Kamis, 09 Februari 2012

CATATAN KRITIS TAMBANG PASIR BESI DI BLITAR





Dalam beberapa hari terakhir ini, isu mengenai pertambangan pasir besi di Blitar selatan kembali senter dibicarakan baik ditingkat masyarakat, maupun ditingkat pegambil kebijakan publik. Pro dan kontra terkait adanya pertambangan tersebut, terihat jelas dimasyarakat sekitar area. Pendapat masyarakat terbelah antara yang setuju dan tidak.
Faktor ekonomi merupakan pertimbangan yang paling atas diantara pertimbangan yang lain, atas terbelahnya pendapat masyarakat tersebut. Pihak yang menerima menyatakan bahwa, dengan adanya pertambangan pasir besi telah membuka lapangan pekerjaan baru bagi mereka, sedangkan pihak yang menolak memiliki alasan mulai dari lingkungan hidup dan ancaman atas pekerjaan mereka.
Persoalan tambang pasir besi sebenarnya tidak hanya terjadi di Blitar saja, namun hampir disetiap kabupaten di bagian selatan pulai Jawa mengalami hal tersebut. Mulai dari kawasan Banyuwangi, Jember, Lumajang, Hingga Kulonprogo, Baten. Hal ini terjadi karena, cadangan barang tambang di Jawa bagian utara yang sudah cenderung menipis, sehingga perusahaan pertambangan, baik nasional maupun internasional mengalihkan investasinya kepada Jawa bagian selatan, NTT, NTB, kalimatan, Maluku dan Papua. Blitar merupakan salah satu dari sekian Kabupaten di wilayah Jawa bagian selatan.
Sementara pertumbuhan ekonomi, China dan India yang terus diatas 2 digit mengakibatkan pembangunan infrastruk di wilayah tersebut mengjadi pesat dan membutuhkan pasir besi sebagai salah satu pendobrak pembangunan. Sehingga pasir besi menjadi salah satu primadona hasil tambang saat ini. Namun kiranya pemerintah (terutama pemerintah daerah) harus pelajar dari Negara Selandia baru yang pantainya rusak paska pertambangan pasir besi besar – besaran disana.
Sehingga catatan kritis pertama dari pertambangan pasir besi di Blitar selatan ini, hanya akan menguntungkan pemilik modal pertambangan semata yang kebanyakan dari luar negeri, dan pasir besi yang diperoleh akan dibawa keluar negeri. Sementara di Blitar hanya akan menyisakan kerusakan alam (pantai) sebagaimana terjadi di Selandia Baru maupun di Pantai Pasur, Blitar selatan.
Kedua, Kalau memang pasir besi menghasilkan Pendapat Asli Daerah bagi kabupaten Blitar hendaknya hal tersebut diumumkan kepada masyarakat, karena pada hakekatnya dokumen APBD merupakan dokumen public. Dengan begitu masyarakat akan menilai sendiri keuntungan yang diperoleh pemerintah melalui PAD pasir besi dengan kerusakan alam yang diakibatkan.
Ketiga, Apakah benar yang dtambang tersebut hanya pasir besi. Jawa bagian selatan merupakan penghasil Titanium terbesar didunia setelah Meksiko. Sehingga sangat mungkin, yang sebenarnya ditambang adalah Titanium (sebagaimana alasan kawan-kawan di Kulonprogo), sementara Titanium tidak dijadikan bahan tambang, hanya dijadikan limbah semata.
Padahal Titanium dipasaran dunia mempunyai harga yang lebih mahal daripada emas. Ini akan mengulang kasus pertambangan PT. Freefoot Mc. Moran di Tembagapura, yang dalam izin pertambangannya tembaga, namun ternyata juga menghasilkan emas, sedangkan emas hanya dihitung limbah sehingga tidak dikenai pajak oleh Negara.
Keempat, bahwa amanat konstitusi pasal 33 menyatakan bahwa negara menguasai bumi, air udara (sumber-sumber agraria) dan digunakan sebesar – besarnya untuk kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Apakah pertambangan pasir besi tersebut sudah sesuai dengan konstitusi? Atau hanya untuk kemakmuran pemilik modal semata?
Pertanyaan – pertanyaan kritis tersebut harus diajukan kepada pemerintah terutama pemerintah daerah, sehingga pemerintah akan menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan di Kabupaten Blitar, tidak sekedar menjadi penonton pembangunan, yang tiba – tiba kaget, wilayahnya ditambang orang lain, tanpa sosialisasi terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar