Jumat, 08 April 2011

DEMOKRASI LANGSUNG: PENGHANCUR JIWA GOTONG - ROYONG



Melihat banyak fasilitas umum yang rusak diberbagai tempat dan tidak segera diperbaiki. Menjadikan  penulis trenyuh, mengingat fasilitas tersebut sangat dibutuhkan untuk kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Mulai dari jembatan yang menghubungkan antar desa hingga kerusakan parit – parit sebagai penyangga pengairan dunia pertanian. Sehingga kegiatan masyarakat tidak lancar dan membutuhkan banyak tenaga, biaya dalam kehidupan sehari – hari.
Namun masyarakat hanya bisa mengeluh dan berharap akan bantuan dari pemerintah untuk memperbaiki fasilitas umum tersebut. Pengharapan yang dimaterialkan dengan pengajuan proposal kepada pihak pemerintah ataupun jaringan yang dibangun masyarakat setempat dengan elit politik dengan harapan mendapatkan bantuan dana APBD yang dikucurkan melalui program Jaring Aspirasi Masyarakat.
Padahal sarana umum tadi dibangun dengan kekuatan masyarakat sendiri. Dengan sumbangan dari masyarakat sekitar wilayah bangunan tersebut dan dari penerima manfaat bangunan. Mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi dilakukan oleh, dari dan untuk masyarakat.
Masyarakat membentuk kepanitiaan pembangunan tanpa adanya komando dari aparat, kemudian mengangkat tenaga ahli dari kalangan mereka untuk mendesain bangunan sendiri dan penganggarannya. Hasil dari tim ahli ini, dipresentasikan dalam rapat masyarakat untuk kemudian dijadikan kesepakatan bersama.
Dari hasil perencanaan bangunan dan anggaran tersebut, masyarakat kemudian bergotong – royong untuk memenuhinya. Ada yang membayar dengan semen, pasir, baru, batu bata, kapur, uang, tenaga kerja dan lain – lain. Pekerjaan dilakukan dengan bersama – sama melalui gugur gunung (gotong – royong).
Bangunan yang dihasilkannyapun lebih baik dibandingkan dengan pembangunan yang dilakukan oleh pemborong proyek. Bangunan lebih kuat, lebih bagus. Mulai dengan perencanaan sampai evaluasi terdapat transparansi anggaran, sehingga ada jaminan untuk tidak terjadi korupsi. Kalaupun ada anggaran yang membengkak akan ditanggung bersama oleh masyarakat. Masyarakat menjadi objek sekaligus subjek pembangunan.

------------------------------
               
Gotong – Royong merupakan kata kerja yang artinya lebih aktif/luas dibandingkan dengan kata kekeluargaan, yang cenderung pasif dan merupakan kata sifat. Gotong – royong diakui sebagai warisan budaya bangsa yang harus dijiwai dan terus – menerus dikobarkan dalam dada anak bangsa, untuk merebut makna kemerdekaan secara subtanstif.
                Kenapa saat ini untuk melakukan pembangunan yang bertumpu pada modal sosial bangsa ini – gotong royong – sudah tidak ada atau berkurang. Padahal gotong – royonglah yang telah menjadikan Indonesia merdeka secara politik pada revolusi 1945. Persatuan dari elemen – elemen yang kecil – kecil (marhaen) inilah yang menjadi kekuatan bangsa ini. Karena hanya dengan bergotong – royonglah Indonesia bisa merdeka.

-------------------------------

                Perkembangan dunia yang mengarah kepada globalisasi dengan paham kapitalisme dibelakangnya dan landasan filosofi individualisme kah yang telah menghabisi sendi gotong – royong yang merupakan ciri masyarakat komunal. Atau kesibukan anggota masyarkat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya karena tututan hidup yang semakin meningkat. Tetapi penulis hanya membatasi permasalahan gotong – royong berkaitan dengan adanya demokrasi langsung yang telah dipakai Indonesia sejak tahun 1999.
                Demokrasi langsung, yang merupakan anak kandung dari kapitalisme dalam bidang politik, dengan beralasan penghormatan kepada hak – hak individu dalam masyarakat. Sehingga masing – masing individu menjadi lebih dihargai dengan dasar persamaan sebagai manusia ataupun makluk Tuhan. Dalam bidang politik, setiap orang berkedudukan sama, entah presiden, pengemis, direktur atau apapun hanya memiliki satu suara dalam menentukan pilihan politiknya.
                Namun kita semua lupa bahwa demokrasi dan ekonomi merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan keduanya saling mempengaruhi. Keduanya tidak bisa dibatasi dengan wilayah administrasi manapun dan siapapun. Sehingga berbicara tentang politik harus juga berbicara tentang ekonomi dan sebaliknya. Memberikan hak salah satu segi saja, akan terjadi ketidakseimbangan dalam hubungan masyarkat yang kemudian dimainkan dan dimenangkan oleh pemegang sumber – sumber ekonomi atau politik.
                Demokrasi yang dianut oleh Indonesia saat ini hanyalah demokrasi politik semata. Demokrasi yang memberikan kebebasan berpikir, memilih dan dipilih, mengeluarkan pendapat baik lesan maupun tertulis dimuka umum. Demokrasi yang demikian, sebagaimana dalam parlemen Prancis mampu dimenangkan oleh kalangan masyarkat pinggiran (marhaen), namun keesokan harinya mereka akan terpinggirkan dalam ranah ekonomi.
                Sedangkan dalam demokrasi langsung ini, terpilihnya calon sangat ditentukan oleh ketiga hal pokok, yakni: pertama Kepopuleran seseorang; Kedua, taktik dan strategi yang digunakan; ketiga jumlah uang yang tersedia. Namun seiring waktu, karena demokrasi langsung yang tidak juga merubah nasib rakyat menjadi lebih sejahtera, hingga terjadi kejenuhan berdemokrasi dikalangan masyarakat, menjadikan pemilihan langsung sebagai ajang transaksi politik semata.
                Transaksi politik terjadi karena kesejahteraan wakil rakyat baik yang duduk di legislatif maupun eksekutif yang mendapatkan kenaikan kesejahteraan lebih cepat dibandingkan dengan mata pencaharian lain. Sedangkan masyarakat pemilih terutama dari kalangan kelas menengah kebawah tetap “setia” miskin. Sehingga masyarakat melakukan balas dendam politik dengan melakukan transaksi politik. Apa – apa selalu diukur dengan uang, terutama untuk kegiatan politik yang dilakukan oleh wakil rakyat.
                Kemakmuran juga mencolok dikalangan yang dekat dengan kekuasaan, biasanya tidak mempertimbangkan profesionalitas tapi masalah kedekatan dengan penguasa. Pasti mendapatkan potongan dari dana proyek yang diberikan oleh wakil rakyat tersebut. Bagi wakil rakyat ini berguna untuk mengembalikan dana kampanye yang besar.
-------------------------
                Pola transaksional tersebut secara langsung telah menghancurkan sendi – sendi kegotongroyongan masyarakat di Indonesia. Ini bisa dilihat saat masyarakat membangun fasilitas umum diwilayahnya. Dimana sebelum tahun 1999, sebagian besar fasilitas umum dibangun oleh masyarakat dengan iuran dan gotong royong anggotanya. Kini saat mau membangun atau memperbaiki fasilitas umum selalu menunggu pencairan dana dari pihak pemerintah.
                Kemandirian komunitas dengan jiwa gotong – royongnya hancur luluh lantah dengan adanya politik langsung tersebut, karena telah ada kesepakatan antara masyarakat dengan calon wakilnya. Padahal gotong – royong merupakan kekuatan sosial bagi pembangunan dan merupakan ciri masyarakat Indonesia.
                Kemudian bagaimana peran kelas menengah yang selama ini menjadi pelopor perubahan untuk mengembalikan jiwa gotong royong ini kembali tumbuh di masyarakat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar