Minggu, 26 Juni 2011

HENTIKAN PENGHISAP DARAH RAKYAT PERKEBUNAN


Sejarah perkebunan di Indonesia yang diawali dengan politik etis pemerintah Hindia Belanda. Diawali dengan diberlakukannya agraria wet telah membawa penderitaan panjang bagi buruh perkebunan, dan rakyat pada umumnya.
Pembentukan perkebunan selalu menyisakan masalah pengusiran terhadap masyarakat di wilayah sekitar perkebunan, dipindahkan ke wilayah lain atau dimasukkan dalam perkebunan untuk menjadi buruh kebun dan kewarganegaraannya ikut administrasi perkebunan. Menunjukkan adanya negara di dalam negara di perkebunan, ini terjadi lagi diawal pemerintahan Orde Baru.
Tentu pengusiran petani pada zaman Belanda dan Orde Baru tersebut, menyisakan masalah laten yang siap meledak sewaktu – waktu. Karena, tanah merupakan alat produksi utama bagi  petani. Sehingga mereka akan mempertahankan meskipun nyawa taruhannya. Para pihak yang bersengketa biasanya antara petani (rakyat) melawan perusahaan swasta maupun negara, alat negara maupun dengan negara.
Perkebunan sebagai salah satu pusat pembangunan perekonomian, telah gagal menyejahterakan masyarakat sekitar. Terbukti di Kabupaten Blitar, kantong-kantong kemiskinan yang paling parah berada di wilayah perkebunan. Kesuburan tanah dan luasnya tanah tidak serta-merta membawa kesejahteraan bagi petani yang banyak jumlahnya, justru menjadi alat penghisap petani yang dilakukan perkebunan.
Keadilan akan akses terhadap tanah yang diberikan oleh negaralah yang menjadi permasalahan sengketa pertanahan di Kab. Blitar muncul. Masyarakat yang berjumlah besar tidak mendapatkan kemudahan mengakses tanah, sedangkan perusahaan perseorangan dengan kekuatan modal mampu mendapatkan hak pengelolaan (HGU). Dan menjadikan masyarakat sebagai buruh perkebunan semata. Sehingga wajar sengketa pertanahan muncul kepermukaan, selain faktor sejarah penggusuran rakyat dari tanahnya sendiri.
Penghisapan di perkebunan bukan berhenti tatkala reformasi bergulir, namun semakin parah dan liberal. Perubahan tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan Hak Guna Usaha menjadi tanaman musiman dan bukan tanaman kebun, membuat kekwatiran masyarakat dibawah perkebunan terhadap bencana banjir dan tanah longsor.
Namun, negara dalam hal ini Pemerintah Kab. Blitar terkesan menafikan permasalahan ini. Terbukti tingginya jumlah sengketa pertanahan tidak diakomodir dalam Peraturan Daerah ataupun menjadikan bidang pertanahan menjadi bidang tersendiri tidak tergabung dalam Bidang Tata Pemerintah.
Tim Fasilitasi Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang adapun hanya didukung oleh Surat Keputusan Bupati, sehingga secara politik Tim ini kurang mendapatkan dukungan. Kerja Timpun menjadi tersendat terkait dana dan dukungan politik.
Perkebunan yang telah terbukti menghisap darah rakyat, tanpa ikut menyejahterakan masyarakat sekitar harus segera dihentikan. Menyelesaikan sengketa pertanahan, menuntut kepada semua pihak terutama Pemerintah daerah untuk aktif dalam menyelesaikan sengketa pertanahan. Mengingat sengketa pertanahan di Kabupaten Blitar ini melibatkan + 10.000 Kepala keluarga.
Penyelesaian sengketa pertanahan harus segera mendapatkan respons aktif pemerintah, sebelum terjadi kemarahan masyarakat yang berada diwilayah sengketa. Penyelesaian sengketa pertanahan juga merupakan wujud nyata program pemerintah pusat untuk menyukseskan reforma agraria dalam hal ini landreform.
Selain itu, tanah sebagai modal dasar petani akan menjadikan petani mendapatkan alat produksi sehingga kesejahteraan petani akan meningkat. Karena penguasaan alat produksi merupakan syarat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar