Kamis, 19 Mei 2011

MALU MENYEBUT MARHAEN

Tanggal 28 April 2011 ini, aku mengikuti bedah film dan pertemuan rutin bulanan antar lembaga di Blitar. Dalam bedah film yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Balitar tersebut menampilkan film dokumenter yang berjudul “kampung seng”. Narasumber yang hadir dalam acara tersebut ada dosen fakultas Hukum dan dosen fakultas Sosial Politik. Keduanya sekaligus sebagai pengamat film. Diharapkan dengan hadirnya dua pengamat yang berbeda latar belakang ini akan menjadikan film ini dapat dibedah dengan berbagai pisau sehingga akan mendapatkan hasil yang baik.

Filmnya sendiri menceritakan kehidupan para penghuni kampung seng yang kebanyakan preman. Dimana ada kebanggaan pada diri mereka saat melakukan tindakan kriminal bahkan saat masuk dalam penjara. Oya sutradara film ini adalah Lukman, seorang mahasiswa Universitas Islam Balitar.
Dalam diskusi bedah film tersebut dikatakan oleh narasumber terkait dengan permasalahan-permasalahan kriminal yang pada prinsipnya merupakan permasalahan turunan dari kemiskinan dan/atau pemiskinan. Namun yang menarik perhatian saya adalah saat narasumber dari fakultas hukum menyatakan bahwa sudah seharusnya mahasiswa dengan wadah BEM UIB ini melakukan pendampingan terhadap mereka yang ada di kampung seng. Mereka ini biasanya disebut sebagai kaum proletar, ada yang proletar dan “proletar sesungguhnya”.

Saya tidak mengerti maksud proletar dan proletar sesungguhnya ini. Yang saya tahu hanya ada istilah proletar sebagaimana yang dikatakan oleh Karl Marx nabinya kaum Komunis, yang berarti tiap-tiap orang yang menjual tenaga kerjanya dengan tidak memiliki alat produksi sendiri. Tidak ada sama sekali istilah proletar dan proletar sesungguhnya.

Malam hari berkumpul aktivis mahasiswa dan Lembaga Swadaya masyarakat di Lakspesdam NU Kab. Blitar jalan Riau No. 05 Kota Blitar. Dalam diskusi yang membahas berbagai Rancangan Peraturan Daerah di Kab. Blitar yang mencerminkan semangat untuk mencari pemasukan tambahan bagi anggota DPRD dan untuk memberikan jalan masuk kepada investor bukan guna melindungi rakyat Kab. Blitar tersebut terjadi perdebatan yang menarik.

Antara yang setuju membahas Rancangan Peraturan Daerah atau mengajukan Rancangan Peraturan Daerah sendiri yang lebih pro kepada masyarakat Blitar. Dalam salah satu yang hadir mengatakan pro kepada proletar, petani atau yang biasa dikatakan dengan pro poor.

Dalam dua peristiwa tersebut dapat dikatakan bahwa istilah proletar sangat populer dikalangan akademis dan aktivis. Namun apakah kita layak menyebut mereka yang sengsara, miskin, termarjinalkan tersebut hanya sekedar dengan istilah Proletar ataupun proletar yang sesungguhnya, ditengah penolakan kita terhadap ideologi komunis.

Ironi bagiku kita mengambil istilah-istilah dari komunis tapi kita menolak ideologi tersebut. Kenapa kita tidak berkata buruh untuk menggantikan proletar, khan istilah tersebut sama. Sama-sama menjual tenaganya kepada orang lain dan tidak menguasai alat produksi, selama itu terjadi pada diri seseorang maka akan disebut dengan buruh atau proletar. Jika menguasai meskipun sedikit, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai proletar. Kemudian kaum intelektual, seperti insinyur sekalipun tetap disebut proletar jika tidak menguasai alat produksi, yang biasanya disebut dengan istilah intelektual proletar.

Namun apakah semua masyarakat yang sengsara tapi dapat dikatakan sebagai golongan proletar? Tentu saja tidak, apalagi di kabupaten Blitar yang sebagian besar masyarakatnya berada didesa dengan 67,67% diantaranya bekerja sebagai petani baik petani menengah, gurem maupun buruh tani. Hal ini menunjukkan bahwa mewakilkan mereka pada perkataan proletar semata saja tidak cukup.

Ir. Soekarno jauh hari sebelum republik ini berdiri telah memperkenalkan nama untuk golongan-golongan kecil, yang dimiskinan oleh sistem kapitalisme dengan segala manifestasinya dengan sebutan Marhaen. Marhaen dalam istilah Soekarno mewakili tiga unsur yakni Proletar, Petani kecil dan unsur-unsur kecil lainnya di Indonesia.

Ini karena Soekarno paham bahwa masyarakat Indonesia yang sengsara tidak hanya sekedar kaum yang menjual tenaga kepada orang lain dengan ganti upah semata. Namun ada golongan lain yang menguasai alat produksi tapi juga sengsara di Indonesia yakni petani, nelayan, pekebun dan lain-lain. Tentunya proletar dalam istilah Karl Marx tidak dapat mewakili masyarakat Indonesia ini. Untuk itulah (Untuk menyebut golongan kecil-kecil) Bung Karno menggunakan kata Marhaen.
------------

Kenapa kita semakin hari semakin bangga dengan istilah asing-asing ditelinga rakyat kita. Proletar, pro poor dan lain-lain. Apakah semakin asing sebuah istilah yang kita ucapkan, semakin sulit dipahami rakyat, akan semakin kita kelihatan pandai didepan rakyat? Padahal istilah tersebut belum tentu mewakili seluruh golongan.

Kebanggaan membaca buku-buku asing hingga lupa membaca karangan anak negeri yang lahir dan besar di negeri sendiri, lupa mengamati kondisi sosial negeri sendiri. Atau membedah kondisi sosial dengan pisau yang didatangkan dari luar negeri tanpa penyesuaian. Menunjukkan kepada kita bahwa semakin hari kita semakin kehilangan kepercayaan diri. Ini bukan sekedar permasalahan penggunaan kata-kata proletar atau marhaen. Namun permasalahan yang jauh lebih mendasar dari itu semua. Permasalahan kita tidak pernah percaya pada diri kita sendiri, tidak pernah percaya pada budaya kita sendiri. Tidak pernah mau menghargai buatan anak bangsa sendiri.

Terlepas dengan ideologi Marhaenisme yang digali oleh Soekarno, namun istilah Marhaen sudah seharusnya digunakan oleh tiap-tiap anak bangsa ini guna menyebutkan golongan yang termarjinalkan tersebut. Karena sampai sekarang belum ada satu tokohpun yang menyebutkan dengan istilah baru yang membumi di Indonesia. Mungkin Megawati memperkenalkan istilah “wong cilik”, namun Indonesia bukanlah Jawa.

Ekonomi Indonesia akan bersifat Indonesia; system politik kami akan bersifat Indonesia; masyarakat kami akan bersifat Indonesia, - dan semua itu akan didasarkan kokoh kuat atas warisan kulturil dan spiritual bangsa kami sendiri. Warisan itu dapat dipupuk dengan bantuan dari negeri seberang lautan, akan tetapi buah dan bunganya akan memiliki sifat – sifat kami sendiri. Maka janganlah tuan harapkan, bahwa setiap bantuan yang tuan berikan akan menghasilkan cerminan dari tuan – tuan sendiri.
( Dikutip dari : Pidato 17 Agustus 1963 – Genta Suara Revolusi Indonesia - )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar