Minggu, 21 Agustus 2011

2/3 ABAD MERDEKA: KORPORATOKRASI




Sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas yang harus dilewati, jika masyarakat adil dan makmur mau dicapai. Di seberang jembatan emas itulah diusahakan suatu masyarakat adil dan makmur tanpa kekurangan, tanpa eksploitasi. Semangat pendiri Republik untuk menuju masyarakat adil makmur dapat kita lihat tatkala mereka memimpin Republik ini. Meskipun kadang berbeda pandang dan jalan untuk menuju pantai harapan itu, namun kesederhanaan, kejujuran, ketulusan tetap berada dihati.
                Kini, 66 tahun atau 2/3 abad lamanya kita merdeka, seolah tiada perubahan yang signifikan terhadap sendi kehidupan rakyat. Penjajah pergi dan datang kembali dengan berbagai bentuk dan strategi, ataupun ganti anjing penjaganya, rakyat juga yang harus menderita. Kita usir Belanda dan Jepang dari tanah air tapi kita undang investor dengan alasan modal pembangunan.
                Belanda pernah menerapkan politik pintu terbuka yang dimulai dengan Reforma agraria dengan basis ideologi Kapitalisme. Mengajarkan kepada bangsa ini, bahwa penanaman modal di perkebunan, pertambangan dengan menjadikan rakyat sebagai buruh, telah menjadikan rakyat mati di lumbung padi. Kekayaan alam yang tidak dikelola sendiri, telah menghadirkan kemiskinan yang akut. Sentra – sentra pertumbuhan ekonomi, merupakan tempat subur tumbuhnya kemiskinan.
                Orde baru dengan UU No. 01 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing telah menjadikan Indonesia sebagai rumah terbuka bagi penanaman modal asing. Sumber kekayaan alam terutama minyak bumi, gas alam, emas dan barang – barang tambang dikontrak karyakan kepada pihak asing, sedangkan Indonesia sebagai negara hanya mendapatkan pajak semata. Kedaulatan negara, hanya ditunjukkan saat berhadapan dengan rakyatnya, bukan pada Korporasi yang menjajah Rakyat.
                Reformasi 1998, seharusnya merupakan momentum tepat untuk mengembalikan kedaulatan negara atas modal baik luar negeri maupun dalam negeri, sehingga negara menjadi garda terdepan dalam menyejahterakan rakyatnya, dengan menggunakan segala kekuatan negara dan gotong – royong rakyat. Reformasi, jauh panggang dari api. Kehidupan semakin liberal justru yang ditonjolkan.
                Dalam ranah sosial, modernisasi dimaknai sebagai baratisasi, pola kehidupan barat yang tidak sesuai justru diadopsi, dengan meninggalkan pola pikir nenek moyang. Namun sisi positif barat yang mampu berpikir rasional ditinggalkan. Ekonomi, dikuasi oleh segelintir pengusaha nasional dan semakin merajalelanya modal luar negeri baik langsung maupun tidak langsung masuk ke Indonesia untuk mengambil pasar dan nilai lebih dari kaum buruh yang dikenal murah di Indonesia. 14% penduduk paling kaya di Indonesia menguasai 54% kue pembangunan. Sehingga ketimpangan di wilayah ekonomi semakin besar.
                Sementara demokrasi Liberal yang saat ini diterapkan dalam sistem politik Indonesia, hanya memberikan kebebasan dalam ranah politik semata, sedangkan dalam ranah ekonomi tidak pernah kebebasan dan perlindungan negara diberikan kepada warga negaranya sehingga demokrasi telah berubah menjadi Corporatokrasi. Pemerintahan yang dijalankan oleh pengusaha – pengusaha, sehingga kebijakan publik yang keluar hanya sebatas mengamankan investasi, tanpa pedulikan nasib rakyat. Sementara para politikus di Dewan Perwakilan sibuk mencari rente anggaran untuk mengembalikan dana kampanye yang semakin mahal.

--------------------

                Praktek Corporatokrasi ini dapat kita lihat di mana saja di bumi Nusantara ini. Pemerintah lebih cepat mengeluarkan izin usaha atau eksploitasi sumber daya alam kepada perusahaan – perusahaan besar dibandingkan memfasilitasi pembentukan koperasi kepada penambang liar sehingga dapat mengajukan izin resmi pertambangan. Padahal kedua – duanya akan menyebabkan kerusakan alam dan negara hanya mendapatkan pajak.
                Jika negara memfasilitasi pembentukan koperasi tersebut, tentunya tingkat kesejahteraan masyarakat dapat meningkat kesejahteraan rakyat sekitar wilayah pertambangan, dibandingkan masyarakat hanya menjadi buruh semata.
                Pengusaha atau pemilik modal meskipun tidak berada dalam sistem pemerintahan tetap menguasai jalannya pengambilan keputusan. Ini mengingatkan kita pada teori kebijakan publik JS Miils, di mana kebijakan publik dibuat oleh elit politik untuk mengamankan dan memberikan dasar hukum bagi investasi. Sedangkan pemodal akan memberikan dana kampanye untuk kaum politikus agar dapat mempertahankan kekuasaannya.
                Praktek seperti ini semakin berkurang di Indonesia mengingat terjadinya Dwifungsi antara pengusaha dan politikus. Dimana elit pemodal/pengusaha juga terjun langsung dalam dunia politik baik di daerah maupun di tingkat nasional untuk mempengaruhi kebijakan publik secara langsung. Sedangkan elit politik, dari hasil rente anggaran yang diperolehnya juga mulai melakukan penanaman modal di wilayah basis konstituen sebagai bentuk balas budi sekaligus bisnis.
                Tidak terpisahnya elit ekonomi dengan elit politik ini, akan semakin merancukan kebijakan publik, terutama yang berbau proyek pembangunan. Karena, suatu proyek yang sudah ditetapkan dan ditenderkan akan menjadi rebutan atau bagi – bagi diantara para elit politik yang juga menjalankan usaha tersebut.
                Kasus Nazaruddin merupakan contoh paling nyata bentuk korporatokrasi ini. Dimana sebagai bendahara partai sudah tugasnya untuk mengumpulkan dana bagi partai guna dijadikan sebagai dana kampanye pemilu mendatang. Sehingga Nazaruddin melakukan dengan berbagai cara, termasuk mendirikan perusahaan – perusahaan yang digunakan sebagai sarana tender di berbagai kementrian. Di mana sebagai politikus Nazaruddin mengejar rente anggaran sedangkan sebagai pengusaha mendapatkan keuntungan dari pemenangan tender tersebut.
                Koporatokrasi telah mengeliminasi pemilik republik yang sebagian besar rakyat sebagai bagian mutlak dari pengambilan kebijakan publik. Dimana rakyat yang banyak ini tidak lagi dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan publik sebagaimana perkataan ketua DPR – RI dalam masalah pembangunan kantor yang baru. Rakyat hanya dijadikan sebagai alat legitimasi politik semata.
                Sementara ranah ekonomi, dari hulu sampai hilir telah dikuasai oleh dwifungsi politikus – pengusaha maupun kerja sama antara keduanya. Tentunya ini menyebabkan rakyat dibiarkan bebas berbicara namun perut tetap lapar. Sehingga pilihan politik terakhir rakyatpun sebatas siapa yang mampu memberi lebih kepadanya.

----------------------

                Dengan pendapatan per kapita Indonesia yang setiap tahun selalu mengalami kenaikan. PDB per kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2010 mencapai Rp. 27 juta (3.004,9 dollar AS), sedangkan tahun 2009 sebesar Rp. 23, 9 Juta (2.349,6 Dollar AS). Diperoleh dari Rp. 6.422,9 T(PDB) dibagi jumlah penduduk sekitar 237,6 juta jiwa*. Tidak diikuti dengan pengurangan jurang pendapatan antara si kaya dan si miskin. Negara membiarkan adanya persaingan bebas antara pemodal besar dengan pemodal kecil dalam satu arena.
                Garis kemiskinan yang dinyatakan oleh Badan pusat Statistik pun selalu lebih rendah dibandingkan dengan Bank Dunia. Saat ini, Bank Dunia menetapkan U$D 1,5/Orang/hari, sedangkan BPS hanya U$D 1/Orang/Hari. Tentunya akan mendapatkan data kemiskinan yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dengan angka tersebut (U$D 1/Orang/Hari) angka kemiskinan di Indonesia sebesar 36% dari Total penduduk, namun dengan angka yang diberikan oleh Bank Dunia (2010) angka kemiskinan di Indonesia menjadi 49%.
                Sementara kebutuhan dasar warga negara atas Pendidikan dan kesehatan yang dikatakan gratis hanyalah omong kosong. Dikatakan hanya Sumbangan Penunjang Pendidikan saja yang gratis, namun yang lainnya tetap harus membayar dengan harga dibandingkan sebelum SPP gratis lebih mahal. Semangat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat konstitusi, telah berubah menjadi semangat korporasi pendidikan. Sementara dalam kebutuhan kesehatan, UU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak segara disahkan, bahkan negara mendapatkan hukuman terkait hal tersebut.
-------------------
Kondisi Amerika, Jepang dan zona euro sebagai penopang utama ekonomi pasar yang kini sedang mengalami krisis harus menjadi pelajar bagi bangsa ini. Hutang diatas 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara merupakan titik aman hutang luar negeri. Kegiatan ekonomi yang lebih banyak disektor finansial (pasar saham) dengan hot Money yang setiap saat dapat diambil dapat menggoncang suatu negara. Menyerahkan semuanya ke pasar membuat kedaulatan negara atas warga negaranya semakin surut. Itu semua merupakan bukti bahwa sistem ekonomi pasar dengan korporatokrasi dalam sistem politiknya telah terbukti gagal membawa kesejahteraan bagi suatu negara.
Indonesia yang didirikan berdasarkan Pancasila dan UUD’45 sudah seharusnya kembali ke falsafah bangsa dan negara ini, bukan justru mengikuti mekanisme pasar yang sudah terbukti tidak mampu membawa kesejahteraan bagi semua masyarakat Indonesia. Hanya akan menciptakan ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi semata. Dirgahayu Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar