Jumat, 16 September 2011

ORGANISASI PETANI: Bukan Hanya GAPOKTAN


Oleh: 
Jaka Wandira

Dalam rangka peringatan hari tani Indonesia yang jatuh pada tanggal 24 September  ini, patut kita menyikapi tentang kebijakan Pemerintah terkait dunia pertanian, terutama mengenai organisasi petani. Dimana Pemerintah seolah – olah hanya mengakui Organisasi Petani yang tergabung dalam Gabungan Kelompok tani (Gapoktan), sementara organisasi petani selain itu, tidak sah, atau tidak bisa mendapatkan bantuan.
Padahal diluar GAPOKTAN yang dibuat oleh pemerintah maupun oleh kaum tani dengan didorong oleh pemerintah tersebut, masih banyak sekali organisasi petani, yang justru pendiriannya karena kesadaran petani untuk berorganisasi. Kesadaran akan menyatukan kekuatan petani yang kecil – kecil untuk kemudian menyusun kekuatan guna memperbaiki kehidupan kaum tani terutama yang tergabung dalam organisasi tersebut.
Kesadaran akan hak – hak kaum tani inilah yang seharusnya ditumbuhkan oleh Pemerintah sehingga petani dengan sendirinya akan membuat organisasi yang sesuai dengan kebutuhan ditingkat basis, bukan menyamakan atau menyeragamkan organisasi petani. Penyeragaman organisasi petani merupakan pengulangan rezim otoriter Orde Baru yang menyatukan Organisasi petani dalam Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Penyeragaman organisasi petani, justru akan menjadikan petani kehilangan kedaulatan atas nasibnya sendiri. Ini terbukti pada masa Orde Baru, di mana HKTI tidak lebih sebagai kepanjangtanganan rezim penguasa, agar petani tidak bersikap kritis atas kebijakan pemerintah yang menyangkut nasib kaum petani.
Nasib petani yang tidak pernah berubah sejak nusantara masih bersistem Kerajaan hingga kemerdekaan republik yang sudah 2/3 abad. Merupakan akibat tiadanya kedaulatan pada organisasi petani maupun petani atas nasibnya sendiri. Karena selama ini, Organisasi petani yang mendapatkan perhatian dan bisa memberikan masukan kepada pembuat kebijakan hanya organisasi tani bentukan pemerintah, yang sebenarnya sudah terkooptasi oleh kepentingan penguasa.
Sementara, organisasi petani nasional seperti Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Persatuan Tani Nelayan Mandiri (PETANI MANDIRI), ataupun Organisasi Tani Lokal seperti Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Kebumen (SPK), Paguyuban petani Tri sakti (Kediri), Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) jarang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pemerintah selalu menyarankan kepada organisasi – organisasi ini untuk bergabung atau membentuk Kolompok tani (POKTAN) dan bergabung dengan GAPOKTAN di masing – masing desa agar mendapatkan bantuan, baik modal maupun pelatihan. Jika tidak bergabung dengan cara tersebut, organisasi tani ini akan kesulitan untuk mendapatkan pembinaan dari pemerintah.
Padahal, hak untuk berkumpul, berserikat, mengeluarkan pendapat merupakan Hak Azasi Manusia yang sudah tercantum dalam UUD’45 sejak sebelum diamandemen. Artinya, petani juga mempunyai hak untuk mendirikan organisasi tani selain yang dibentuk oleh pemerintah (GAPOKTAN) dan tetap mendapatkan bantuan. Mengingat kewajiban pemerintah untuk berdiri di atas semua golongan dalam upaya menuju keadilan dan kesejahteraan bersama.
Pemerintah tidak perlu menyeragamkan organisasi petani, namun lebih memfasilitasi organisasi petani agar mampu berdaulat. Berdaulat atas tanaman yang ditanam, menyediakan sarana produksi pertanian sendiri . Berdaulat tatkala organisasi petani bertemu dengan pihak lain (pengusaha, tengkulak, pedagang, maupun dengan pemerintah sendiri). Dengan Kedaulatan organisasi petani dan petani maka akan dapat dicapai keadilan dan kesejahteraan kaum tani.
Pemerintah tidak perlu takut akan besarnya organisasi petani. Karena hal itu, justru akan membantu dalam proses menuju kesejahteraan petani. Kebesaran organisasi petani pernah terjadi saat Orde Lama di mana petani tergabung dalam Barisan tani Indonesia (BTI), Kerukunan Tani Indonesia (KTI), Petani Nasional Indonesia (PETANI), Persatuan Petani NU (PERTANU).

Senin, 05 September 2011

SEJARAH MANUSIA MENGENAL TUHAN


Kuliah Pancasila oleh Bung Karno
Sila Pertama bagian ketiga




Sejarah manusia entah yang benar manusia itu berawal dari kera sebagaimana teori Darwin ataukah seperti yang ada dalam kewahyuan yang berawal dari Adam dan Hawa. Namun dalam sejarah, manusia mengalami beberapa tahapan perkembangan sosiologis kehidupannya. Dimana pada masa awalnya manusia mengalami yang dinamakan sebagai jaman berburu dan meramu. Bukan dengan perlengkapan yang seperti sekarang, namun menggunakan kayu dan batu sebagai alat bantunya. Cara mempertahankan hidup ini penting sekali dipelajari karena menyangkut pola pikirnya, dan gambaran terhadap ketuhanan. Dalam masa berburu dan meramu ini, manusia hidup dalam gua – gua, pohon – pohon besar.
Evolusi, perubahan itu datangnya pelan – pelan, datanglah tingkat yang kedua. Zaman berternak, manusia yang tadinya hanya berburu dan meramu, mencari ikan. Kemudian memunculkan ide untuk memelihara hasil tangkapan yang masih hidup. Lambat laun berternak digunakan sebagai bagian sumber kehidupannya. Dan menjadi suber yang pokok saat berburu tidak mendapatkan kepastian hasil.
Zaman ketiga, zaman pertanian. Dari makanan yang diberikan kepada ternak, dimana biji – bijiannya ternyata dapat hidup, tumbuh. Sehingga munculah pemikiran untuk melakukan budidaya dalam bidang pertanian. Dimana didekat tempat ternak tersebut terdapat jagung yang berasal dari biji jagung. Kemudia pagi tumbuh liar di rawa – rawa sehingga ttimbul pemikiran untuk melakukan pertanian. Sebelumnya manusia jika membutuhkan buah – buahan selalu mengambil dari hutan.
Kemudian manusia mengalami zaman manufaktur atau zaman kerajinan. zaman untuk membuat alat – alat, membuat gerobak, membuat cangkul, membuat pedang dan lain – lain. Ada sekelompok orang yang pekerjaannya hanya membuat alat untuk kemudian ditukar dengan hasil pertanian dan peternakan guna mempertanahankan kehidupannya.
Bahwa peri Kehidupan manusialah yang mempengaruhi pola pikir manusia bukan sebaliknya. Sehingga keadaan tersebut sangat mempengaruhi pemikiran manusia termasuk dalam hal penyembahan, penggambaran Tuhan. Dalam masa berburu dan meramu, manusia yang tinggal di goa – goa, tinggal dipohon – pohon. Untuk keamanannya dari petir, hujan, sengatan matahari. Sehingga dalam menggambarkan Tuhan yang muncul ialah Tuhan Petir, Tuhan Pohon, Tuhan batu – Batu Besar, Tuhan Matahari. Tuhan – tuhan yang ada dialam ini. Tuhan Patir ini berlaku universal, seperti di wilayah Skandinavia, disana kita mengenal dengan sebuat King Thor, yang sama dengan kita disini sebagai Guntur.
Kemudian manusia mengalami masa berternak, manusia sangat tergantung kehidupannya dari hasil – hasil peternakan. Dan menganggap penyembahan terhadap batu – batu besar itu keliru, yang benar ialah menyembah binatang hasil ternaknya. Di beberapa wilayah di Indonesia kita mengenal beberapa suku yang menyucikan hewan – hewan. Di India samapai sekarangpun kita masih mengenal Lembu sebagai hewan yang suci.
Masa Bertani, dalam masa ini gambaran Tuhan sudah mulai gaib namun masih berbentuk. Dimana kesuburan tanah didunia ini selalu dihubungkan dengan kebedaan dewi – dewi. Sehingga dikenallah dewi Sri, Dewi saptahachi, dewi Laksmi. Yang di tanah China kita mengenal dewi kuan Im yang selalu membawa padi sebagai dewi kesuburan. Di Yunani, bahkan diadakkan pemilihan putri kecantikan oleh kalangan agamawan sebagai simbol kesuburan dan kecantikan. Kita samapai saat ini masih bisa menemukan patung dewi Aphrodite,  sebagai dewi kesuburan.
Dalam alam manufaktur atau kerajinan manusia yang mengandalkan kecerdasan otaknya dalam membuat sesuatu alat. Yang berawal dari angan – angan otak, sehingga mengahasilakn Tuhan yang gaib dan tidak berwujud. Disinilah manusia untuk pertama kalinya sudah tidak lagi menggambarkan bentuk – bentuk Tuhannya.
Seiring waktu manusia, mampu menerjemahkan segala hal yang dulu diluar batas pemikirannya, mampu menjelaskan sebab akibat suatu peristiwa, sehingga tidak lagi menganggap keberadaan Tuhan  itu sendiri dan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheis.
Kemajuan zaman sehingga manusia mampu membuat Petir, mampu membuat hewan, robot dan lain – lain itu. Menjadikan manusia menganggap Tuhan itu yang manusia itu sendiri.
Jika samapai saat ini masih ada orang yang menyembah Batu, Pohon, Hewan, ataupun dewi – dewi yang tersebut diatas selain kepercayaan resmi yang diakui oleh pemerintah kita. Tidak lain dan tidak bukan merupakan sisa – sia yang mampu diwariskan oleh generasi dari zaman – zaman tersebut. Ini juga tidak dimaksudkan memberikan pembenaran atas – penyembahan – penyembahan, namun lebih sebagai analisa bagaimana manusia itu menggambarkan keberadaan Tuhan menurut zaman – zamannya.