Kamis, 28 April 2011

K A D O B U A T P E T A N I

Gerakan kaum tani di Brasil memuncak pada 17 April 1996, berawal dari sebuah tragedi di kota Eldorado dos Carajos, Brasil, menyusul bentrokan antara aparat kemanan dengan rakyat setempat, yang menelan korban 19 orang tewas dan 60 orang luka – luka. Gerakan inilah yang telah menginspirasi gerakan rakyat di Brasil dalam bendera Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra. Telah menginspirasi gerakan petani di seluruh dunia untuk dijadikan sebagai hari tani internasional. Sebagai bentuk penghargaan terhadap segala perjuangan dan pengorbanan bagi kalangan petani dalam merebut kedaulatan yang hakiki.

Saat peringatan hari tani Internasional akan digelar di seluruh dunia oleh kalangan petani maupun aktivis tani, pada tanggal 17 Maret 2011, sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan kaum tani Brasil dalam memperjuangkan reforma agraria. Terjadi peristiwa berdarah didua tempat berbeda di Indonesia yang melibatkan kaum tani.

Peristiwa tersebut terjadi tanggal 11 April 2011 di desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantern, kabupaten Kebumen, Jawa tengah. Dimana petani bermaksud memperbaiki pagar wilayah sengketa antara petani dengan TNI, langsung diberondong peluru oleh Militer. Dengan jumlah korban 10 orang luka – luka baik luka peluru maupun pukulan senjata tumpul (popor senjata). Sepuluh hari kemudian tepatnya tanggal 21 April 2011 di Sei Sodong, Kabupaten Ogan Komering. Terjadi bentrokan antara warga masyarakat Sei Sodong dengan petugas keamanan PT WSA. Yang menelan korban 2 orang petani dan 5 orang pegawai perkebunan meninggal. Peristiwa ini dipicu pengeroyokan terhadap 2 orang petani hinggal tewas.

Kedua peristiwa diatas tidak serta merta hadir dengan tiba – tiba dan tanpa sebab. Namun jauh dibalik itu ada muara api dalam sekam yang membara dan tetap menyala yang setiap saat dapat membakar siapa saja. Permasalahan tersebut ialah sengketa pertanahan yang tidak kunjung selesai antara kaum tani dengan pihak lain baik swasta maupun negara atau alat negara. Di mana posisi kaum tani selalu kalah baik dari segi finansial aturan main (hukum) dan lain – lain.

Jumlah petani yang besar dan merupakan alat tawar politik bagi tiap – tiap calon baik legislatif maupun eksekutif ternyata belum mampu menjadi alat tawar bagi kalangan petani sendiri. Kondisi kaum tani bagaikan buih di lautan yang banyak tapi tidak diperhitungkan. Tentunya ini harus menjadi catatan bagi semua kalangan yang berjuang demi masa depan kaum tani.

Menyelesaikan atau mencegah bentrokan antara petani dengan pihak manapun tidak dapat dilakukan hanya dengan melakukan pengaman yang ketat dengan hukum yang pro terhadap kalangan non petani semata. Karena seekor cacingpun akan menggeliat saat kepanasan apalagi petani. Pasti, cepat atau lambat, dengan ataupun tanpa provokasi pihak lain, akan melakukan perlawanan saat haknya diinjak – injak, saat tanahnya dirampas, saat mereka hidup kekurangan ditengah lahan subur yang dulu miliknya dan dirampas orang lain, saat keadilan belum terwujudkan.

Menyelesaian atau mencegah adanya bentrokan antara petani dengan pihak lain dapat dilakukan saat keadilan sudah terwujudkan di bumi Indonesia ini. Dari keadilan inilah kemudian seluruh masyarakat Indonesia menuju kesejahteraan secara bersama – sama, dengan kesenjangan sosial yang tipis. Sehingga masyarakat adil dan makmur akan tercipta.

Sekarang ini, seluruh negara di dunia, dari aliran ideologi manapun, selalu menjadi negara kesejahteraan. Dimana negara ikut serta dalam usaha peningkatan kesejahteraan rakyatnya, bukan sekedar menjaga keamanannya semata. Termasuk Indonesia yang didalam Undang – Undang Dasarnya telah mengamatkan kepadanya untuk ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa dan lain – lain.

Kewajiban untuk menyejahterakan rakyat memang dapat dilakukan dengan berbagai cara dengan banyak jalan. Namun harus diakui bahwa untuk soal pertanian, seberapapun rajinnya petani walaupun tetap bekerja ditengah panas matahari dan guyuran hujan tetap saja miskin, saat kepemilikan lahan yang kurang (petani gurem) bahkan tidak punya lahan (buruh tani). Kalangan ini tetap akan setia dengan kemiskinannya.

Untuk itulah pendiri republik ini, telah menyiapkan program reorma agraria sebagai pondasi pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur. Penataan ulang kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria menjadi lebih adil. Dengan distribusi tanah atau landreform ini diharapkan kesejahteraan segera terwujudkan di bumi nusantara, sekaligus menghilangkan sengketa agraria. Keberanian pendiri bangsa inilah yang kini tidak dimiliki oleh para pemegang kekuasaan untuk dengan segera melaksanakan reforma agraria, bukan justru memetingkan diri sendiri, yang perlu dijadikan teladan bagi pengelola negara saat ini.

Pelaksanaan reforma agraria di Indonesia untuk saat ini sudah tidak dapat ditunda lagi. Mengingat banyaknya jumlah lahan sengketa pertanahan dan pelibatan rakyat dalam jumlah yang besar. Selain itu kondisi penguasaan, kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber – sumber agraria yang tidak adil. Sebagian kecil masyarakat Indonesia menguasai lahan yang luas dan sebaliknya. Tentunya ini akan menjadi pemicu konflik sosial yang bermuara pada persoalan tanah.

Pelaksanaan reforma agraria harus didorong oleh dua kekuatan yakni rezim (reforma agraria by staat) dan organisasi petani (reforma agraria by leverage). Dua kekuatan ini harus berjalan seiring dalam pelaksanaan reforma agraria. Good will pemerintahlah yang diperlukan guna melakukan reforma agraria.
Kemauan rezim untuk melakukan reforma agraria agraria harus didorong dengan berbagai kekuatan dari luar pemerintah. Karena selama ini pemerintah hanya melakukan program-program yang bersifat progresif untuk kesejahteraan rakyatnya, hanya akan terjadi jika didesak dengan kekuatan rakyat.

Pelaksanaan reforma agraria dapat dilakukan oleh Pemerintah republik ini dengan mendahulukan berbagai tanah yang dalam tata hukum pemerintah di masa lalu (Era Soekarno) telah mendapatkan surat Keputusan Kementrian Agraria sebagai objek landreform baik karena kelebihan luasan tanah maupun tanah bekas garapan yang sekarang masuk dalam Hak Guna Usaha perkebunan baik swasta maupun negara.

Objek tanah ini sudah mendapatkan dasar hukum sebagai objek landreform sehingga proses untuk melakukan landreform akan lebih mudah. Kedua, tanah Hak guna Usaha yang ditelantarkan oleh Perkebunan swasta. Dasar hukum dari pelepasan tanah ini kepada masyarakat telah disahkan oleh pemerintah melalui PP No. 11 tahun 2010 tentang tanah terlantar.

Ketiga, Tanah-tanah yang ditelantarkan oleh perkebunan-perkebunan negara. Ditelantarkan karena tidak digunakan sesuai dengan peruntukannya. Ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap pemberian hak. Sedangkan terakhir merupakan merupakan tanah milik TNI, di mana guna menuju TNI yang profesional sebagai alat negara yang tunduk pada supremasi sipil, TNI wajib melepaskan aset-asetnya yang berbau bisnis.

Namun jika pemerintah menginginkan dan ada kemauan keras untuk menjadikan reforma agraria sebagai pondasi awal pembangunan untuk menuju masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa. Maka harus dilakukan reforma agraria yang sejati sesuai amanat UUPA No. 5 tahun 1960, meskipun ada perubahan yang diperlukan. Perubahan tersebut harus sesuai dengan kondisi kejiwaan pembuatan UUPA tersebut yang merupakan anak kandung dari ideologi neopopulis.

Mari kita dorong Pemerintah untuk melakukan reforma agraria yang sejati guna menuju masyarakat berdaulat. Organisasi Tani, Petani dan seluruh elemen bangsa Indonesia harus bahu membahu guna terlaksanakannya Reforma agraria. Semoga masyarakat yang merdeka segera tercapai Merdeka... Merdeka.... Merdeka.... sepenuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar