Sabtu, 29 Januari 2011

UNDERGROUND EKONOMI


MADU ATAU RACUN PEREKONOMIAN INDONESIA

Beberapa studi menunjukkan pula bahwa pada masa transisi dan krisis ekonomi, underground economy di suatu wilayah atau negara cenderung akan meningkat. Underground economy sendiri terjadi juga di negara lain, tidak terkecuali negara maju dimana skalanya kian membesar. Dimasa krisis sekarang ini underground economy di Indonesia tampak tumbuh cukup cepat. Krisis ekonomi yang menyebabkan lapangan kerja formal berkurang dan menurunnya penghasilan riil akhirnya mendorong tenaga kerja untuk masuk ke aktivitas-aktivitas underground economy. Hal ini diperparah pula dengan masih buruknya governance dan penegakan hukum sebagaimana tampak dari masih parahnya korupsi ataupun bentuk-bentuk kejahatan ekonomi lainnya seperti penyelundupan.
Pada awal tahun 1990-an, Sritua Arief telah mengangkat soal black economy di Indonesia. Yang dimaksudkan dengan black economy di sini adalah bagian dari ekonomi di bawah tanah (underground economy) yang mengandung kegiatan-kegiatan ekonomi formal namun melanggar undang – undang dan peraturan yang berlaku (ilegal) dan kegiatan-kegiatan ekonomi informal yang disebabkan oleh berbagai hal tidak tercatat atau tidak sepenuhnya tercatat dalam perhitungan pendapatan nasional. Underground economy ini sering juga disebut sebagai shadow economy, ekonomi informal, parallel economy, atau juga hidden economy.
Oleh karena ada aktivitas yang illegal maka dikenal juga adanya black economy. Hal ini sejalan juga dengan definisi yang digunakan Schneider dan Enste yaitu bahwa shadow economy mencakup bukan hanya aktivitas-aktivitas yang legal tetapi juga pendapatan - pendapatan yang tidak tercatat yang berasal dari produksi barang dan jasa, entah transaksinya menggunakan alat pembayaran (uang) ataupun hanya dengan cara barter. Dengan kata lain underground economy sebetulnya mencakup semua aktivitas ekonomi yang dapat dikenakan pajak bila aktivitas - aktivitas tersebut tercatat di otoritas pajak. Oleh sebab itu diyakini bahwa semakin besar underground economy maka makin besar potensi pajak yang hilang.
Konteks sosial-ekonomi ketika Sritua Arief mengangkat masalah black economy tampak tidak lepas dari kenyataan adanya dampak buruknya baik terhadap perekonomian, seperti menjadi rawannya posisi keuangan internasional Indonesia maupun berkaitan dengan pemerataan dan keadilan sosial mengingat black economy juga memunculkan konsentrasi kekuasaan ekonomi hanya pada segelintir orang.
Kini ketika Indonesia mengalami krisis berkepanjangan sejak 1997, persoalan underground economy kembali menarik perhatian. Beberapa studi menunjukkan pula bahwa pada masa transisi dan krisis ekonomi, underground economy di suatu wilayah atau negara cenderung akan meningkat.
Bila mencermati laporan-laporan media massa, keberadaan underground economy tersebut kiranya sangat jelas. Penyelundupan misalnya masih terus terjadi mulai dari bahan bakar sampai satwa langka. Komoditas - komoditas ini dikirim ke luar negeri namun tidak tercatat dalam statistik resmi kegiatan ekspor. Tentu saja aktivitas-aktivitas ini merugikan negara karena ada potensi pajak yang hilang. Adapun impor illegal banyak terjadi pada produk-produk elektronika yang diperkirakan mencapai 2 milyar dollar AS atau setara dengan Rp 16 trilyun dimana sekitar Rp 1 trilyunnya adalah produk handphone.
Adapun untuk sektor informal sering dipahami sebagai aktivitas ekonomi yang beroperasi di luar kerangka institusi dan peraturan resmi, namun tidak melakukan praktik kriminal sehingga keberadaannya masih ditoleransi oleh kantor pemerintah. Niels-Hugo, Canagarajah dan Raju (2001) menggunakan istilah alegal untuk aktivitas-aktivitas ekonomi tersebut. Oleh karena itu, tentu aktivitasnya di sini tidaklah sama dengan aktivitas ilegal seperti penyelundupan. Dalam tahun-tahun belakangan ini, persentase pekerja sektor informal mengalami peningkatan yang merefleksikan berkurangnya kemampuan sektor formal dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 1996 pekerja sektor informal adalah 62,1 persen sedangkan tahun 2000 menjadi 64,9 persen. Indikasi pesatnya perkembangan sektor informal ini tidaklah sulit untuk ditemukan di wilayah kota-kota besar. Salah satu kegiatan yang kasat mata adalah aktivitas pedagang kaki lima yang semakin marak di pinggir-pingggir jalan ataupun di lokasi-lokasi yang ramai.
DIMENSI EKONOMI-POLITIK UNDERGROUND ECONOMY
Sering diungkapkan bahwa pada jaman Soeharto para anggota keluarga dan para kroninya bukan hanya mendominasi perekonomian tetapi juga mensyaratkan komisi untuk sampai pada kontrak - kontrak bisnis khususnya yang berkaitan dengan pemerintah. Besarnya ongkos tersebut bisa mencapai 30 persen dari nilai kesepakatan. Hal ini menurut pandangan Sritua Arief (1993) merupakan salah satu sumber penting dari black economy yakni hasil dari hubungan simbiotis antara pihak pengusaha dengan pihak penguasa dan birokrat dan membuahkan black income bagi para pelakunya dengan mengorbankan kepentingan nasional atau kepentingan publik. Akibatnya, Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia dan sampai sekarang pun posisinya masih belum berubah dengan akibat terjadi misalokasi sumber daya yang sama artinya dengan buruknya efisiensi ekonomi.
Tahun 2010, Corruption Perception Index (CPI) Indonesia yang dikeluarkan Transparency International berada pada peringkat 110 dari 171 negara yang disurvei, dengan  CPI sebesar 2,8 atau tidak ada perubahan dibandingkan dengan tahun 2009. Dengan kata lain, dalam Dua tahun terakhir ini Indonesia dinilai tidak mengalami perbaikan berarti dalam pemberantasan korupsi.
Adanya pasar gelap kekuasaan politik akhirnya mendorong meningkatnya underground economy. Berbagai sektor ekonomi yang “gemuk” pun banyak dijarah demi memupuk dana untuk kepentingan - kepentingan politik disinyalir sering terjadi di BPPN dan BUMN. Keadaan ini kurang lebih sejalan dengan temuan studi Johnson, Kaufman, dan Labaton dengan data 49 negara di Amerika Latin, OECD dan eks-Soviet. Studi ini menyimpulkan bahwa makin tinggi korupsi dan makin buruk penegakan hukum maka unofficial economy (dibandingkan dengan PDB) di negara-negara tersebut makin besar.
Adapun kasus-kasus penyelundupan, seperti BBM, tampak sulit untuk diberantas mungkin oleh karena begitu banyak pihak yang terlibat. Dengan potensi penghasilan yang demikian besar, rasanya pihak-pihak yang terlibat akan terus menerus berupaya untuk mengamankan jalur-jalur penyelundupannya. Aktivitas-aktivitas ekonomi ilegal ini, termasuk perjudian, prostitusi, dan perdagangan narkoba, disinyalir juga bersangkut-paut dengan pihak-pihak yang harusnya memberantasnya. Bukan rahasia lagi bila para pelaku ekonomi ilegal secara rutin harus memberikan setoran atau jasa keamanan kepada aparat-aparat terkait. Di Jakarta, oknum aparat keamanan dilaporkan bisa menikmati setoran lebih dari Rp 150 juta per malam dari setiap arena judi illegal kelas kakap
Dalam aktivitas underground economy yang ilegal, kepentingan untuk memakmurkan segelintir orang maupun kepentingan politik kelompok adalah motivasi yang tidak bisa diabaikan. Tentu terdapat pula anggota masyarakat lapis bawah yang masuk ke dalam jaringan aktivitas ilegal-kriminal tersebut. Hanya saja hal ini agaknya lebih karena tidak adanya pekerjaan formal yang dapat mereka peroleh. Karena itu, tidak aneh kalau kemudian pemberantasan perjudian, misalnya, terkesan sia-sia jika tidak diimbangi dengan penciptaan lapangan kerja. Ketika terjadi upaya pemberantasan perjudian, justru bisa muncul “perlawanan” dari para pekerja lapis bawah dari aktivitas illegal tersebut. Terlepas dari apakah aksi semacam ini ada yang menggerakkan atau tidak namun kejadian tersebut setidaknya menunjukkan bahwa ada andil dari keterbatasan lapangan kerja formal terhadap maraknya aktivitas ekonomi ilegal.
Adapun maraknya sektor informal yang umumnya tidak berbadan hukum namun tidak masuk kategori kriminal sebetulnya juga didorong oleh ketidakmemadaian lapangan kerja di sector formal. Akibat krisis, daya beli masyarakat anjlok, baik karena kehilangan pekerjaan ataupun karena harga barang-barang kebutuhan sehari-hari yang membumbung tinggi. Upaya untuk bertahan hidup kemudian membawa mereka masuk ke sektor informal, baik sebagai aktivitas utama maupun sebagai aktivitas sampingan. Sektor tersebut memiliki daya tarik oleh karena mudah dimasuki karena nyaris tidak ada entry barriers-nya dan fleksibilitasnya juga tinggi.
Berkaitan dengan itu beberapa pengamat cenderung menilai bahwa sektor informal inilah yang dalam beberapa tahun belakangan ini telah berfungsi sebagai katup pengaman atau bahkan sebagai “jaringan pengaman sosial” yang paling utama di Indonesia saat ini, bukan program-program resmi yang diluncurkan pemerintah seperti JPS. Penghasilan dari sektor informal mungkin tidak cukup besar, namun bebas dari pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Tiadanya biaya - biaya semacam ini akan berguna untuk mengimbangi kemerosotan daya beli akibat krisis ekonomi. Dengan demikian, sektor informal memang cenderung meningkat di masa krisis ekonomi. Dalam kasus Amerika Latin, studi Loayza menemukan salah satu variabel yang menentukan besarnya sektor informal adalah PDB riil perkapita.
Pada tingkat daerah, beban pungutan memang menjadi persoalan yang banyak dikemukakan berbagai pelaku usaha berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi dimana pemerintah daerah berusaha memacu penerimaan daerahnya dengan menerapkan berbagai macam pajak dan pungutan. Peraturan yang makin banyak juga menekan minat untuk melakukan investasi sehingga pertambahan lapangan kerja pun menjadi terbatas. Sementara itu, korupsi pun menjalar sampai ke daerah sehingga otonomi daerah pun terkesan sebagai desentralisasi korupsi. Oleh karena korupsi seperti ini berkaitan dengan aparat pemerintah atau birokrasi maka dengan sendirinya mengindikasikan pula masih buruknya governance di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan Schneider dan Este, shadow economy cenderung kecil di negara - negara yang pemerintahannya kuat dan efisien. Disebutkan pula bahwa beberapa studi menemukan bukti empiris hubungan positif antara korupsi dan shadow economy. Makin parah tingkat korupsi suatu negara, makin besar shadow economy-nya. Secara umum, buruknya governance maupun penegakan hukum juga menyebabkan pemulihan ekonomi berjalan tersendat - sendat sehingga pada akhirnya tidak tersedia lapangan kerja yang cukup dan penghasilan yang memadai.
Dalam situasi demikian, agaknya lebih tepat untuk mengatakan bahwa masuknya anggota masyarakat di Indonesia ke dalam aktivitas underground economy lebih didasari motivasi untuk mengelak dari birokrasi yang terlalu panjang dan sogokan yang pasti tidak bisa dihindari bila berada di sektor formal. Menurut Jim Walker, motivasi ini merupakan motivasi terpenting dalam kasus underground economy di negara-negara Asia, bukan motivasi menggelapkan pajak seperti di negara-negara maju.
Dalam kasus Indonesia sendiri, satu studi yang diorganisir oleh Akatiga pernah menemukan usaha kecil di Jawa dan Bali harus membayar "uang terima kasih" dan "uang pengesahan" sedikitnya 5 persen dari pendapatan kotor tahunan dan dalam beberapa kasus mencapai 20 persen. “Uang terima kasih” dan “uang pengesahan” yang tinggi jelas memberatkan para pelaku ekonomi kecil sehingga status informal menjadi pilihan yang lebih rasional. Sebuah studi dengan data 69 negara yang dilakukan oleh Friedman, Johnson, Kaufmann dan Lobaton juga menemukan bahwa penyebab utama keberadaan sektor informal bukanlah pajak-pajak resmi melainkan justru biaya birokrasi dan korupsi.

PENUTUP
Underground economy memang juga terjadi di negara lain, tidak terkecuali negara maju dimana skalanya terus membesar. Namun demikian ada kemungkinan bahwa underground economy di Indonesia di masa krisis sekarang ini tumbuh cukup cepat dibandingkan dengan di tempat lain. Banyak hal yang berkaitan atau menjadi pemicu meningkatnya underground economy. Krisis ekonomi yang menyebabkan lapangan kerja formal berkurang dan menurunnya penghasilan riil akhirnya mendorong tenaga kerja untuk masuk ke sektor informal. Hal ini diperparah pula dengan masih buruknya governance dan penegakan hukum sebagaimana tampak dari masih parahnya korupsi ataupun bentuk-bentuk kejahatan ekonomi lainnya seperti penyelundupan.
Dalam situasi krisis sekarang ini, underground economy, khususnya yang tidak melanggar hukum, justru memainkan peranan penting dalam mengatasi ketidakmampuan sektor formal menyediakan lapangan kerja. Oleh sebab itu, keberadaan sektor ekonomi informal kiranya perlu disikapi secara lebih bijaksana, bukan dengan kebijakan parsial seperti sekedar melakukan penggusuran semata. Bagaimanapun, underground economy yang tidak melanggar hukum ini telah memberikan kontribusi besar sebagai penyerap tenaga kerja dan mengurangi resiko-resiko sosial di tengah pengangguran yang masih tinggi.
Namun, langkah penting yang harus dilakukan sebetulnya juga kembali kepada persoalan korupsi, penyelewengan dan ketidakseriusan penegakan hukum yang pada akhirnya berdampak pada tidak efisiennya perekonomian dan penyediaan lapangan kerja formal pun menjadi terbatas sehingga pada akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali aktivitas-aktivitas dalam underground economy.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar