakan bahwa Jepang saat itu menyerah tanpa syarat. Padahal banyak isi perjanjian yang dirahasiakan, seperti Jepang tidak boleh membuat senjata nuklir, namun Amerika akan selalu menjadi mitra pertahanan keamanan Jepang. Selain itu, Jepang berhak mengirim pelajar dan mengimpor guru untuk membangun Jepang paska perang Asia Fasifik. Kemudian Jepang melarang semua negara pemenang perang untuk ikut dalam kebudayaan Jepang.
Jepang sangat perhatian terhadap dunia pendidikan dan kebudayaan bangsanya. Dengan terus menggenjot siswa untuk belajar keluar negeri dan mengirim guru – guru dari luar nnegeri. Tahun 1970, Jepang kembali lagi menyerang Asia dengan produksi Industrinya. Perang perdagangan dengan negara – negara  Amerika dan Eropapun terjadi, yang dalam gerakan mahasiswa terjadi Peristiwa Malari (malam kelabu 15 januari 1974).
Namun kemajuan Jepang tersebut sama sekali tidak diikuti oleh perubahan kebudayaan Jepang.  Jepang tetap mempertahankan kebudayaannya, cara hidupnya, ideologi negaranya. Inilah pelajaran singkat dari negeri Matahari terbit,  yang tetap membangun negaranya dengan tehnologi paling mutakhir tanpa meninggalkan Ideologinya.
Pembangunan yang demikian juga dilakukan oleh negara terbesar pertama dan kedua didunia ini dalam hal jumlah penduduk. Yakni China dan India, keduanya mampu menjadi negara kuat dalam ekonomi, politik sehingga sangat diperhitungkan oleh dunia Internasional. China merupakan negara yang sangat ditakuti oleh kekuatan mapan dunia (G8), dalam perebutan kekuasaan perekonomian dunia.
Sementara India, saat ini sedang didukung oleh Amerika dan Rusia untuk menjadi anggota Dewan Keamanan Tetap PBB yang artinya India akan mendapat hak Veto. Saat ini hak Veto PBB dimiliki oleh AS, Inggris, Prancis, China dan Rusia. Sehingga India akan masuk dalam peta kekuatan yang perlu diwaspadai dunia.

               
Membangun bangsa dengan Ideologi (Pancasila)
                Membangun sebuah negara haruslah diletakkan dalam sebuah landasan yang lahir dari bumi negara tersebut. Karena sebuah ideologi yang terlahir dari bumi negara tersebut  tentunya akan sesuai dengan kondisi sosial politik, ekonomi dan budaya negara tersebut. Tanpa itu semua maka negara tersebut tidak akan pernah maju karena pasti akan mengalami anomali (tidak mengenal dirinya sendiri).
                Pada prinsipnya semua ideologi didunia ini baik dan berusaha mengatur masyarakatnya untuk menuju kepada struktur masyarakat yang adil dan makmur. Namun dari masing – masing ideologi mempunyai jalan sendiri – sendiri untuk mencapai tujuan tersebut. Dan juga Ideologi pasti dilahirkan oleh keadaan masyarakatnya. Sehingga sangat pantas jika kita sebagai bangsa Indonesia harus memakai pancasila sebagai dasar pembangunan. Karena Pancasila merupakan kristalisasi dari nilai – nilai yang hidup dalam bangsa Indonesia selama bertahun – tahun.
                Bangsa ini harus sadar bahwa sejak kemerdekaannya belum pernah menjadikan Pancasila sebagai landasan bernegara yang sesuai dengan isi sila – silanya. Sehingga jika ada yang mengatakan bahwa pancasila telah gagal dalam membawa Indonesia kedalam masyarakat adil dan makmur merupakan kesalahan yang besar.
                Melakukan revitalisasi pancasila merupakan pilihan yang mutlak dan harus dilakukan dengan segera. Karena dengan begitu bangsa Indonesia akan kembali membangun negara ini dengan sebuah dasar yang sesuai dengan nurani bangsa ini. Sebagaimana Jepang membangun negaranya, China dan India yang juga sama dan kini terbukti secara politik dan ekonomi ketiga negara inilah yang menjadi kutub selain Eropa Barat dan Amerika.
                Merevitaslisasi pancasila bukan sekedar retorika disaat kampanye pemilihan sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan pendukung. Namun harus dilakukan dengan keiklasan  dan kesadaran dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Bahwa pancasila merupakan satu – satunya landasasn/ideologi yang cocok dengan Indonesia. Jika bangsa ini mau menjadi besar.
                Sebagai ideologi yang sudah disepakati oleh pendiri bangsa dan hidup di Indonesia selama bertahun – tahun. Bukan hanya sebagai dasar dalam bernegara, namun juga sebagai cita – cita didirikannya negara ini. Sehingga pancasila juga sebagai pantai tujuan didirikannya organisasi yang bernama negara Indonesia ini. Semua pembangunan negara ini harus diarahkan kepada tujuan tersebut yakni masyarakat adil dan makmur. Yang perlu diingat ialah adil dulu baru makmur.
                Sehingga tidak tercipta jurang antara sikaya dengan simiskin yang begitu dalam sebagaimana Indonesia sekarang ini. Pola pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi tentunya akan menyebabkan perbedaan tersebut, karena tidak memikirkan bagaimana pemerataannya. Kini saatnya Indonesia merubah pola pembangunannya.
Pola pembangunan yang diamatkan oleh pendiri bangsa sebagai negara kesejahteraan. Dimana negara turut serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga dipertegas oleh konstitusi negara Indonesia pasal 33. Dimana negara turut dalam permasalahan ekonomi rakyatnya guna kesejahteraan umum.
Bentuk negara kesejahteraan juga diungkapkan secara jelas oleh UUD ‘ 45, dimana orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dengan perlindungan terhadap ekonomi lemah tersebut. Maka akan tercipta suatu masyarakat yang adil dan kemiskinan segera hilang dari negeri ini.
Namun itu semua harus juga diimbangi oleh penegakkan supremasi keadilan/hukum secara tegas oleh aparat negara ini. Karena tanpa adanya penghargaan dan hukuman yang tegas dan mempunyai efek jera terhadap pelanggaran, tetapi akan menjadikan penjahat – penjahat negara ini melakukan pelanggaran yang dapat merugikan bahkan merobohkan negara ini, hingga dapat menjadikan Indonesia hilang dari peta dunia (runtuh).


Tim Redaksi