Dalam
beberapa hari terakhir ini, isu mengenai pertambangan pasir besi di Blitar
selatan kembali senter dibicarakan baik ditingkat masyarakat, maupun ditingkat
pegambil kebijakan publik. Pro dan kontra terkait adanya pertambangan tersebut,
terihat jelas dimasyarakat sekitar area. Pendapat masyarakat terbelah antara
yang setuju dan tidak.
Faktor
ekonomi merupakan pertimbangan yang paling atas diantara pertimbangan yang
lain, atas terbelahnya pendapat masyarakat tersebut. Pihak yang menerima
menyatakan bahwa, dengan adanya pertambangan pasir besi telah membuka lapangan
pekerjaan baru bagi mereka, sedangkan pihak yang menolak memiliki alasan mulai
dari lingkungan hidup dan ancaman atas pekerjaan mereka.
Persoalan
tambang pasir besi sebenarnya tidak hanya terjadi di Blitar saja, namun hampir
disetiap kabupaten di bagian selatan pulai Jawa mengalami hal tersebut. Mulai
dari kawasan Banyuwangi, Jember, Lumajang, Hingga Kulonprogo, Baten. Hal ini
terjadi karena, cadangan barang tambang di Jawa bagian utara yang sudah
cenderung menipis, sehingga perusahaan pertambangan, baik nasional maupun
internasional mengalihkan investasinya kepada Jawa bagian selatan, NTT, NTB,
kalimatan, Maluku dan Papua. Blitar merupakan salah satu dari sekian Kabupaten
di wilayah Jawa bagian selatan.
Sementara
pertumbuhan ekonomi, China dan India yang terus diatas 2 digit mengakibatkan
pembangunan infrastruk di wilayah tersebut mengjadi pesat dan membutuhkan pasir
besi sebagai salah satu pendobrak pembangunan. Sehingga pasir besi menjadi
salah satu primadona hasil tambang saat ini. Namun kiranya pemerintah (terutama
pemerintah daerah) harus pelajar dari Negara Selandia baru yang pantainya rusak
paska pertambangan pasir besi besar – besaran disana.
Sehingga
catatan kritis pertama dari pertambangan pasir besi di Blitar selatan ini,
hanya akan menguntungkan pemilik modal pertambangan semata yang kebanyakan dari
luar negeri, dan pasir besi yang diperoleh akan dibawa keluar negeri. Sementara
di Blitar hanya akan menyisakan kerusakan alam (pantai) sebagaimana terjadi di
Selandia Baru maupun di Pantai Pasur, Blitar selatan.
Kedua, Kalau
memang pasir besi menghasilkan Pendapat Asli Daerah bagi kabupaten Blitar
hendaknya hal tersebut diumumkan kepada masyarakat, karena pada hakekatnya
dokumen APBD merupakan dokumen public. Dengan begitu masyarakat akan menilai
sendiri keuntungan yang diperoleh pemerintah melalui PAD pasir besi dengan
kerusakan alam yang diakibatkan.
Ketiga, Apakah
benar yang dtambang tersebut hanya pasir besi. Jawa bagian selatan merupakan
penghasil Titanium terbesar didunia setelah Meksiko. Sehingga sangat mungkin,
yang sebenarnya ditambang adalah Titanium (sebagaimana alasan kawan-kawan di
Kulonprogo), sementara Titanium tidak dijadikan bahan tambang, hanya dijadikan
limbah semata.
Padahal
Titanium dipasaran dunia mempunyai harga yang lebih mahal daripada emas. Ini
akan mengulang kasus pertambangan PT. Freefoot Mc. Moran di Tembagapura, yang
dalam izin pertambangannya tembaga, namun ternyata juga menghasilkan emas,
sedangkan emas hanya dihitung limbah sehingga tidak dikenai pajak oleh Negara.
Keempat,
bahwa amanat konstitusi pasal 33 menyatakan bahwa negara menguasai bumi, air
udara (sumber-sumber agraria) dan digunakan sebesar – besarnya untuk
kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Apakah pertambangan pasir besi tersebut
sudah sesuai dengan konstitusi? Atau hanya untuk kemakmuran pemilik modal
semata?
Pertanyaan –
pertanyaan kritis tersebut harus diajukan kepada pemerintah terutama pemerintah
daerah, sehingga pemerintah akan menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan
di Kabupaten Blitar, tidak sekedar menjadi penonton pembangunan, yang tiba –
tiba kaget, wilayahnya ditambang orang lain, tanpa sosialisasi terlebih dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar